Jika di Piala Dunia 1986 ada "Gol tangan Tuhan", maka saat Kualifikasi Piala Dunia 2010 Zona Eropa ada istilah "Assist tangan setan"
Jika di Piala Dunia 1986 ada "Gol tangan Tuhan", maka saat Kualifikasi Piala Dunia 2010 Zona Eropa ada istilah "Assist tangan setan". Sama-sama menentukan, tapi berbeda perlakukan. Yang dikerjakan Diego Maradona dianggap sebagai kecerdikan, sementara tindakan Thierry Henry merupakan aksi curang.

Selama menjadi pemain profesional bertahun-tahun, Henry dikenal sebagai panutan pemain-pemain muda Arsenal dan tim nasional Prancis. Dia memiliki reputasi yang sangat bagus sejak berseragam AS Monaco, Juventus, Arsenal, Barcelona, hingga Red Bull New York.

Pria yang kini melatih Montreal Impact di MLS tersebut seperti ditakdirkan untuk memetik berbagai trofi bergengsi. Di level timnas, Henry ikut saat Les Bleus menjuarai Piala Dunia 1998, Euro 2000, Piala Konfederasi 2003, serta runner-up Piala Dunia 2006.

Untuk klub, Henry mendapatkan trofi Division 1 (kini Ligue 1) 1996/1997 bersama Monaco. Lalu, Liga Premier (2001/2002, 2003/2004), Piala FA (2001/2002, 2002/2003), serta Community Shield (2002, 2004) untuk Arsenal. Ada lagi La Liga (2008/2009, 2009/2010), Copa del Rey (2008/2009), Supercopa de Espana (2009), Liga Champions (2008/2009), Piala Super Eropa (2009), dan Piala Dunia Antarklub (2009) bersama Barcelona.

Namun, bukan berarti perjalanan karier Henry mendapatkan pujian. Ada satu momen ketika dia kebanjiran banyak hujatan. Bahkan, dia sempat dilarang menginjakkan kaki di Dublin maupun kota-kota lain di Irlandia. 

Semua itu karena satu hal, yaitu "Assist tangan setan". Itu adalah istilah satir yang diberikan pers Irlandia dan Britania Raya kepada aksi kurang sportif Henry ketika mendapatkan kesempatan membela Prancis melawan Irlandia di Stade de France, Saint-Denis, 18 November 2009. 



Itu adalah pertandingan play-off untuk memperebutkan tiket ke Afrika Selatan. Prancis butuh hasil imbang setelah unggul 1-0 pada leg pertama di Dublin. Tapi, saat leg kedua digelar, Les Bleus justru tertinggal 0-1 dari The Boys in Green. Kemudian, gol menit akhir yang ditunggu dilesakkan William Gallas untuk membuat skor akhir 1-1 dan Prancis unggul 2-1 secara agregat. 

Nah, disinilah letak kontroversi yang ditimbulkan Henry. Sebelum Gallas menjebol jala Shay Given pada menit 103, dia menyentuh bola dengan tangan. Itu bukan handball biasa. Henry mengontrol bola yang hampir meninggalkan lapangan menggunakan tangan kiri sebelum mengirim umpan tarik menggunakan kaki kanan yang sukses disambar Gallas.

Gol itu membuat Prancis berpesta dan Irlandia meradang. Mimpi pasukan Giovanni Trapattoni ke Piala Dunia pupus seketika. Para pemain Irlandia semakin kecewa setelah sang pengadil lapangan, Martin Hansson, asal Swedia, menolak protes keras yang diajukan. 

"Ini tidak akan terjadi jika FIFA mendengarkan saran kami sejak lama untuk menggunakan alat bantu wasit (VAR). Saya tahu usaha kami (mengajukan protes) akan sia-sia. Tapi, setidaknya kejadian seperti ini tidak boleh terulang di masa depan," kata Trapattoni saat itu, dikutip Reuters.

Bagaimana komentar Prancis? Henry mengakui bahwa itu memang handball. Tapi, dia berkilah bahwa wasit yang memutuskan. Henry merasa tidak pantas disalahkan karena aturan FIFA saat itu memang belum menerapkan VAR.

"Saya bukan wasit. Toto (Sebastien Squillaci) maju dan saya berada di belakang dua pemain Irlandia. Bola memantul dan mengenai tangan saya. Tentu saja saya melanjutkan permainan karena wasit tidak meniup peluit. Saya tidak bisa memungkiri bahwa memang terjadi handball," ungkap Henry.

Lebih lanjut, Henry menjelaskan tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian tersebut. Dia mengatakan itu merupakan bagian dari permainan dan bisa menimpa tim manapun dan kapanpun.

"Saya tidak melakukan satu tipuan dan tidak akan pernah. Itu adalah reaksi insting saya menghadapi bola yang datang dengan cepat dalam satu situasi di dalam kotak penalti. Saya bilang kepada para pemain Irlandia, wasit, dan media, setelah pertandingan bahwa itu memang handball," beber Henry.

"Jujur, saya malu dengan cara kami menang dan saya merasa patut minta maaf kepada Irlandia yang pantas untuk tampil di Afsel. Tentu saja solusinya mengulang pertandingan itu. Tapi, itu bukan kewenangan saya. Saya hanya merasa harus minta maaf dengan sangat kepada Irlandia," tambah pemain yang identik dengan nomor punggung 14 itu.

Asosiasi Sepakbola Irlandia (FAI) langsung mengajukan protes ke FIFA dan mendesak Prancis didiskualifikasi. FAI juga mendapatkan dukungan banyak orang yang mendesak pertandingan tersebut diulang.

Sayang, permintaan FAI tidak pernah ditanggapi FIFA. Otoritas tertinggi sepakbola dunia itu tidak memiliki agenda untuk menggelar pertandingan ulang, baik di Saint-Denis maupun tempat netral. Alasan yang mereka kemukakan adalah tidak diatur dari regulasi FIFA.

Uniknya, ketidakjujuran Prancis di pertandingan tersebut ternyata berimbas negatif saat Piala Dunia berlangsung untuk pertama kalinya di Benua Hitam. Entah kebetulan atau tidak, Les Bleus gagal total di persaingan Grup A. Prancis pulang ke Paris dengan segudang masalah.

Bergabung dengan tuan rumah, Uruguay, dan Meksiko, Prancis hanya mampu meraih 1 poin dari 3 pertarungan. Angka itu didapat setelah bermain imbang 0-0 kontra Uruguay, yang akhirnya lolos sebagai juara grup. Prancis juga dihajar Meksiko 0-2 dan dipermalukan Afsel 1-2. 

Kegagalan itu juga diwarnai konflik antara Raymond Domenech dengan Patrice Evra dan sejumlah pemain senior. Mereka ramai-ramai memboikot sesi latihan tim sehingga kecaman datang bertubi-tubi.