Sangat jarang pemain bola berasal dari keluarga super kaya.
Di sepakbola, orang akan dengan mudah menyebutkan banyak nama pesepakbola terkenal yang saat kecil hidup susah. Pele, Diego Maradona, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo contohnya. Lalu, bagaimana dengan anak orang kaya? Sedikit. Super kaya? Lebih sedikit. Gianluca Vialli salah satunya. 

Gianluca Vialli adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya jutawan. Dia orang super kaya yang memiliki sebuah perusahaan konstruksi.

Luca muda dibesarkan di sebuah kastil di Cremona, Lombardy. Pada usia 16 tahun, dia melakukan debut  untuk tim lokal Cremonese di Serie C. Tidak mudah bagi Gianluca Vialli untuk memulai karier sepakbola karena semua orang tahu statusnya. Sebagai anak orang kaya, dia selalu diejek sebagai anak mami, pemalas, boros, dan sejenisnya.

"Saya tidak suka jika ada yang mempertanyakan sikap saya di lapangan sepakbola. Saya benci jika ada mengaitkan saya dengan keluarga saya," kata Gianluca Vialli dalam sebuah kesempatan saat bercerita awal kariernya, dilansir Planet Football.

Dari Cremonese, anak orang super kaya itu pindah ke Sampdoria pada 1984. Di sana, dia bertemu mantan pemain hebat Liverpool, Graeme Souness. Berteman dengan Graeme Souness membuat Gianluca Vialli punya teman untuk mempraktekkan Bahasa Inggris yang dipelajari dari guru les privat suruhan ayahnya.

"Dia bisa Bahasa Inggris, tapi berantakan. Wajar, karena yang dia butuhkan hanyalah kawan bicara (Bahasa Inggris), yang sangat jarang di Italia," ucap Graeme Souness suatu ketika.

Pada suatu kesempatan, Graeme Souness bercanda dengan Gianluca Vialli dengan mendorongnya ke danau. Gianluca Vialli kemudian menanggapinya dengan memotong celana favorit Graeme Souness, membubuhkan busa cukur di sepatunya, serta bedak gatal di celananya.

Pertemanan dengan Graeme Souness membantu Gianluca Vialli dewasa dan memimpikan bermain di Liga Premier.

Awalnya, dia meninggalkan Sampdoria untuk bergabung dengan raksasa sepakbola Italia lainnya, Juventus, pada 1992. Saat itu, nilai transfernya menjadi rekor dunia. Dia memenangkan Piala UEFA dan Liga Champions bersama La Vecchia Signora sebelum Chelsea memanggil.

Tiba di Stamford Bridge pada musim panas 1996, klub yang saat itu dimiliki Ken Bates sedang berjuang bangkit dari keterpurukan. Mereka belum pernah memenangkan gelar sejak 1955 dan telah berada di kasta kedua selama tujuh tahun sebelum kedatangan Gianluca Vialli.

Seperti rival London lainnya, Tottenham Hotspur dan Arsenal yang masing-masing telah mendatangkan Juergen Klinsmann serta Dennis Bergkamp, Chelsea juga merekrut pemain jebolan Serie A. Harap diingat, Serie A pada era itu merupakan kompetisi terbaik di bumi.

Pertama, Ken Bates membawa superstar Belanda, Ruud Gullit, sebagai pelatih pada 1995. Setahun kemudian, giliran Gianluca Vialli yang datang untuk membantu mengubah klub menjadi salah satu yang terbesar di Inggris. Di usia 32 tahun, dia bergabung dengan rekan senegaranya, Roberto di Matteo dan Gianfranco Zola.

Gianluca Vialli menjadi pencetak gol terbanyak Chelsea musim itu. Dia membantu klub mengangkat Piala FA. Itu adalah trofi pertama The Blues dalam seperempat abad.

"Di sini (London) saya bisa berjalan-jalan dengan pacar saya. Saya bisa berbelanja. Saya bisa duduk di pub atau pergi makan malam, dan tidak ada yang meminta tanda tangan saya. Itu mimpi. Setelah 15 tahun mengkhawatirkan, saya akhirnya menjadi orang bebas," ujar Gianluca Vialli saat menyebut alasan memilih Liga Premier.



Bergaya dan karismatik, Gianluca Vialli termasuk di antara garda depan talenta asing yang membawa pesona kosmopolitan baru ke Liga Premier saat itu.

Kemudian, Gianluca Vialli melanjutkan karier sepakbolanya sebagai pemain merangkat pelatih Chelsea. Saat itu, The Blues sebenarnya berada di urutan kedua klasemen sementara Liga Premier. Tapi, klub secara mengejutkan memecat Ruud Gullit. Selanjutnya, menunjuk Gianluca Vialli sebagai pengganti.

Baru berusia 33 tahun dan masih menjadi pemain, Gianluca Vialli adalah orang Italia pertama yang melatih klub Liga Premier. Dia membawa The Blues meraih kemenangan atas Real Madrid di Piala Super Eropa. Lalu, dia membawa Chelsea berada di urutan ketiga Liga Premier. Itu menjadi hasil terbaik mereka sejak 1970.

Kiprah Gianluca Vialli tidak hanya sampai di situs. Pada 2000, dia membawa Chelsea meraih kejayaan Piala FA dan perempat final di Liga Champions.

Tapi, setelah berselisih dengan beberapa pemain senior, Chelsea memecat Gianluca Vialli pada September 2000. Dia tinggal di Inggris untuk mengambil sertufikat kepelatihan dan meningkatkan permainan golfnya. Kemudian, pada 2001, Watford menawarinya jalan kembali menjadi pelatih.



Setahun kemudian, dia berkencan dengan desainer interior, Cathryn White-Cooper. Pasangan itu menikah pada 2003 dan memiliki dua anak perempuan, Olivia serta Sofia. "Saya tidak pernah ingin kembali ke Italia. Pacar saya orang Inggris. Saya suka London," ujar Gianluca Vialli.

Watford kemudian memecat Gianluca Vialli. Itu terjadi setelah satu musim. Tapi, dia tetap di London dan bekerja sebagai komentator Sky Sports Italia.

Namun, dunia sepakbola kemudian dibiarkan terguncang pada November 2018 setelah Gianluca Vialli mengungkapkan berjuang melawan kanker pankreas selama hampir setahun. Dia awalnya mencoba menyembunyikan penurunan berat badannya dengan mengenakan sweter saat menjalani delapan bulan kemoterapi dan enam minggu radioterapi.

"Saya tahu sulit untuk memberi tahu orang lain, untuk memberi tahu keluarga saya. Kamu tidak akan pernah ingin menyakiti orang yang mencintaimu, orang tuaku, saudara laki-laki dan perempuanku, istriku Cathryn, gadis kecil kami. Itu memberimu rasa malu, seolah-olah itu salahmu," ujar Gianluca Vialli.

"Saya akan memakai sweter di bawah baju saya sehingga orang lain tidak melihat apa-apa. Saya akan tetap menjadi Gianluca Vialli yang mereka kenal," tambah Gianluca Vialli.

Tumornya kian ganas pada Maret 2019. Gianluca Vialli membutuhkan sembilan bulan kemoterapi dan kehilangan rambut, jenggot, dan alisnya. Tapi, pada 2020, dia mengungkapkan telah dinyatakan sembuh dari penyakit tersebut setelah 17 bulan menjalani kemoterapi.



Setahun sebelumnya, Gianluca Vialli diangkat sebagai Chief de Mission (CdM) Gli Azzurri di bawah pelatih kepala, teman baik, serta rekan setimnya saat di Sampdoria, Roberto Mancini.

"Berada di dalam bus, musik yang menghentak, memeluk para pemain sebelum pertandingan, lagu kebangsaan, kegembiraan sesudahnya, saya merindukan sepakbola dan saya tidak menyadari seberapa banyak," kata Gianluca Vialli setelah menjadi bagian dari tim yang menjuarai Euro 2020.

Sayang, Gianluca Vialli harus mundur dari peran tersebut pada 14 Desember 2022 karena kanker yang agresif itu kembali. Dalam pernyataan publik terakhirnya, dia berharap ketidakhadirannya dari tim nasional bersifat sementara.

Pengumuman lanjutan dari Gianluca Vialli ternyata tidak pernah didengarkan pengemar sepakbola dari seluruh dunia. Dia dinyatakan meninggal di sebuah rumah sakit di London, beberapa hari setelah Tahun Baru 2023.

Sebelum meninggal, Gianluca Vialli dan sahabat baiknya, Roberto Mancini, telah menikmati kemenangan manis terakhir dengan menjuarai Euro 2020. Sebelum final di Wembley melawan Inggris, Gianluca Vialli membacakan kalimat, "Man in the Arena"dari Theodore Roosevelt kepada para pemain Gli Azzurri.

Selamat jalan legenda! Terima kasih atas pertunjukan sepakbola hebatmu!