Saat Liberia masih memiliki legenda George Weah, Nagbe adalah sang kapten.
Masih ingat Joe Nagbe? Pria yang kini menjadi asisten Peter Butler di tim nasional Liberia itu sempat malang melintang di Liga Indonesia. Uniknya, Butler juga pernah melatih di Indonesia.

Hubungan antara sepakbola Indonesia dengan Liberia sudah berlangsung sangat lama sejak Galatama dan Perserikatan digabungkan menjadi Liga Indonesia. Saat itu, pemain-pemain dari banyak negara datang. Ada yang gagal dan numpang lewat. Tapi, tidak sedikit yang sukses.

Dari banyak pemain yang berhasil, mayoritas berasal dari Afrika seperti Kamerun, Nigeria, dan Liberia, atau dari Amerika Selatan seperti Brasil, Chile, Argentina, serta Uruguay. Salah satu yang punya nama harum adalah Nagbe.

Petualangan Nagbe di sepakbola profesional dimulai di kampung halamannya. Lahir di Nimba, 2 September 1968, pemilik nama lengkap Joe Thunder Armstrong Nagbe tersebut bergabung dengan Invincible Eleven pada 1985. Lalu, pindah ke Mighty Barolle sebelum kembali ke Invincible.

Bersama dengan sesama pemain internasional Liberia, James Debbah, Nagbe pindah ke Union Douala di Liga Kamerun pada 1989. Kemudian, mereka bergabung ke AS Monaco. Di klub elite Ligue 1 tersebut, Nagbe bertemu rekan senegara yang di kemudian hari menjadi legenda dan Presiden Liberia, George Weah.

Meski hanya sebentar di Monaco, kolaborasi Nagbe dan Weah berlanjut di timnas. Pada 1996, untuk kali pertama dalam sejarah, Nagbe membantu The Lone Star tampil di Piala Afrika. Tapi, pada kompetisi yang digelar di Afrika Selatan tersebut, Liberia demam panggung sehingga menelan dua kekalahan dari tiga pertandingan fase grup.

Seiring karier yang bagus di Eropa, Nagbe ditunjuk menjadi kapten Liberia, meski Weah berstatus peraih Ballon d'Or. Dia menjadi kapten yang meloloskan Liberia ke Piala Afrika 2002 setelah gagal lolos pada 1998 dan 2000.  

Setelah tidak laku di Benua Biru, Nagbe mendapatkan tawaran bermain di Indonesia. Pada 2003, dia mendarat di Bandara Adisutjipto Yogyakarta untuk mengikat kontrak dengan PSIM Yogyakarta. Bertandem dengan Roberto Kwateh, Nagbe membuat suporter Laskar Mataram, Brajamusti, jatuh hati. Mereka punya lagu khusus untuk duo Liberia tersebut.

Bermain di Divisi I (sekarang Liga 2), Nagbe membantu PSIM memuncaki klasemen akhir Grup C. Dengan 20 poin, mereka unggul 3 poin dari Persebaya Surabaya. Sayang, pada babak 8 besar, PSIM tidak mampu bersaing dengan Persebaya dan PSMS yang lolos otomatis ke Divisi Utama.

Bersama Persela Lamongan, PSIM sebenarnya masih memiliki kesempatan lolos ke kasta tertinggi melalui jalur play-off melawan 2 tim dari Divisi Utama. Lagi-lagi, dewi fortuna tidak berpihak pada Laskar Mataram. PSIM hanya mampu finish di posisi 3 di belakang Persib Bandung dan Persela.

Meski gagal, Nagbe tampil membanggakan. Dia mengemas 17 gol. Koleksinya sama dengan legenda Persiraja Banda Aceh, Irwansyah. Keduanya tertinggal 7 gol dari sang pencetak gol terbanyak, Christian Carrasco (Persim Maros).

Sukses di Kota Gudeg, Nagbe hijrah ke PSPS Pekanbaru. Bermain di Divisi Utama 2004, dia menunjukkan kualitasnya. Nagbe memproduksi 18 gol. Jumlah itu sama dengan Aliyuddin (Persikota Tanggerang) atau tertinggal 2 gol dari Camara Fode (PKT Bontang) di posisi 2 dan 4 gol dari Ilham Jayakesuma (Persita Tenggerang) selaku pencetak gol terbanyak.

Sayang, kegemilangan Nagbe tidak mampu membantu PSPS bertahan di Divisi Utama. Di akhir klasemen, mereka menempati posisi 16 Wilayah Barat dengan 40 poin. PSPS tertinggal 1 poin dari Semen Padang (posisi 15).

Dari Sumatera, Nagbe kembali ke Jawa. Sempat memperkuat Persema Malang pada 2004, Nagbe bergabung dengan Persiba Bantul pada 2005. Tapi, kegemilangan gelandang berpostur 184 cm tersebut tidak berlanjut. Dia bermain biasa-biasa saja di Malang maupun Bantul sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya di Liberia.

Nagbe pensiun sebagai pesepakbola pada 2007. Pada 2001, dia mundur dari timnas. Tapi, dia kembali bermain pada 2011. Pada 5 Juni di laga Kualifikasi Piala Afrika 2012, Nagbe membela Liberia menghadapi Cape Verde. Itu membuat dirinya memecahkan rekor kiper Tunisia, Ali Boumnijel, sebagai pemain tertua yang tampil di kompetisi Benua Hitam dalam usia 39 tahun 10 bulan pada 2006. Saat itu, Nagbe berusia 43 tahun.

"Jika itu terjadi, itu akan menjadi sejarah besar bagi saya. Itu adalah sesuatu yang akan saya kerjakan karena saya akan sangat senang jika saya dapat membuat negara saya lolos ke Piala Afrika pada usia saya saat ini. Saya akan sangat senang menjadi pemain tertua yang pernah bermain," ujar Nagbe saat itu, dikutip BBC Sport.

"Saat saya memutuskan untuk pensiun, semuanya berjalan sangat buruk di timnas. Saya menunggu ada perubahan terjadi. Tapi, tidak ada apa-apa. Lalu, saya berpikir mungkin saja timnas membutuhkan saya," tambah Nagbe.

Dia memiliki rekor caps terbanyak yaitu 77 bahkan George Weah dia kalahkan (75).

Meski sudah pensiun, kehebatan Nagbe di lapangan hijau tidak pernah hilang. Pasalnya, dia memiliki putra yang bermain di sejumlah klub MLS seperti Portland Timbers, Atlanta United, dan Columbus Crew. Dia adalah Darlinton Nagbe. Sama seperti sang ayah, Darlington bermain sebagai gelandang bertahan.

Bedanya, Darlington memutuskan membela timnas AS. Dia punya 25 caps dari 2015 hingga 2018. Itu terjadi karena sejak usia 11 tahun, Darlington tinggal di Negeri Paman Sam bersama sang ibu.

Saat itu, ketika perang saudara pecah di Liberia, Darlington baru berusia 5 tahun. Dia tinggal di Monrovia bersama sang ibu, sedangkan Nagbe bermain di Eropa. Mereka lalu mengungsi sebelum akhirnya dibawa Nagbe berkelana ke Prancis, Yunani, hingga Swiss, sebelum akhirnya dikirim ke Cleveland untuk menetap.