Media memberitakan besar-besaran timnas harapan masa depan. Dari Korsel ada legenda Lee Won-jae.
Sepakbola pada level bukan timnas senior jarang mendatangkan penonton dalam jumlah masif ke stadion. Beda halnya dengan sepakbola pada level senior dimana penonton akan berduyun-duyun ke stadion dengan pertaruhan tingkat tinggi.
Dalam sejarah sepakbola dunia, laga dengan penonton paling banyak adalah Brasil lawan Uruguay dalam laga final Piala Dunia 1950 yang disaksikan sesuai angka resmi oleh 199.854 penonton. Pertandingan itu berlangsung di Stadion Maracana.
Nah, pada youth level jarang ada pertandingan menyentuh angka penonton hingga 100 ribu orang lebih di stadion.
Salah satu laga youth level dengan penonton terbanyak yang tercatat adalah final Piala Dunia U-17 2017 di India. Saat itu laga final antara Inggris lawan Spanyol di Stadion Vivekananda Yuba Bharati Krirangan, Kalkuta atau Stadion Salt Lake disaksikan 66.684 penonton. Laga itu dimenangkan Inggris yang antara lain diperkuat Phil Foden dan Jadon Sancho.
Namun demikian, salah satu laga pada youth level yang bukan melibatkan tim nasional senior dengan jumlah penonton sangat besar tercatat pernah terjadi di Jakarta.
Yaitu laga kualifikasi Olimpiade Atalanta antara Indonesia lawan Korea Selatan berlangsung pada 25 April 1995. Laga itu berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta.
Menurut catatan Rsssf, laga itu ditonton 104.000 penonton. Saat itu Stadion Utama belum menggunakan single seat, masih menggunakan bangku panjang. Angka itupun diperkirakan merupakan taksiran. Ketika itu kondisi stadion penuh baik tribun bawah maupun atas tanpa menyisakan sedikit ruang. Kapasitas Stadion Utama Senayan Jakarta dengan bangku panjang adalah 120.000.
Olimpiade sejak 1992 mensyaratkan tim di bawah usia 23 tahun dengan tambahan tiga pemain senior.
Nah, apa sebenarnya daya tarik laga untuk ukuran bukan timnas senior di Jakarta ketika itu? Daya tariknya terletak pada skuad Indonesia yang membetot perhatian nasional.
Sebagian besar mereka adalah pemain PSSI Primavera yang menempa pendidikan di Italia selama setahun lebih. Tim Primavera berangkat pada 1993 dan diikuti gelombang berikutnya pada 1994 berbarengan PSSI Baretti.
Langkah mengirim timnas ke luar negeri ini mengikuti jejak PSSI Garuda II (Nil Maizar, Rochi Putiray, Heriansyah dkk) yang dikirim ke Ceko (slovakia). Jika PSSI Garuda adalah inisiatif pengusaha Sigit Harjojudanto (putra Soeharto), maka PSSI Primavera merupakan prakarsa Nirwan Dermawan Bakrie.
Kembali ke laga lawan Korsel itu, harapan terhadap timnas yang ditulangpunggungi pemain Primavera begitu tinggi. Setahun sebelumnya Stadion Utama juga penuh penonton saat Indonesia kedatangan Sampdoria. Kurniawan Dwi Julianto bermain untuk kedua tim.
Pada laga di Senayan lawan Korsel, Indonesia yang dilatih Tord Grip menurunkan tim yang rata-rata berusia 19 tahun. Paling senior adalah Aples Tecuari berusia 22 tahun lebih 4 hari disusul kiper Kurnia Sandy berusia 19 tahun delapan bulan. Sisanya rata-rata 19 tahun seperti Eko Purjianto, Anang Maruf, Indriyanto Nugro, Asep Dayat, Kurniawan Dwi Julianto maupun Bima Sakti.
Lawan rata-rata lebih senior. Misalnya Lee Won-jae (legenda kiper Korsel) berusia 22 tahun. Choi Yong-soo juga hampir 22 tahun. Choi Yoon-yeol berusia 21 tahun. Ada beda satu-dua tahun usia antara kedua skuad. Korsel dilatih Anatoly Bishovets, membawa Uni Soviet meraih emas Olimpiade Seoul.
Dengan segala gegap gempita pemberitaan atas timnas masa depan Indonesia itu. Dengan kebintangan Bima Sakti, Kurnia Sandy dan Kurniawan DJ yang sempat trial atau menjalani masa bergabung dengan klub Eropa, mampu membetot perhatian penonton. Wajar jika stadion penuh sesak meskipun bukan laga level senior.
Pertandingan berakhir dengan skor 1-2 untuk Korsel dimana gol mereka dicetak Cho Yong-soo menit 42 dan 50 sebelum diperkecil Indriyanto Nugroho menit 65.
Pada leg kedua di Korea Selatan, skor 0-1 untuk Korea Selatan lewat gol Cho Hyun doo. Tahun itu Korea Selatan akhirnya lolos ke Olimpiade.
Nama-nama timnas Primavera saat ini memegang beberapa posisi penting dalam sepakbola nasional.
Dalam sejarah sepakbola dunia, laga dengan penonton paling banyak adalah Brasil lawan Uruguay dalam laga final Piala Dunia 1950 yang disaksikan sesuai angka resmi oleh 199.854 penonton. Pertandingan itu berlangsung di Stadion Maracana.
BACA FEATURE LAINNYA
Kuartet Striker Top Indonesia Hasil Didikan Diklat Salatiga
Kuartet Striker Top Indonesia Hasil Didikan Diklat Salatiga
Menurut catatan Rsssf, laga itu ditonton 104.000 penonton. Saat itu Stadion Utama belum menggunakan single seat, masih menggunakan bangku panjang. Angka itupun diperkirakan merupakan taksiran. Ketika itu kondisi stadion penuh baik tribun bawah maupun atas tanpa menyisakan sedikit ruang. Kapasitas Stadion Utama Senayan Jakarta dengan bangku panjang adalah 120.000.
BACA BERITA LAINNYA
Benarkah Griezmann Tak Diberi Umpan Rekan Setim di Barcelona
Benarkah Griezmann Tak Diberi Umpan Rekan Setim di Barcelona
Nah, apa sebenarnya daya tarik laga untuk ukuran bukan timnas senior di Jakarta ketika itu? Daya tariknya terletak pada skuad Indonesia yang membetot perhatian nasional.
Langkah mengirim timnas ke luar negeri ini mengikuti jejak PSSI Garuda II (Nil Maizar, Rochi Putiray, Heriansyah dkk) yang dikirim ke Ceko (slovakia). Jika PSSI Garuda adalah inisiatif pengusaha Sigit Harjojudanto (putra Soeharto), maka PSSI Primavera merupakan prakarsa Nirwan Dermawan Bakrie.
Pada laga di Senayan lawan Korsel, Indonesia yang dilatih Tord Grip menurunkan tim yang rata-rata berusia 19 tahun. Paling senior adalah Aples Tecuari berusia 22 tahun lebih 4 hari disusul kiper Kurnia Sandy berusia 19 tahun delapan bulan. Sisanya rata-rata 19 tahun seperti Eko Purjianto, Anang Maruf, Indriyanto Nugro, Asep Dayat, Kurniawan Dwi Julianto maupun Bima Sakti.
Lawan rata-rata lebih senior. Misalnya Lee Won-jae (legenda kiper Korsel) berusia 22 tahun. Choi Yong-soo juga hampir 22 tahun. Choi Yoon-yeol berusia 21 tahun. Ada beda satu-dua tahun usia antara kedua skuad. Korsel dilatih Anatoly Bishovets, membawa Uni Soviet meraih emas Olimpiade Seoul.
Dengan segala gegap gempita pemberitaan atas timnas masa depan Indonesia itu. Dengan kebintangan Bima Sakti, Kurnia Sandy dan Kurniawan DJ yang sempat trial atau menjalani masa bergabung dengan klub Eropa, mampu membetot perhatian penonton. Wajar jika stadion penuh sesak meskipun bukan laga level senior.
Pertandingan berakhir dengan skor 1-2 untuk Korsel dimana gol mereka dicetak Cho Yong-soo menit 42 dan 50 sebelum diperkecil Indriyanto Nugroho menit 65.
Pada leg kedua di Korea Selatan, skor 0-1 untuk Korea Selatan lewat gol Cho Hyun doo. Tahun itu Korea Selatan akhirnya lolos ke Olimpiade.
Nama-nama timnas Primavera saat ini memegang beberapa posisi penting dalam sepakbola nasional.