Roy Keane pernah tercatat sebagai pemain paling brutal di Liga Premier setelah menekel Alf-Inge Haaland.
Pemberian kartu merah di cabang sepak bola terbilang wajar, apalagi jika pelanggaran dianggap brutal dan membahayakan pemain lawan. Bicara mengenai pelanggaran ini, Roy Keane tercatat sebagai figur paling keras dalam sejarah Liga Premier yang mendapatkan itu.
Kejadian Keane mendapat kartu merah bermula ketika pemain asal Republik Irlandia itu menekel Alf-Inge Haaland. Insiden itu terjadi dalam Derby Manchester di Old Trafford pada 21 April 2001.
Dalam laga itu, Keane membuat Haaland, ayah Erling Braut Haaland, bertekuk lutut. Kejadian itu membuat karier Haaland terasa berhenti karena masalah lutut berkepanjangan.
Tekel Keane membuat Haaland menyelesaikan masa baktinya bersama Manchester City pada 2003. Setelah itu, Haaland vakum dari lapangan hijau meski sempat kembali bermain bersama Rosseland periode 2011-2012.
Lalu, apa alasan Keane melakukan tindakan brutal terhadap Haaland? Perseteruan mereka berawal ketika keduanya bersitegang empat tahun sebelum kejadian di Old Trafford (2001).
Saat itu Keane mengalami cedera ligamen setelah melakukan clean-through saat dikejar Haaland, yang bermain bersama Leeds United sebelum berseragam The Citizens.
Insiden ini yang melatarbelakangi Keane membalas dendam dengan melakukan tekel setinggi lutut kepada Haaland di Old Trafford. Kejadian ini membuat Keane menerima denda sebesar 150.000 pounds plus larangan lima pertandingan.
“Dia telah menyelesaikan tugasnya dan dia membuatku bingung sejak awal permainan,” tulis Keane dalam otobiografinya, seperti dilansir The Sun. “Saya tahu itu tidak benar, jangan salah paham. Tapi, saya hanya manusia yang sudah lama absen.”
Yang jelas, tak ada penyesalan yang dirasa Keane di ruang ganti setelah diusir wasit dari pertandingan itu. Perasaan Keane saat itu adalah persetan dengannya (Haaland).
Pernyataan sekaligus sikap Keane bisa dibenarkan. Itu tergambar jelas ketika pria asal Republik Irlandia ini mencaci-maki Haaland saat meringis kesakitan menahan sakit di lututnya.
“Tidak ada rencana sebelumnya (menekel Haaland). Saya telah bermain melawan Haaland tiga atau empat kali antara pertandingan melawan Leeds pada 1997, salah satunya saat saya mengalami cedera,” kenangnya. “Jika saya menjadi orang gila untuk membalas dendam, mengapa saya harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan melukainya?”
Tujuh tahun setelah kejadian itu, Haaland mengaku lututnya masih terasa sakit. Dia harus menerima derita itu, karena rasa sakit di lututnya tak pernah hilang. “Apakah tekel (Keane) itu mengakhiri karier saya? Ya, saya tidak pernah memainkan pertandingan lengkap lagi,” keluh Haaland.
Walau begitu, Haaland masih dapat bercanda menyikapi peristiwa tersebut. “Jika kami bertemu kembali, saya mungkin akan lari!” cetus Haaland. “Tidak. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Saya tidak akan kesulitan berbicara dengannya. Bisa jadi kami akan ngobrol bersama,” imbuhnya.
Kejadian Keane mendapat kartu merah bermula ketika pemain asal Republik Irlandia itu menekel Alf-Inge Haaland. Insiden itu terjadi dalam Derby Manchester di Old Trafford pada 21 April 2001.
BACA BERITA LAINNYA
Isi Lengkap Adu Mulut Ibrahimovic dengan Lukaku di Derby Milan
Isi Lengkap Adu Mulut Ibrahimovic dengan Lukaku di Derby Milan
Insiden ini yang melatarbelakangi Keane membalas dendam dengan melakukan tekel setinggi lutut kepada Haaland di Old Trafford. Kejadian ini membuat Keane menerima denda sebesar 150.000 pounds plus larangan lima pertandingan.
BACA FEATURE LAINNYA
Ketika Pemain Chelsea yang Dipinjamkan Jauh Lebih Produktif dari Chelsea
Ketika Pemain Chelsea yang Dipinjamkan Jauh Lebih Produktif dari Chelsea
Yang jelas, tak ada penyesalan yang dirasa Keane di ruang ganti setelah diusir wasit dari pertandingan itu. Perasaan Keane saat itu adalah persetan dengannya (Haaland).
“Tidak ada rencana sebelumnya (menekel Haaland). Saya telah bermain melawan Haaland tiga atau empat kali antara pertandingan melawan Leeds pada 1997, salah satunya saat saya mengalami cedera,” kenangnya. “Jika saya menjadi orang gila untuk membalas dendam, mengapa saya harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan melukainya?”
Walau begitu, Haaland masih dapat bercanda menyikapi peristiwa tersebut. “Jika kami bertemu kembali, saya mungkin akan lari!” cetus Haaland. “Tidak. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Saya tidak akan kesulitan berbicara dengannya. Bisa jadi kami akan ngobrol bersama,” imbuhnya.