Istilah itu asalnya adalah sarkasme tentang peran seseorang di lapangan hijau.
Pada 1996, sebelum laga Liga Champions antara Manchester United dengan Juventus, lahir istilah yang kemudian fenomenal, porteur d’eau alias tukang angkut air. Pencetusnya adalah maestro urakan Manchester United asal Prancis Eric Cantona yang ketika itu menyindir peran Didier Deschamps, rekan senegaranya yang membela Juventus.
“Deschamps tidak akan lebih dari sekadar tukang angkut air. Anda bisa menemukan pemain seperti dia di setiap sudut jalanan,” kata Cantona kepada surat kabar Prancis L’Equipe ketika itu.
Sindiran King Cantona kepada Deschamps tidak berhenti di sini, tapi lebih dalam lagi. Ini bagian dari perang urat syaraf sebelum duel bergengsi Setan Merah dengan Nyonya Besar. “Hanya ada dua pemain Prancis yang hebat di Italia, Youri Djorkaeff dan Zinedine Zidane, sisanya tidak ada yang spesial.”
Sebutan tukang angkut air diberikan Cantona kepada Deschamps mengacu pada pekerjaan kasar yang dalam terminologi bola adalah merebut bola dari lawan untuk diberikan kepada kreator serangan. Dalam hal visi bermain dan teknik individu, tukang angkut air bukanlah fantasista, trequartista, atau mezzapunta, istilah Italia untuk kreator serangan, biasanya bernomor punggung 10.
Istilah dari Cantona itu asalnya adalah sarkasme tentang peran seseorang di lapangan hijau. Pernyataan itu lebih sebagai sindiran tentang posisi permainan yang tidak pernah flamboyan, tidak pernah glamour, tidak pernah segemerlap posisi lain yang berkaitan erat dengan terciptanya gol. Seiring waktu berjalan, terjadilah transformasi peran tukang angkut air. Belasan tahun kemudian, sepak bola mengenal tukang angkut air sebagai istilah yang jauh lebih elit dari asal mula maksudnya.
Transformasi Peran
Dahulu, nilai pemain dengan tugas tukang angkut air tidak semahal sekarang. Didier Deschamps misalnya, dibeli hanya seharga tiga juta pounds oleh Chelsea dari Juventus. Bandingkan dengan harga Jimmy Floyd Hasselbaink dan Chris Sutton, striker yang dibeli pada musim yang sama dengan kedatangan Deschamps, masing-masing 15 juta dan 10 juta pounds.
Pada awal hingga pertengahan 2000 sulit mencari tukang angkut air dengan supremasi fisik, jago tekel ditambah semangat pantang menyerah yang berharga murah. Michael Essien dibeli 26 juta pounds oleh Chelsea dari Lyon. Javier Mascherano dipinang Liverpool dengan label 18,6 juta pounds lantas dijual ke Barcelona seharga 18 juta pounds, Xabi Alonso diboyong Madrid seharga 30 juta pounds. Yaya Toure dipikat City senilai 28 juta pounds, sementara Nigel de Jong diboyong dengan harga 18 juta pounds dari Hamburg ke City.
Kian kemari harga tukang angkut air makin mahal. Tiemou Bakayoko diboyong Chelsea dari Monaco seharga 40 juta poundsterling. Ngolo Kante dibeli Chelsea dari Leicester City seharga 32 juta poundsterling.
Padahal dulu, sulit membayangkan “tukang angkut air” punya harga fantastis mendekati label striker.
Kenaikan harga transfer gelandang bertahan ini tidak lepas dari transformasi peran yang terjadi satu dekade terakhir. Dahulu, sisi glamour dan flamboyan dari sepak bola diukur oleh mereka yang berurusan dengan gol. Fantasista selalu punya nilai lebih dibandingkan gelandang bertahan yang pekerjaannya seruduk sana seruduk sini, atau sekadar mengantar bola ke pemain yang lebih kreatif. Di luar lapangan, tidak diragukan lagi Cantona menjadi komoditas lebih berharga dibandingkan Deschamps.
Kamera televisi lebih sering menyorot, sementara di luar sorotan kamera, kerja utama sebuah tim sebenarnya pada tukang angkut air. Pada sisi inilah, tukang angkut air merepresentasikan faktor kerja keras dalam kolektivitas permainan sepak bola.
Selama ini, sepak bola modern cenderung mengunggulkan kehebatan sisi individu dibandingkan kolektivitas. Dengan model-model seperti Kante atau Casemiro, tukang angkut air berhasil menjadi antitesa, bahwa kerja keras melengkapi kreativitas.
“Deschamps tidak akan lebih dari sekadar tukang angkut air. Anda bisa menemukan pemain seperti dia di setiap sudut jalanan,” kata Cantona kepada surat kabar Prancis L’Equipe ketika itu.
BACA FEATURE LAINNYA
Penyesalan Gerrard Liverpool Gagal Juara Liga Premier 2013/14
Penyesalan Gerrard Liverpool Gagal Juara Liga Premier 2013/14
Dahulu, nilai pemain dengan tugas tukang angkut air tidak semahal sekarang. Didier Deschamps misalnya, dibeli hanya seharga tiga juta pounds oleh Chelsea dari Juventus. Bandingkan dengan harga Jimmy Floyd Hasselbaink dan Chris Sutton, striker yang dibeli pada musim yang sama dengan kedatangan Deschamps, masing-masing 15 juta dan 10 juta pounds.
Pada awal hingga pertengahan 2000 sulit mencari tukang angkut air dengan supremasi fisik, jago tekel ditambah semangat pantang menyerah yang berharga murah. Michael Essien dibeli 26 juta pounds oleh Chelsea dari Lyon. Javier Mascherano dipinang Liverpool dengan label 18,6 juta pounds lantas dijual ke Barcelona seharga 18 juta pounds, Xabi Alonso diboyong Madrid seharga 30 juta pounds. Yaya Toure dipikat City senilai 28 juta pounds, sementara Nigel de Jong diboyong dengan harga 18 juta pounds dari Hamburg ke City.
BACA VIRAL LAINNYA
7 Pesepakbola Indonesia yang Sekilas Mirip Bintang Eropa
7 Pesepakbola Indonesia yang Sekilas Mirip Bintang Eropa
Padahal dulu, sulit membayangkan “tukang angkut air” punya harga fantastis mendekati label striker.
Kamera televisi lebih sering menyorot, sementara di luar sorotan kamera, kerja utama sebuah tim sebenarnya pada tukang angkut air. Pada sisi inilah, tukang angkut air merepresentasikan faktor kerja keras dalam kolektivitas permainan sepak bola.