Ini agar lebih jelas bagaimana memahami sepakbola Israel dan polemik yang ada.
Penolakan timnas kesebelasan Israel atau Yahudi untuk berlaga di Indonesia dalam ajang Piala Dunia U-20 menjadi polemik panjang. Penentangan terus bergulir dari sejumlah kalangan elit politik di Indonesia.
Mulai Gubernur Bali hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan enggan melihat atlet sepak bola Yahudi merumput di stadion Indonesia. Konflik tak berkesudahan antara Israel dengan Palestina sebagai alasan utamanya.
Sementara di sisi lain ada pihak yang tidak sepakat dengan penolakan itu. Mereka tidak ingin mencampuradukkan antara sepak bola dengan urusan politik.
Sementara dalam sejarahnya, orang-orang Yahudi memakai olahraga, yakni khususnya sepak bola sebagai salah satu instrumen untuk memperkuat kekuatan politik internasional.
Seluruh gerakan Yahudi atau Israel di dunia meyakini sepak bola dan olahraga pada umumnya akan membebaskan mereka dari kekerasan dan tirani anti semit.
Keyakinan itu dipandu oleh sebuah doktrin politik yang telah mendarah daging sekaligus menjadi nafas kebangkitan mereka.
“Ahli polemik Max Nordau, salah seorang pelopor Zionisme awal abad ke-20, mencetuskan sebuah doktrin yang disebut Muskeljudentum atau pembugaran Yahudi,” demikian dikutip dari buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola (2006).
Efek dari doktrin Muskeljudentum terlihat pada tahun 1920-an. Klub-klub sepak bola Yahudi menjamur di seluruh Eropa metropolitan, yakni di antaranya di Budapest, Berlin, Praha, Innsbruck dan Linz
Tim-tim sepak bola Yahudi ini membawa nasionalisme mereka sendiri, bukan nasionalisme Hungaria, Austria atau Jerman. Secara terbuka mereka memperlihatkan penanda Zionisme yang disematkan pada lengan baju dan seragam.
Nama-nama tim kesebelasan juga dijumput dari bahasa Ibrani, yakni seperti Hagibor (sang pahlawan), Bar Kochba (Tokoh pemberontakan melawan Romawi pada abad ke-2) dan Hakoah (Kekuatan).
“Seragam mereka biru putih, warna bendera Israel”.
Max Nordau berpendapat banyak orang Yahudi, yakni terutama yang menjadi korban anti semitisme mengalami penyakit Judentot atau kemurungan Yahudi. Penyakit yang timbul akibat tekanan hidup di ghetto-ghetto.
Digambarkan betapa sengsaranya hidup dalam kesuraman rumah-rumah yang tidak tembus cahaya matahari. Tungkai orang-orang Yahudi telah lunglai sekaligus lupa cara bergerak dengan riang.
“Cemas akan penganiayaan yang terus-menerus datang mendera, kelantangan suara kita pun padam menjadi bisik-bisik resah”.
Penyakit Judentot atau kemurungan Yahudi harus diberantas. Yang dibutuhkan untuk menyingkirkan itu bukan hanya melakukan penyegaran raga politik, melainkan juga penyegaran raga jasmani. Doktrin Muskeljudentum bertujuan memulihkan kebugaran yang hilang dari badan lembek
Yahudi dan mengubahnya menjadi kuat penuh semangat, gesit penuh tenaga. Max Nordau menghimbau warga Yahudi untuk menanamkan modalnya untuk membangun gymnasium dan lapangan atletik, karena olahraga akan meluruskan jiwa dan raga.
Himbauan itu ditangkap para pemimpin komunitas-komunitas Yahudi di Eropa Tengah. Walhasil, dari 52 medali Olimpiade yang direbut Austria (1896-1936) 18 di antaranya dimenangkan atlet Yahudi. Pencapaian prestasi tidak hanya pada cabang pertandingan perorangan, yakni terutama anggar dan renang, orang-orang Yahudi atau Israel juga maju pesat dalam sepak bola.
Selama kurun waktu 1910-an dan 1920-an, kesebelasan Hungaria banyak berisi atlet-atlet Yahudi.
“Untuk rentang waktu yang singkat, sukses Yahudi di bidang olahraga menyamai prestasi-prestasi intelektual mereka”.
Mulai Gubernur Bali hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan enggan melihat atlet sepak bola Yahudi merumput di stadion Indonesia. Konflik tak berkesudahan antara Israel dengan Palestina sebagai alasan utamanya.
Keyakinan itu dipandu oleh sebuah doktrin politik yang telah mendarah daging sekaligus menjadi nafas kebangkitan mereka.
Efek dari doktrin Muskeljudentum terlihat pada tahun 1920-an. Klub-klub sepak bola Yahudi menjamur di seluruh Eropa metropolitan, yakni di antaranya di Budapest, Berlin, Praha, Innsbruck dan Linz
Nama-nama tim kesebelasan juga dijumput dari bahasa Ibrani, yakni seperti Hagibor (sang pahlawan), Bar Kochba (Tokoh pemberontakan melawan Romawi pada abad ke-2) dan Hakoah (Kekuatan).
Max Nordau berpendapat banyak orang Yahudi, yakni terutama yang menjadi korban anti semitisme mengalami penyakit Judentot atau kemurungan Yahudi. Penyakit yang timbul akibat tekanan hidup di ghetto-ghetto.
Digambarkan betapa sengsaranya hidup dalam kesuraman rumah-rumah yang tidak tembus cahaya matahari. Tungkai orang-orang Yahudi telah lunglai sekaligus lupa cara bergerak dengan riang.
“Cemas akan penganiayaan yang terus-menerus datang mendera, kelantangan suara kita pun padam menjadi bisik-bisik resah”.
Penyakit Judentot atau kemurungan Yahudi harus diberantas. Yang dibutuhkan untuk menyingkirkan itu bukan hanya melakukan penyegaran raga politik, melainkan juga penyegaran raga jasmani. Doktrin Muskeljudentum bertujuan memulihkan kebugaran yang hilang dari badan lembek
Yahudi dan mengubahnya menjadi kuat penuh semangat, gesit penuh tenaga. Max Nordau menghimbau warga Yahudi untuk menanamkan modalnya untuk membangun gymnasium dan lapangan atletik, karena olahraga akan meluruskan jiwa dan raga.
Himbauan itu ditangkap para pemimpin komunitas-komunitas Yahudi di Eropa Tengah. Walhasil, dari 52 medali Olimpiade yang direbut Austria (1896-1936) 18 di antaranya dimenangkan atlet Yahudi. Pencapaian prestasi tidak hanya pada cabang pertandingan perorangan, yakni terutama anggar dan renang, orang-orang Yahudi atau Israel juga maju pesat dalam sepak bola.
Selama kurun waktu 1910-an dan 1920-an, kesebelasan Hungaria banyak berisi atlet-atlet Yahudi.
“Untuk rentang waktu yang singkat, sukses Yahudi di bidang olahraga menyamai prestasi-prestasi intelektual mereka”.