Penggemar musik reggae, pasti tahu sejarahnya..
Namun, FIFA dengan tegas mengatakan bahwa pemain yang melanggar akan mendapatkan kartu jika diketahui mengenakan ban kapten pelangi. Dan, itu membuat beberapa negara marah serta mengancam meninggalkan FIFA.
Jika Harry Kane Cedera, Ini Skenario Pertandingan Inggris vs AS
"Sejak 2010 kami telah mengajukan pertanyaan tentang kesesuaian Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia. Semua orang bisa melihat ini, dan itu mengherankan. Pada pembukaan Piala Dunia, FIFA mencoba untuk menyensor pemain yang berbagi pesan positif," lanjut Mark Drakeford.
Respon Fans Milan Setelah Rafael Leao Cetak Gol Pertama di Piala Dunia
Ini adalah gerakan atau kampanye yang sebenarnya didukung FIFA dan PBB. Ini merupakan aksi untuk mendukung pluralisme, kersetaraan gender, humanisme, bumi hijau, dan semua yang berkaitan dengan HAM. Termasuk pengakuan kepada kaum LGBT
Dalam pelaksanaannya, ban kapten yang direncanakan untuk Piala Dunia 2022 akan menampilkan kampanye sosial yang berbeda di setiap putaran. Sebut saja #NoDiscrimination, #SaveThePlanet, #ProtectChildren, #EducationForAll, dan #BeActive.
Di negara-negara Eropa dan Amerika, pengakuan terhadap gerakan seperti ini umum dan normal. Di sana ada banyak aktivitas yang mendukung kampanye kesetaraan seperti Pride Parade. Di beberapa negara, hak untuk berhubungan sejenis sudah diakui dan diatur dalam undang-undang.
Masalahnya, hal tersebut tidak terjadi di Timur. Di wilayah ini ada dua pendapat terkait LGBT. Ada yang masih abu-abu, dalam arti tidak menukung, menolak, atau memasukkan dalam aturan formal negera. Tapi, di beberapa tempat lainnya, pelarangan aktibitas ini jelas tertulis di undang-undang. Salah satunya Qatar.
Asal mula gerakan One Love
One Love ini sebenarnya berasal dari Jamaika. Ini adalah adalah ekspresi persatuan dan inklusi. Ini sering digunakan oleh Rastafarian, Jamaika, dan musisi reggae.
Marcus Garvey, aktivis hak-hak sipil kulit hitam kelahiran Jamaika awal abad 19 menjadi yang pertama mempopulerkannya. Kadang-kadang, dia mengakhiri pidatonya dengan frasa "satu cinta" (one love). "Cari aku di angin puyuh. Satu Tuhan! Satu Tujuan! Satu Takdir! (One God! One Aim! One Destiny!)" kata Marcus Garvey dalam pidatonya pada 1924.
Kemudian, muncul gerakan Rastafarian di Jamaika, yang didirikan untuk memuja Marcus Garvey. Mereka mengadaptasi "Satu Tuhan! Satu Tujuan! Satu Takdir!" sebagai moto menjadi "One Love, One Heart, One Destiny" (Satu Cinta, Satu Hati, Satu Takdir).
Kata-kata ini semakin terkenal saat pada 1965, grup reggae, The Wailers, merilis lagu berjudul "One Love", dengan menyertakan lirik "one love, one heart, let's get together and feel okay". Lagu ini dirilis ulang pada 1977 oleh sang legenda, Bob Marley.
Oleh Marcus Garvey, "One Love" adalah gerakan satu cinta untuk solidaritas orang-orang kulit hitam di seluruh dunia. Sementara bagi Bob Marley, "One Love" adalah harmoni di antara orang-orang dari ras yang berbeda. Visi Bob Marley kemudian itafsirkan sebagai visi harmoni rasial.
Seiring perkembangan zaman, makna "One Love" terus bergeser. Dari solidaritas keturunan Afrika, harmoni ras yang berbeda, hingga sekarang menjadi identik dengan gerakan LGBT.
One love, one heart, one destiny. —Bob Marley pic.twitter.com/nLBBUCAEop
— wisdom nectar (@wectar) November 23, 2022