Jika bukan karena melatih di Jepang, belum tentu Wenger sukses di Arsenal. Kok, bisa?
Karier Arsene Wenger sebagai pelatih sepakbola sangat menterang, khususnya bersama Arsenal. Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa Le Professeur sempat melatih di Jepang bersama Nagoya Grampus Eight. Dan, itu jadi titik awal kesuksesan kariernya.

Cerita petualangan Wenger di Jepang terjadi pada 1995-1996. Dimulai dengan tujuh tahun yang sukses memimpin AS Monaco di Prancis. Saat itu, Wenger membuktikan reputasinya sebagai salah satu pelatih muda paling menjanjikan dalam sepakbola profesional level atas. 

Dia memimpin Monaco meraih gelar Division 1 (Ligue 1) 1987/1988 dan kemenangan Coupe de France 1990/1991. Mereka juga mencapai semifinal Liga Champions 1993/1994. Itu menyebabkan minat dari Bayern Muenchen dan Werder Bremen untuk mempekerjakannya.

Namun, semua orang terkejut. Setelah dipecat menyusul awal yang buruk pada musim 1994/1995, Wenger justru memilih bergabung dengan J.League pada Januari 1995. Itu adalah kompetisi baru, yang baru diputar pada 1993, dan tentu saja levelnya jauh di bawah Ligue 1 atau Bundesliga.

Hebatnya, bukan uang yang jadi kotivasi Wenger mengabaikan minat klub-klub top Eropa untuk pindah ke liga yang baru berusia dua tahun. Visi di balik pembentukan liga itu, sebagian untuk membantu Jepang mendapatkan kesempatan menyelenggarakan Piala Dunia 2002. Dan, tampaknya itu lebih menantang bagi Wenger.

Wenger datang ke Negeri Sakura di era yang sama dengan pemain-pemain top seperti Gary Lineker, Dragan Stojkovic, hingga Zico. Mereka adalah barisan pesepakbola tua yang datang ke Jepang karena sudah tidak laku di Benua Biru.

Bagi Wenger, keputusan tersebut menjadi kesempatan untuk menantang dirinya sendiri dan belajar di lingkungan yang sama sekali asing. Wenger tinggal di "Nagoya Guranpasu Eito" selama 18 bulan. Meski singkat, pengaruh Wenger di sana masih bergema hingga hari ini. 

Klub memulai dari bawah tabel klasemen hingga menjadi juara Emperors Cup di musim pertamanya. Dia menerima penghargaan J.League Coach of the Year 1995 dan membawa Nagoya ke finish di posisi ketiga. 

Seperti yang dikatakan oleh Akademisi Inggris, Dr Christopher Hood, dalam buku "The Professor: Arsene Wenger", kehadiran Wenger di Nagoya seperti ahli konstruksi yang dipekerjakan untuk membangun sebuah pondasi rumah. 

"Jika pernah ada kasus yang membuktikan betapa pentingnya seorang pelatih, maka waktu Arsene Wenger di Nagoya adalah yang terbaik. Itu karena dia masuk ke sana dan dia tidak melakukannya. Dia benar-benar mengubah cara skuad bermain. Dia juga membalikkan nasib mereka," tulis Hood. 



Menurut beberapa orang, waktu Wenger di Jepang mengembalikan kepercayaannya pada sepakbola. Setelah skandal pengaturan hasil pertandingan Marseille pada 1994, Wenger sempat frustrasi. Meski bukan dia pelakunya, keinginan pensiun dini sangat besar.  

Jadi, pergi ke Jepang seperti rekreasi bagi Wenger. "Itu adalah perubahan yang disambut baik dalam hidup saya, pengalaman yang fantastis. Itu adalah sesuatu yang mengubah saya secara mendalam juga. Visi hidup saya berubah di Jepang," kata Wenger, diansir The Guardian.

Tidak adanya sistem promosi-degradasi di J League pada waktu itu membuat Wenger benar-benar berkonsentrasi pada kebebasan membentuk skuad maupun memainkan sepakbola seperti yang ada dalam dunia ide.



"Saya menyadari bahwa sepakbola adalah apa yang saya nikmati. Selebihnya hanya pendapat orang. Jadi, sejak saya kembali dengan Arsenal, saya mengambil pendekatan yang sama. Saya berkonsentrasi pada sepakbola, melatih tim. Saya bisa senang melakukan itu," ujar Wenger.

Seperti yang kemudian tertulis dalam buku sejarah, setelah 18 bulan di Nagoya, Wenger kemudian pergi ke Inggris. Dia menerima tantangan melatih Arsenal.  Di London Utara, dia membuat The Gunners mendunia dengan pemain, permainan, dan prestasi jempolan selama belasan tahun.

Sementara  klub yang ditinggalkannya tetap menggunakan filosofi Wenger hingga sekarang. Beberapa anak didiknya di Nagoya kini jadi pelatih sukses. Salah satunya Stojkovic, yang baru saja mengantarkan Serbia ke Piala Dunia 2022.