Bhayangkara FC suka berkelana. Dari Surabaya, Sidoarjo, Bekasi, Jakarta, kini ke Solo.
Untuk kesekian kalinya, Bhayangkara FC pindah markas. Berawal di Surabaya dan Sidoarjo, klub milik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) itu pindah ke Bekasi dan Jakarta. Kini, The Guardian menjadikan Solo sebagai markas barunya.
Setelah dinyatakan lolos AFC Club Licensing 2020, Bhayangkara memutuskan menjalin kerja sama dengan Universitas Negeri 11 Maret (UNS) dan hijrah ke Solo. Mereka akan menjadikan Stadion Manahan sebagai kandang baru untuk Liga 1 2020/2021. Mereka juga menggunakan Stadion UNS sebagai tempat latihan dan Mess UNS sebagai penginapan para pemain.
"Kulonuwun Solo," tulis klub yang berubah nama menjadi Bhayangkara Solo FC tersebut di akun Twitter resminya, @BhayangkaraFC.
Bagi Bhayangkara, kepindahan ke Solo bukan hal pertama. Saat berdiri sebagai akibat konflik internal Persebaya Surabaya dan PSSI, The Guardian menggunakan nama Bhayangkara Surabaya United dan bermarkas di Jawa Timur.
Selanjutnya, mereka berganti nama menjadi Bhayangkara FC dan pindah ke Jakarta Raya. Awalnya, mereka menggunakan Stadion Patriot Chandrabaga, Bekasi, sebagai homebase. Lalu, ketika Stadion PTIK direnovasi dan memenuhi syarat PSSI, Bhayangkara pindah ke Jakarta Selatan.
Uniknya, kepindahan klub sepakbola Jakarta ke Solo bukan hanya dilakukan Bhayangkara. Sejak era Galatama hingga Liga Indonesia, hal itu juga terjadi. Begitu pula pada kompetisi sempalan Liga Primer Indonesia (LPI). Berikut ini 4 klub asal Jakarta yang pindah ke Solo.
1. Arseto Solo
Arseto Football Club merupakan sebuah klub sepakbola era Galatama. Klub ini berdiri pada 1978 oleh Sigid Harjoyudanto. Dia merupakan putra mantan Presiden Soeharto. Pemilihan nama Arseto sebagai nama tim, memiliki 2 kemungkinan, yakni Aryo Seto yang merupakan tokoh pewayangan atau Ari Sigit Soeharto, putra Sigid.
Awalnya, klub ini bermarkas di Jakarta. Tapi, sejak 1983, setelah Presiden Soeharto mencanangkan 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas) saat peresmian renovasi Stadion Sriwedari Solo, Arseto mulai memainkan pertandingan kandang di Solo.
Kostum kandang yang dipergunakan berwarna biru muda sehingga Arseto dijuluki "Tim Biru Langit". Mereka juga dijuluki "The Cannon" (Si Meriam) karena para pemain dikenal selalu bersemangat dan tidak pernah lelah berjuang untuk menampilkan performa terbaiknya seperti meriam yang selalu panas.
Selain menjuarai Galatama 1991/1992, Arseto juga sempat diperkuat banyak pemain legendaris Indonesia. Sebut saja Ricky Yacob, Sudirman, Eddy Harto, Nasrul Koto, Eduard Tjong, Zulkarnain Jamil, Rochy Putiray, Miro Baldo Bento, I Komang Putra, Agung Setyabudi, hingga Nova Arianto.
Sayang, Arseto menghilang seiring waktu. Sempat mengikuti Liga Indonesia, mereka menyatakan bubar pada 1998. Pemicunya, krisis ekonomi dan Reformasi yang menyebabkan semua hal yang berbau keluarga Cendana dihindari masyarakat Indonesia.
2. Pelita Solo
Pelita Jaya adalah klub yang berdiri pada 1986 di era Galatama dan dimiliki Nirwan Bakrie. Kiprah perdana mereka di Galatama langsung menarik perhatian publik dengan mengalahkan juara musim sebelumnya, Krama Yudha Tiga Berlian (KTB), di Stadion Menteng, Jakarta Pusat, 31 Agustus 1986.
Setelah itu, klub yang bermarkas di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu disegani lawan-lawan di Galatama. Mereka meraih trofi juara 1988/1989, 1990, dan 1993/1994.
Ketika Liga Indonesia digulirkan pada 1994, Pelita menjelma menjadi Los Galacticos. Pemain-pemain mahal berstatus bintang didaratkan. Mereka juga punya fasilitas kelas satu. Selain Stadion Lebak Bulus, Pelita punya markas latihan yang bagus di Sawangan, Depok.
Sayang, bintang-bintang yang dimiliki tidak membuat Pelita memiliki basis pendukung besar. Setiap menjalani laga kandang, Stadion Lebak Bulus sepi. Hanya ada segelintir pendukung dengan label The Commandos yang hadir. Akibatnya, manajemen memutuskan pindah ke Solo pada 2000. Pelita Jaya berubah menjadi Pelita Solo.
Sempat mendapatkan dukungan warga Solo dengan lahirnya Pasoepati (Pasukan Suporter Pelita Sejati), Pelita tidak bertahan lama di Stadion Manahan. Pada 2002, mereka meninggalkan Solo untuk hijrah ke Cilegon. Klub kembali berganti menjadi Pelita Krakatau Steel. Sementara di Solo, Pasopati berganti kepanjangan menjadi Pasukan Suporter Paling Sejati.
Saat ini, Pelita telah berganti kepemilikan dan nama. Sejak 10 Januari 2016, Pelita pindah ke Pulau Madura. Mereka bertransformasi menjadi Madura United setelah diambil alih Achsanul Qosasi dengan bendera PT Polana Bola Madura Bersatu.
3. Persijatim Solo FC
Kepergian Pelita dari Solo sempat menimbulkan kekosongan klub profesional, meski tidak berlangsung lama. Pasalnya, Persijatim Jakarta Timur langsung pindah ke markas dari Stadion Bea Cukai Rawamangun, Jakarta Timur, ke Stadion Manahan pada 2002. Mereka berganti nama menjadi Persijatim Solo FC.
Sama seperti era Pelita, awal kedatangan Persijatim juga disambut dengan tangan terbuka. Pada tahun pertama, mereka memiliki skuad yang kompetitif. Sebut saja Ismed Sofyan, Leo Soputan, Harry Salisbury, Tony Sucipto, Maman Abdurahman, Eka Ramdani, Haryanto Prasetyo, Akyar Ilyas, Mardiansyah, Rudi Widodo, hingga Indriyanto Nugroho. Ada juga Ferry Rotinsulu dan Greg Nwokolo yang gabung di musim kedua.
Sayang, nyawa Persijatim di Solo tidak panjang. Di akhir musim 2004, saham dan lisensi Persijatim dibeli Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Nama klub berubah menjadi Sriwijaya FC. Setelah ditinggal Pelita dan Persijatim, Pemerintah Kota Surakarta akhirnya serius mengelola Persis Solo.
4. Solo FC
Ketika Liga Primer Indonesia (LPI) diluncurkan untuk menandingi Indonesia Super League (ISL), konsorsium LPI selaku pemilih semua klub peserta juga melirik Stadion Manahan. Mereka membentuk tim dengan nama Solo FC. Klub yang berdiri pada 2010 itu juga dikenal sebagai Ksatria XI Solo.
Saat pembukaan LPI di Stadion Manahan, Solo FC dibantai Persema Malang dengan Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan sebagai bintangnya. Tapi, setelah itu, klub yang menjuluki dirinya Jatayu Hitam tersebut hilang dari peredaran.
Setelah dinyatakan lolos AFC Club Licensing 2020, Bhayangkara memutuskan menjalin kerja sama dengan Universitas Negeri 11 Maret (UNS) dan hijrah ke Solo. Mereka akan menjadikan Stadion Manahan sebagai kandang baru untuk Liga 1 2020/2021. Mereka juga menggunakan Stadion UNS sebagai tempat latihan dan Mess UNS sebagai penginapan para pemain.
BACA FEATURE LAINNYA
14 Legenda yang Jumlah Golnya di Liga Champions Sudah Dilewati Erling Haaland
14 Legenda yang Jumlah Golnya di Liga Champions Sudah Dilewati Erling Haaland
1. Arseto Solo
Arseto Football Club merupakan sebuah klub sepakbola era Galatama. Klub ini berdiri pada 1978 oleh Sigid Harjoyudanto. Dia merupakan putra mantan Presiden Soeharto. Pemilihan nama Arseto sebagai nama tim, memiliki 2 kemungkinan, yakni Aryo Seto yang merupakan tokoh pewayangan atau Ari Sigit Soeharto, putra Sigid.
BACA FEATURE LAINNYA
Inilah Benjamin Aguero, The Next Maradona yang Sebenarnya
Inilah Benjamin Aguero, The Next Maradona yang Sebenarnya
Kostum kandang yang dipergunakan berwarna biru muda sehingga Arseto dijuluki "Tim Biru Langit". Mereka juga dijuluki "The Cannon" (Si Meriam) karena para pemain dikenal selalu bersemangat dan tidak pernah lelah berjuang untuk menampilkan performa terbaiknya seperti meriam yang selalu panas.
Sayang, Arseto menghilang seiring waktu. Sempat mengikuti Liga Indonesia, mereka menyatakan bubar pada 1998. Pemicunya, krisis ekonomi dan Reformasi yang menyebabkan semua hal yang berbau keluarga Cendana dihindari masyarakat Indonesia.
2. Pelita Solo
Pelita Jaya adalah klub yang berdiri pada 1986 di era Galatama dan dimiliki Nirwan Bakrie. Kiprah perdana mereka di Galatama langsung menarik perhatian publik dengan mengalahkan juara musim sebelumnya, Krama Yudha Tiga Berlian (KTB), di Stadion Menteng, Jakarta Pusat, 31 Agustus 1986.
Setelah itu, klub yang bermarkas di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu disegani lawan-lawan di Galatama. Mereka meraih trofi juara 1988/1989, 1990, dan 1993/1994.
Ketika Liga Indonesia digulirkan pada 1994, Pelita menjelma menjadi Los Galacticos. Pemain-pemain mahal berstatus bintang didaratkan. Mereka juga punya fasilitas kelas satu. Selain Stadion Lebak Bulus, Pelita punya markas latihan yang bagus di Sawangan, Depok.
Sayang, bintang-bintang yang dimiliki tidak membuat Pelita memiliki basis pendukung besar. Setiap menjalani laga kandang, Stadion Lebak Bulus sepi. Hanya ada segelintir pendukung dengan label The Commandos yang hadir. Akibatnya, manajemen memutuskan pindah ke Solo pada 2000. Pelita Jaya berubah menjadi Pelita Solo.
Sempat mendapatkan dukungan warga Solo dengan lahirnya Pasoepati (Pasukan Suporter Pelita Sejati), Pelita tidak bertahan lama di Stadion Manahan. Pada 2002, mereka meninggalkan Solo untuk hijrah ke Cilegon. Klub kembali berganti menjadi Pelita Krakatau Steel. Sementara di Solo, Pasopati berganti kepanjangan menjadi Pasukan Suporter Paling Sejati.
Saat ini, Pelita telah berganti kepemilikan dan nama. Sejak 10 Januari 2016, Pelita pindah ke Pulau Madura. Mereka bertransformasi menjadi Madura United setelah diambil alih Achsanul Qosasi dengan bendera PT Polana Bola Madura Bersatu.
3. Persijatim Solo FC
Kepergian Pelita dari Solo sempat menimbulkan kekosongan klub profesional, meski tidak berlangsung lama. Pasalnya, Persijatim Jakarta Timur langsung pindah ke markas dari Stadion Bea Cukai Rawamangun, Jakarta Timur, ke Stadion Manahan pada 2002. Mereka berganti nama menjadi Persijatim Solo FC.
Sama seperti era Pelita, awal kedatangan Persijatim juga disambut dengan tangan terbuka. Pada tahun pertama, mereka memiliki skuad yang kompetitif. Sebut saja Ismed Sofyan, Leo Soputan, Harry Salisbury, Tony Sucipto, Maman Abdurahman, Eka Ramdani, Haryanto Prasetyo, Akyar Ilyas, Mardiansyah, Rudi Widodo, hingga Indriyanto Nugroho. Ada juga Ferry Rotinsulu dan Greg Nwokolo yang gabung di musim kedua.
Sayang, nyawa Persijatim di Solo tidak panjang. Di akhir musim 2004, saham dan lisensi Persijatim dibeli Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Nama klub berubah menjadi Sriwijaya FC. Setelah ditinggal Pelita dan Persijatim, Pemerintah Kota Surakarta akhirnya serius mengelola Persis Solo.
4. Solo FC
Ketika Liga Primer Indonesia (LPI) diluncurkan untuk menandingi Indonesia Super League (ISL), konsorsium LPI selaku pemilih semua klub peserta juga melirik Stadion Manahan. Mereka membentuk tim dengan nama Solo FC. Klub yang berdiri pada 2010 itu juga dikenal sebagai Ksatria XI Solo.
Saat pembukaan LPI di Stadion Manahan, Solo FC dibantai Persema Malang dengan Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan sebagai bintangnya. Tapi, setelah itu, klub yang menjuluki dirinya Jatayu Hitam tersebut hilang dari peredaran.