Sayang, debut mereka berakhir dengan kekalahan 0-1 dari Gabon.
Penampilan perdana Komoro di Piala Afrika berakhir dengan kekecewaan setelah dikalahkan Gabon 0-1 pada pertandingan Grup C di Stade Ahmadou Ahidjo, Yaounde, Selasa (11/1/2022) dini hari WIB.  Tapi, masih ada dua laga melawan Maroko dan Ghana untuk meninggalkan kesan positif.

Selain waktunya yang mundur satu tahun, Piala Afrika 2021 juga memiliki sejumlah keunikan. Salah satunya keberadaan tim pendatang baru yang hampir tidak memiliki cerita sepakbola di masa lalu. Mereka adalah Komoro.

Komoro adalah sebuah negara kepulauan dengan populasi sekitar 850.000 di Samudera Hindia, tak jauh dari pantai timur Afrika. Mereka lolos ke Piala Afrika untuk pertama kalinya berkat taktik minimalis dan semangat tim. Dan, sebagai tim pendatang baru, mereka masih dalam proses adaptasi. Termasuk dengan sejumlah tes Covid-19 yang dijalani.

"Hidungku masih sedikit sakit. Dengan segala hormat, kami tidak takut pada siapa pun, kecuali Covid-19. Kami berhasil mencapai turnamen ini, yang berarti kami juga bagus," kata pemain Komoro yang membela RKC Waalwijk, Said Bakari, kepada Brabants Dagblad.

Tim nasional Komoro dijuluki "Coelacanths". Itu adalah nama spesies ikan eksotis yang terancam punah yang hanya ditemukan di wilayah tersebut. Tapi, sementara ikan itu mungkin sekarat, tim menikmati kesempatan hidup baru yang mustahil. Mereka lolos ke turnamen pada Maret 2021 setelah melewati Kenya dan Togo.

Beberapa tahun sebelumnya, prospek Komoro bersaing di Piala Afrika tidak pernah terpikirkan. Pesepakbola dari tiga pulau utama, yaitu Grande Comore, Anjouan, dan Moheli, baru bergabung dengan FIFA pada 2005. Itu sebuah langkah yang memicu demam sepakbola di Komoro.

Sejak 2005, Komoro telah memperoleh subsidi USD1,3 juta (Rp18 miliar) per tahun dari FIFA. Mereka juga telah menjadi anggota program pengembangan FIFA. Mereka juga akan mendapatkan dana USD11,4 juta (Rp162 miliar) untuk pembangunan kantor Asosiasi Sepakbola Komoro (FFC) yang baru pada akhir 2022.



Bermaterikan pemain klub Eropa

Meski pendatang baru dan negara kecil, bukan berarti Komoro minim talenta. Seperti negara-negara Afrika pada umumnya, mereka juga diperkuat para pemain yang lahir dan besar di Eropa. 

Bahkan, pelatih mereka, Amir Abdou, lahir dan besar di Prancis dari keturunan Komoro. Awalnya, pelatih berusia 49 tahun itu seharusnya membantu mantan pelatih Marseille dan Raja Casablanca, Henri Stambouli. Tapi, dia kemudian mengambil kendali penuh Komoro ketika pelatih asal Prancis itu mundur.

Menemukan pemain dengan akar Komoro, terutama di selatan Prancis di divisi kedua atau ketiga, Abdou perlahan meningkatkan kinerja Coelacanth. Disiplin dan organisasi adalah pilar utama pekerjaannya.

"Di klub kami, kami semua bekerja dengan egois pada karier kami sendiri. Tapi, dengan tim nasional berbeda. Ambisi individu mengambil kursi belakang dan kami berjuang sebagai satu untuk negara kami," kata Bakari.

Kisah Bakari sendiri adalah contoh yang bagus. Dia lahir di pinggiran Paris. Bakat, membuatnya diterima di Akademi Paris Saint-Germain. Tapi, dia tidak dibawa ke skuda utama ketika mencapai usia dewasa. Lalu, dia menghabiskan beberapa musim di liga yang lebih rendah di Prancis dan Belgia sebelum menandatangani kontrak dengan RKC pada 2017. Sejak itu, dia telah membuat 92 penampilan liga, mencetak empat gol, membantu tim promosi ke Eredivisie pada 2019.

Kekuatan terbesar tim terletak pada keakraban. Hampir tidak berubah dalam hal personel sejak 2016. Abdou menjalankan timnas seperti klub. Secara teratur, dia mengumpulkan skuad bersama di Komoro untuk kamp pelatihan. Para pemain tahu dan percaya satu sama lain. "Kami seperti satu keluarga besar," ucap Bakari.

Namun, akibat Covid-19, semuanya berubah. Mereka tidak bisa berkumpul bersama selama setahun di Komoro dan harus nomaden di Eropa. Suporter juga dilarang pergi ke Kamerun untuk mendukung Komoro. "Fans masih akan berada di belakang kita. Kami ingin membuat mereka bahagia," pungkas gelandang berusia 27 tahun itu.