Nomor 1 jadi penyebab degradasi paling fatal. Anda setuju?
Kegagalan Persipura Jayapura bertahan di Liga 1 benar-benar menyesakkan. Selain klub dengan koleksi gelar terbanyak di era Liga Indonesia, Mutiara Hitam juga dikenal sebagai pemasok pemain nasional jempolan.
Persipura harus terdegradasi dengan cara yang dramatis. Mereka sebenarnya mampu tampil bagus pada pertandingan terakhir BRI Liga 1 2021/2022 dengan mengalahkan Persita Tangerang. Bahkan, Mutiara Hitam menampilkan permainan yang sangat bagus.
Tapi, nasib Persipura di Liga 1 tidak hanya tergantung pada pertandingan melawan Persita. Mereka harus melihat hasil Barito Putera melawan Persib Bandung. Sialnya, Laskar Antasari mampu menyamakan skor 1-1 saat waktu normal menyisakan enam menit. Artinya, Barito bertahan dan Persipura degradasi.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan Persipura harus berpisah dengan kasta tertinggi sepakbola Indonesia? Berikut ini 5 faktor utamanya:
5. Tidak ikut ajang pramusim Piala Menpora
Dibanding peserta Liga 1 lainnya, Persipura termasuk terlambat memulai membentuk tim. Ketika Piala Menpora digelar sebagai ajang pramusim, mereka baru mulai mengumpulkan pemain dan menjalankan training camp setelah vakum 1,5 tahun.
Keterlambatan itu membuat mereka absen di Piala Manpora. Tanpa kompetisi pramusim, pelatih kesulitan mengetahui kelebihan maupun kekurangan timnya. Itu bisa dilihat dari hasil-hasil pertandingan di awal musim yang jauh dari reputasi Mutiara Hitam sebagai klub besar Indonesia.
Dalam 10 pertandingan awal, Persipura langsung menelan enam kekalahan, dua hasil imbang, dan hanya menang satu kali.
4. Skorsing Todd Rivaldo Ferre
Persipura mengalami kerugian besar dengan sanksi setahun yang dijatuhkan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI kepada Todd Rivaldo Ferre. Pemain 23 tahun itu dihukum setelah pertandingan melawan Bali United pada pekan 11.
Ketika itu, Serdadu Tridatu menang 1-0 berkat gol dramatis Ricky Fajrin pada menit 97. Ferre yang kecewa dan tidak terima, melancarkan protes keras kepada wasit. Masalahnya, Komdis PSSI menganggap tindakan mantan pemain timnas Indonesia U-19 itu berlebihan dan menjurus pada kekerasan fisik.
3. Pencoretan Boaz Solossa dan Tinus Pae
Setelah bertahun-tahun menjadi pemain Persipura, Boaz Solossa dan Tinus Pae harus pergi. Pelatih saat itu, Jacksen Tiago, mengatakan kedua pemain melakukan tindakan indisipliner. Bahkan, pelatih asal Brasil itu menyebut apa yang dilakukan Boaz dan Tinus berbahaya dari sisi medis.
Pelatih tentu saja punya hak untuk mencoret pemain yang tidak disiplin. Tapi, setelah itu, mereka gagal menemukan orang yang tepat untuk mengisi tempat Boaz dan Tinus sebagai pemimpin tim.
2. Pengurangan tiga poin lawan Madura United
Ketika Virus Corona varian Omicron menggila di Indonesia, Persipura termasuk klub yang terdampak. Sebelum bertemu Madura United, mereka mengaku tidak mempunyai pemain yang cukup untuk menggelar pertandingan. Ada tiga ofisial dan enam pemain positif Covid-19.
Berdasarkan aturan, pertandingan akan ditunda jika klub tidak memiliki cukup pemain. Masalahnya, dalam kasus Persipura, laga tidak bisa ditunda karena tidak termasuk dalam kategori "luar biasa". Maksudnya, Persipura masih punya cukup pemain sehingga pertandingan tetap bisa dilaksanakan.
Berhubung Persipura memaksakan tidak datang, Komdis PSSI memutuskan menjatuhkan pengurangan tiga poin dan denda Rp 250 juta. Hukuman yang sangat fatal karena dengan tiga poin itu Mutiara Hitam seharusnya mengoleksi 29 poin, yang artinya unggul tiga poin dari Barito.
1. Manajemen kurang profesional dan kreatif
Sejak Indonesia Super League (ISL) hingga Liga 1, klub sepakbola profesional harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dengan orientasi bisnis. Ini untuk menggantikan organisasi lama dalam bentuk Perserikatan, Perkumpulan, atau Asosiasi, yang cenderung ke fungsi sosial.
Perubahan itu juga harus dijalani Persipura dengan mendirikan PT Persipura Jayapura. Masalahnya, meski menyandang status perusahaan, Mutiara Hitam masih dikelola dengan cara klub Perserikatan.
Mereka masih mengenal istilah Ketua umum. Posisi ini secara tradisional dan otomatis dijabat Walikota Jayapura. Pejabat saat ini adalah Benhur Tommy Mano. Keberadaan Walikota membuat Persipura sarat kepentingan politik, layaknya klub masa lalu di era APBD.
Dampak lainnya, manajemen Persipura kurang kreatif. Contoh paling mudah dilihat adalah keberadaan sponsor. Jika anda perhatikan, sejak era Divisi Utama, tulisan di jersey mereka adalah Freeport dan Bank Papua.
Ini berbeda dengan klub-klub Liga 1 dan Liga 2 lain yang sudah dijalankan sebagai sebuah entitas bisnis. Lihat saja Bali United, Persib Bandung, Persebaya Surabaya atau Persija Jakarta. Begitu pula klub-klub papan bawah seperti PSS Sleman atau Persiraja Banda Aceh.
Persipura harus terdegradasi dengan cara yang dramatis. Mereka sebenarnya mampu tampil bagus pada pertandingan terakhir BRI Liga 1 2021/2022 dengan mengalahkan Persita Tangerang. Bahkan, Mutiara Hitam menampilkan permainan yang sangat bagus.
BACA BERITA LAINNYA
Guardiola Tidak Yakin Ten Hag Akan Berhasil di Manchester United
Guardiola Tidak Yakin Ten Hag Akan Berhasil di Manchester United
Dibanding peserta Liga 1 lainnya, Persipura termasuk terlambat memulai membentuk tim. Ketika Piala Menpora digelar sebagai ajang pramusim, mereka baru mulai mengumpulkan pemain dan menjalankan training camp setelah vakum 1,5 tahun.
Keterlambatan itu membuat mereka absen di Piala Manpora. Tanpa kompetisi pramusim, pelatih kesulitan mengetahui kelebihan maupun kekurangan timnya. Itu bisa dilihat dari hasil-hasil pertandingan di awal musim yang jauh dari reputasi Mutiara Hitam sebagai klub besar Indonesia.
BACA ANALISIS LAINNYA
Ramadhan Telah Tiba, Bagaimana Liga Premier Memperlakukan Pemain Muslim?
Ramadhan Telah Tiba, Bagaimana Liga Premier Memperlakukan Pemain Muslim?
4. Skorsing Todd Rivaldo Ferre
Persipura mengalami kerugian besar dengan sanksi setahun yang dijatuhkan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI kepada Todd Rivaldo Ferre. Pemain 23 tahun itu dihukum setelah pertandingan melawan Bali United pada pekan 11.
3. Pencoretan Boaz Solossa dan Tinus Pae
Setelah bertahun-tahun menjadi pemain Persipura, Boaz Solossa dan Tinus Pae harus pergi. Pelatih saat itu, Jacksen Tiago, mengatakan kedua pemain melakukan tindakan indisipliner. Bahkan, pelatih asal Brasil itu menyebut apa yang dilakukan Boaz dan Tinus berbahaya dari sisi medis.
2. Pengurangan tiga poin lawan Madura United
Ketika Virus Corona varian Omicron menggila di Indonesia, Persipura termasuk klub yang terdampak. Sebelum bertemu Madura United, mereka mengaku tidak mempunyai pemain yang cukup untuk menggelar pertandingan. Ada tiga ofisial dan enam pemain positif Covid-19.
Berdasarkan aturan, pertandingan akan ditunda jika klub tidak memiliki cukup pemain. Masalahnya, dalam kasus Persipura, laga tidak bisa ditunda karena tidak termasuk dalam kategori "luar biasa". Maksudnya, Persipura masih punya cukup pemain sehingga pertandingan tetap bisa dilaksanakan.
Berhubung Persipura memaksakan tidak datang, Komdis PSSI memutuskan menjatuhkan pengurangan tiga poin dan denda Rp 250 juta. Hukuman yang sangat fatal karena dengan tiga poin itu Mutiara Hitam seharusnya mengoleksi 29 poin, yang artinya unggul tiga poin dari Barito.
1. Manajemen kurang profesional dan kreatif
Sejak Indonesia Super League (ISL) hingga Liga 1, klub sepakbola profesional harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dengan orientasi bisnis. Ini untuk menggantikan organisasi lama dalam bentuk Perserikatan, Perkumpulan, atau Asosiasi, yang cenderung ke fungsi sosial.
Perubahan itu juga harus dijalani Persipura dengan mendirikan PT Persipura Jayapura. Masalahnya, meski menyandang status perusahaan, Mutiara Hitam masih dikelola dengan cara klub Perserikatan.
Mereka masih mengenal istilah Ketua umum. Posisi ini secara tradisional dan otomatis dijabat Walikota Jayapura. Pejabat saat ini adalah Benhur Tommy Mano. Keberadaan Walikota membuat Persipura sarat kepentingan politik, layaknya klub masa lalu di era APBD.
Dampak lainnya, manajemen Persipura kurang kreatif. Contoh paling mudah dilihat adalah keberadaan sponsor. Jika anda perhatikan, sejak era Divisi Utama, tulisan di jersey mereka adalah Freeport dan Bank Papua.
Ini berbeda dengan klub-klub Liga 1 dan Liga 2 lain yang sudah dijalankan sebagai sebuah entitas bisnis. Lihat saja Bali United, Persib Bandung, Persebaya Surabaya atau Persija Jakarta. Begitu pula klub-klub papan bawah seperti PSS Sleman atau Persiraja Banda Aceh.