Pertandingan penuh kontroversi itu dikenal dengan peristiwa “Sepak Bola Gajah”.
Salah satu noda ‘hitam’ dalam perjalanan persepakbolaan Indonesia yang hampir berjalan kurang lebih dari 90 tahun selain dibanned dalam pertandingan internasional adalah pertandingan yang dikenal dengan peristiwa “Sepak Bola Gajah”.
Untuk masyarakat Jawa Timur, terutama masyarakat Surabaya tentu tidak asing dengan nama peristiwa di atas. Peristiwa itu terjadi dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama musim 1987-88 yang mempertemukan antara Persipura melawan Persebaya di Stadion Gelora 10 Nopember pada 21 Februari 1988. Pada pertandingan tersebut, anak-anak Bajul Ijo kalah 0-12 dari tim tamu notabene tidak diunggulkan saat itu.
Namun, yang sebenarnya terjadi adalah anak-anak asuh Almarhum Agil H.Ali mengalah dari Mutiara Hitam. Hal itu dilakukan karena suatu dendam dan suatu permintaan yang tidak bisa dihindarkan. Ya, anak-anak Bajul Ijo secara pertandingan dan kultural memiliki dendam terhadap PSIS Semarang karena kekalahan mereka di final Divisi Utama musim 1986-87.
Dalam sebuah buku berjudul “Sepak Bola Gajah Paling Spektakuler” dijelaskan bahwa almarhum Agil adalah “master mind” di balik peristiwa itu,
”Saya ingat betul, saat itu, tiga hari sebelum pertandingan, kami dikumpulkan Pak Agil (Agil H Ali, manajer Persebaya kala itu) di Hotel Majapahit,” ujar Muharam, legenda Persebaya yang menghadiri peluncuran buku karya Slamet Oerip Prihadi dan Abdul Muis Masduki pada 29 Juni 2016 lalu di JX (Jatim Expo).
Seperti sebuah pepatah “sekali dayung dua pulau terlampaui”, maka kejadian tahun 1988 ini pun juga tak jauh dari itu. Agar bisa membalaskan dendam mereka kepada Laskar Mahesa Jenar, maka caranya adalah dengan memberikan kemenangan kepada Persipura atau dengan kata lain, Persebaya harus mengalah di depan pendukung mereka sendiri.
PSIS Semarang yang berada dalam satu wilayah (timur) bersama Persipura, Persebaya, dan beberapa tim lainnya gagal lolos ke babak 6 besar karena kalah margin gol dari Persipura yang berada tepat di atas mereka dan 3 tim yang akhirnya mewakili zona timur adalah Persiba Balikpapan, Persipura serta Bajul Ijo.
”Kata Pak Agil, permintaan ini tidak hanya datang dari pengurus Persebaya. Tapi juga dari seluruh masyarakat Surabaya,” lanjut Muharam.
Kendati terlihat tak sportif, mengutip Agil, pertandingan itu bukan hanya untuk kepentingan masyarakat Surabaya semata, tetapi juga untuk Indonesia dan masih sangat rawan terpecah belah.
Almarhum Agil berpandangan bahwa, terdegradasinya Hino Cofu (julukan Perseman) dari Divisi Utama sehari sebelum pertandingan “Sepak Bola Gajah” ditambah dengan jika anak-anak Mutiara Hitam tak lolos ke babak 6 besar akan menambah kesedihan masyarakat Papua. Hal itu juga membuat hilangnya hiburan olahraga dari daerah Matahari Terbit tersebut, memperdalam luka masyarakat disana serta sangat memungkinkan munculnya konflik.
”Bahkan, kata Pak Agil, maaf, para pelacur di Dolly saja menginginkan kami ngalah demi NKRI,” tambah Muharam dikutip Jawapos.com.
Jika orang awam melihat ini sebagai sejarah kelam, untuk para pemain Bajul Ijo sendiri, kejadian itu dimaknai dengan santai tanpa harus penuh ketegangan seperti yang disampaikan oleh legenda Persebaya lainnya seperti Mustaqim, yang kala itu juga menghadiri peluncuran buku tersebut,
”Kami tersentuh dengan itu. Meski belakangan kami tahu bahwa sebagian surat itu ditulis sendiri oleh Pak Agil hehehe,” ujarnya sambil tertawa.
Adapun keberanian itu diambil oleh Agil serta anak asuhnya karena saat itu, jangkauan FIFA atau pun regulasi dari PSSI sendiri belum seketat sekarang atau pun dari FIFA sendiri masih belum memiliki teknologi yang secanggih seperti sekarang,
”Apalagi, saat itu juga tidak ada ancaman sanksi dari FIFA atau PSSI. Jadi, kami tenang-tenang saja,” kata Seger Sutrisno yang kini menjadi pelatih tim U-17 Persebaya.
Memang PSSI tidak menjatuhkan hukuman kepada Persebaya atas peristiwa tersebut, namun hal itu memicu dendam dari para pendukung PSIS Semarang dengan melabeli Muharam dan kawan-kawan sebagai tim Bledug ijo atau Anak gajah hijau dan panggilan nama itu cukup populer pada tahun 1990-an.
“Pada peristiwa itu, manajer Persebaya Agil H. Ali yang mengajak semua elemen di dalam tim untuk mengalah. Pendapat Pak Agil disetujui para pemain. Maka jadilah sepakbola gajah. Gara-gara itu tim Persebaya dikenal sebagi Bledug Ijo (Anak Gajah Hijau). Itu sebutan olok-olok untuk Persebaya,” salah satu tulisan dalam buku “Sepak Bola Gajah Paling Sepaktakuler”.
Peristiwa besar itu juga memunculkan sebuah julukan untuk para pendukung Persebaya yang sekarang kita kenal dengan nama “Bonek”. Hal itu terjadi setelah anak-anak Bajul Ijo maju ke partai final Divisi Utama menghadapi Macan Kemayoran di Jakarta. Ribuan suporter asal Jawa Timur, khususnya Surabaya berbondong-bondong datang ke stadion Gelora Bung Karno dengan Dahlan Iskan yang kali itu menjadi pimpinan koran Jawa Pos mengkoordinir rombongan tersebut.
Pendukung yang datang hanya bermodalkan uang pas-pasan dan pengetahuan yang minim, memunculkan sebuah celetukan dengan kata “Bonek” yang dimaksudkan sebagai modal nekat. Dan dari peristiwa itulah kemudian istilah Bonek atau Bondo nekat ini dipakai untuk menyebut kelompok suporter Persebaya Surabaya hingga sekarang.
Selaras dengan pepatah sebelumnya, benar saja mereka berhasil keluar sebagai jawara mengalahkan Persija dengan skor 3-2 dalam perpanjang waktu. Adapun partai final itu digelar pada 27 Maret 1988.
Sejarah kemudian mencatat, PSIS membalaskan sakit hatinya dengan mengalahkan Persebaya pada final Ligina 1999 di Manado.
Untuk masyarakat Jawa Timur, terutama masyarakat Surabaya tentu tidak asing dengan nama peristiwa di atas. Peristiwa itu terjadi dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama musim 1987-88 yang mempertemukan antara Persipura melawan Persebaya di Stadion Gelora 10 Nopember pada 21 Februari 1988. Pada pertandingan tersebut, anak-anak Bajul Ijo kalah 0-12 dari tim tamu notabene tidak diunggulkan saat itu.
BACA BERITA LAINNYA
Bukan Pickford, Ini Kiper Masa Depan Nomor 1 Inggris
Bukan Pickford, Ini Kiper Masa Depan Nomor 1 Inggris
PSIS Semarang yang berada dalam satu wilayah (timur) bersama Persipura, Persebaya, dan beberapa tim lainnya gagal lolos ke babak 6 besar karena kalah margin gol dari Persipura yang berada tepat di atas mereka dan 3 tim yang akhirnya mewakili zona timur adalah Persiba Balikpapan, Persipura serta Bajul Ijo.
BACA BERITA LAINNYA
Pengakuan Zaha Soal Obrolan Dengan Sir Alex yang Bakal Selalu Diingat
Pengakuan Zaha Soal Obrolan Dengan Sir Alex yang Bakal Selalu Diingat
Kendati terlihat tak sportif, mengutip Agil, pertandingan itu bukan hanya untuk kepentingan masyarakat Surabaya semata, tetapi juga untuk Indonesia dan masih sangat rawan terpecah belah.
”Bahkan, kata Pak Agil, maaf, para pelacur di Dolly saja menginginkan kami ngalah demi NKRI,” tambah Muharam dikutip Jawapos.com.
”Kami tersentuh dengan itu. Meski belakangan kami tahu bahwa sebagian surat itu ditulis sendiri oleh Pak Agil hehehe,” ujarnya sambil tertawa.
Adapun keberanian itu diambil oleh Agil serta anak asuhnya karena saat itu, jangkauan FIFA atau pun regulasi dari PSSI sendiri belum seketat sekarang atau pun dari FIFA sendiri masih belum memiliki teknologi yang secanggih seperti sekarang,
”Apalagi, saat itu juga tidak ada ancaman sanksi dari FIFA atau PSSI. Jadi, kami tenang-tenang saja,” kata Seger Sutrisno yang kini menjadi pelatih tim U-17 Persebaya.
Memang PSSI tidak menjatuhkan hukuman kepada Persebaya atas peristiwa tersebut, namun hal itu memicu dendam dari para pendukung PSIS Semarang dengan melabeli Muharam dan kawan-kawan sebagai tim Bledug ijo atau Anak gajah hijau dan panggilan nama itu cukup populer pada tahun 1990-an.
“Pada peristiwa itu, manajer Persebaya Agil H. Ali yang mengajak semua elemen di dalam tim untuk mengalah. Pendapat Pak Agil disetujui para pemain. Maka jadilah sepakbola gajah. Gara-gara itu tim Persebaya dikenal sebagi Bledug Ijo (Anak Gajah Hijau). Itu sebutan olok-olok untuk Persebaya,” salah satu tulisan dalam buku “Sepak Bola Gajah Paling Sepaktakuler”.
Peristiwa besar itu juga memunculkan sebuah julukan untuk para pendukung Persebaya yang sekarang kita kenal dengan nama “Bonek”. Hal itu terjadi setelah anak-anak Bajul Ijo maju ke partai final Divisi Utama menghadapi Macan Kemayoran di Jakarta. Ribuan suporter asal Jawa Timur, khususnya Surabaya berbondong-bondong datang ke stadion Gelora Bung Karno dengan Dahlan Iskan yang kali itu menjadi pimpinan koran Jawa Pos mengkoordinir rombongan tersebut.
Pendukung yang datang hanya bermodalkan uang pas-pasan dan pengetahuan yang minim, memunculkan sebuah celetukan dengan kata “Bonek” yang dimaksudkan sebagai modal nekat. Dan dari peristiwa itulah kemudian istilah Bonek atau Bondo nekat ini dipakai untuk menyebut kelompok suporter Persebaya Surabaya hingga sekarang.
Selaras dengan pepatah sebelumnya, benar saja mereka berhasil keluar sebagai jawara mengalahkan Persija dengan skor 3-2 dalam perpanjang waktu. Adapun partai final itu digelar pada 27 Maret 1988.
Sejarah kemudian mencatat, PSIS membalaskan sakit hatinya dengan mengalahkan Persebaya pada final Ligina 1999 di Manado.