Saat itu Arsenal menumbangkan Parma diperkuat Luca Bucci, Antonio Benarrivo, Tomas Brolin, Zola, hingga Asprilla.
Selain gelar juara Liga Premier, Arsenal juga sudah sangat lama tidak berjaya di Eropa. Kali terakhir The Gunners berpesta saat George Graham memimpin skuad menjuarai Piala Winners 1993/1994.
Graham sekarang sudah pensiun. Tapi, saat aktif di sepakbola, pria Skotlandia kelahiran Bargeddie, 30 November 1944, itu punya reputasi yang membanggakan bersama Arsenal. Dia berada di London Utara dalam dua periode, yaitu sebagai pemain dan pelatih.
Pengalaman pertama Graham bersama The Gunners tercipta pada 1966. Saat itu, pelatih legendaris Arsenal lainnya, Bertie Mee, sedang mencari pengganti Joe Baker. Dia menemukan Graham sedang berjuang untuk menjadi pemain inti di Chelsea. Mee segera membayar 50.000 pounds ditambah Tommy Baldwin untuk mendapatkan tanda tangan Graham.
Setelah menjalani debut gemilang pada 1 Oktober 1966, Graham menjelma menjadi sosok kunci Arsenal. Dia adalah pencetak gol terbanyak Arsenal pada 1966/1967 dan 1967/1968.
Bersama Graham, Arsenal menjadi runner-up Piala Liga 1967/1968 dan 1968/1969. Dia juga menjuarai Piala Fairs 1969/1970 ketika mengalahkan Anderlecht. Kemenangan di kompetisi yang kemudian menjadi Piala UEFA (kini Liga Eropa) tersebut disusul dengan gelar ganda Divisi I dan Piala FA 1970/1971.
Dari Arsenal, Graham membela Manchester United, Portsmouth, Crystal Palace, dan pensiun bersama California Surf. Selanjutnya, dia beralih profesi menjadi pelatih dan segera menangani The Gunners pada 1986, setelah 4 tahun menukangi Millwall. Dia menggantikan Done Howe yang mengundurkan diri.
Sama seperti saat Arsene Wenger datang 10 tahun kemudian, Graham juga memperlakukan klub sesuai keinginannya. Dengan cepat, Graham membuang pemain-pemain senior seperti Tony Woodcock dan Tommy Caton, untuk menggantinya dengan pemain baru atau produk tim junior.
Graham juga membentuk pertahanan yang sangat kuat dengan sejumlah pemain legendaris. Saat itu, kapten muda Arsenal, Tony Adams, bermain di belakang bersama Lee Dixon, Steve Bould, dan Nigel Winterburn. Kuartet itu bertahan lebih dari satu dekade dan menjadi bintang di awal-awal era Wenger.
Tapi, sepakbola bukan hanya tentang pertahanan. Untuk membuat Arsenal tajam, Graham membangun lini tengah serta depan yang mengesankan, yang berisi David Rocastle, Michael Thomas, Paul Merson, dan Alan Smith. Lalu, Ian Wright datang dari Crystal Palace. Graham juga mengontrak David Seaman dan Anders Limpar.
Hasilnya, Arsenal adalah tim yang ditakuti dalam periode itu. Mereka menjuarai Divisi I (kini Liga Premier) 1988/1989 dan 1990/1991. Kemudian, Piala FA 1992/1993. Ada lagi Piala Liga 1986/1987, 1992/1993.
Puncak penampilan generasi emas Graham hadir di Piala Winners 1993/1994. Kompetisi yang sekarang sudah dilebur dengan Piala UEFA dan menjadi Liga Eropa tersebut menjadi saksi kesuksesan terakhir Arsenal di Eropa. Setelah menyingkirkan Odense (Denmark), Standard Liege (Belgia), Torino (Italia), dan Paris Saint-Germain (Prancis), The Gunners menantang Parma (Italia) di final.
Laga digelar di Parken Stadium, Copenhagen, 4 Mei 1994. Graham menampilkan starting line-up 100% pemain Inggris. Mereka adalah Seaman, Dixon, Winterburn, Paul Davis, Steve Bould, Tony Adams, Kevin Campbell, Steve Morrow, Smith, Paul Merson, serta Ian Selley.
Sementara Parma diperkuat sosok populer seperti Luca Bucci, Antonio Benarrivo, Tomas Brolin, Gianfranco Zola, hingga Faustino Asprilla.
“Mereka benar-benar bagus. Separuh dari pemain mereka ada di tim nasional Italia dan di depan mereka memiliki Zola serta Asprilla. Mereka membunuh kami di awal. Mereka melakukan tembakan ke mistar gawang. Seaman menyelamatkan kami. Kemudian, Smith mencetak gol. Para pemain datang setelah itu dan berkata: 'Bos, dengan 20 menit tersisa mereka bisa mengejarnya'. Akhirnya, skor akhir 1-0," kata Graham pada 2020, dalam wawancara dengan The Guardian.
"Kami memilih bertahan dan itu berhasil. Ian (Wright) diskors. John Jensen cedera. Martin Keown gagal dalam tes kebugaran pagi itu. Saya memasukkan Selley dan Morrow di lini tengah untuk mengalahkan tim teratas di Italia. Fenomenal, meski game itu sering dilupakan," tambah Graham.
Itu menjadi gelar Eropa kedua Arsenal setelah Piala Fairs 1969/1970, yang semuanya hadir berkat Graham (sebagai pemain dan pelatih). Itu juga merupakan trofi internasional terakhir The Gunners yang belum pernah berhasil diraih lagi hingga generasi Mikel Arteta.
Kesempatan Arsenal untuk menjuarai ajang Benua Biru sebenarnya hadir lagi pada 2018/2019. Tapi, mereka harus menyerah dari Chelsea di final Liga Eropa. Sebelumnya, pada 2005/2006, The Gunners juga bertekuk lutut dari Barcelona pada laga puncak Liga Champions.
Pada 1999/2000, Arsenal juga mencapai final Piala UEFA. Tapi, mereka dikalahkan Galatasaray di final. Ketika berstatus juara bertahan Piala Winners, Arsenal juga gagal di final 1994/1995. Saat itu, The Gunners dipermalkukan Real Zaragoza lewat tendangan spektakuler Nayim dari tengah lapangan.
"Rekor saya tidak buruk di Arsenal. Enam trofi dalam sembilan tahun sebagai pelatih dan saya memenangkan kompetisi Eropa yang diremehkan. Lihatlah klub-klub di perempat final turnamen itu. Ajax, Real Madrid, Benfica, PSG, Bayer Leverkusen, Torino, Parma. Melawan PSG di semifinal kami bermain imbang di Paris dan menang 1-0 di kandang saat David Ginola dan George Weah bermain," ungkap Graham.
Sayang, karier Graham di Arsenal berakhir tragis. Reputasinya tercoreng setelah menerima 425.000 pounds dari agen pemain, Rene Hauge. Itu adalah komisi ilegal untuk pembelian John Jensen dan Pal Lydersen pada 1992. FA turun tangan dan menyelidiki skandal itu.
Graham akhirnya dilarang aktif 1 tahun setelah mengaku menerima "hadiah yang tidak diminta" dari Hauge lantaran berhasil meloloskan kedua kliennya itu untuk diterima bermain di Highbury. Akibatnya, dia dipecat manajemen The Gunners pada Februari 1995.
Ketika hukumannya berakhir, Graham kembali ke sepakbola. Dia melatih Leeds United dan Tottenham Hotspur. Tapi, reputasinya terlanjur hancur. Graham memilih pensiun pada 2001 dan segera beralih profesi menjadi komentator di Sky Sports. Sempat dirumorkan akan melatih lagi, Graham benar-benar menikmati masa-masa pensiunnya jauh dari sepakbola.
"Apakah saya masih menonton tiga pertandingan di akhir pekan? Tidak! Saya menyukai golf. Itulah kegiatan saya saat orang-orang pergi ke stadion," pungkas pria yang memiliki 12 caps dan 3 gol untuk Skotlandia itu.
Graham sekarang sudah pensiun. Tapi, saat aktif di sepakbola, pria Skotlandia kelahiran Bargeddie, 30 November 1944, itu punya reputasi yang membanggakan bersama Arsenal. Dia berada di London Utara dalam dua periode, yaitu sebagai pemain dan pelatih.
BACA BIOGRAFI LAINNYA
Di Mana Sekarang? Rajagopal, Pelatih Malaysia yang Bikin Indonesia Merana
Di Mana Sekarang? Rajagopal, Pelatih Malaysia yang Bikin Indonesia Merana
Sama seperti saat Arsene Wenger datang 10 tahun kemudian, Graham juga memperlakukan klub sesuai keinginannya. Dengan cepat, Graham membuang pemain-pemain senior seperti Tony Woodcock dan Tommy Caton, untuk menggantinya dengan pemain baru atau produk tim junior.
BACA BERITA LAINNYA
Naturalisasi 10 Keturunan Inggris, Starting XI Jamaica Ini Bisa Dahsyat
Naturalisasi 10 Keturunan Inggris, Starting XI Jamaica Ini Bisa Dahsyat
Tapi, sepakbola bukan hanya tentang pertahanan. Untuk membuat Arsenal tajam, Graham membangun lini tengah serta depan yang mengesankan, yang berisi David Rocastle, Michael Thomas, Paul Merson, dan Alan Smith. Lalu, Ian Wright datang dari Crystal Palace. Graham juga mengontrak David Seaman dan Anders Limpar.
Puncak penampilan generasi emas Graham hadir di Piala Winners 1993/1994. Kompetisi yang sekarang sudah dilebur dengan Piala UEFA dan menjadi Liga Eropa tersebut menjadi saksi kesuksesan terakhir Arsenal di Eropa. Setelah menyingkirkan Odense (Denmark), Standard Liege (Belgia), Torino (Italia), dan Paris Saint-Germain (Prancis), The Gunners menantang Parma (Italia) di final.
Sementara Parma diperkuat sosok populer seperti Luca Bucci, Antonio Benarrivo, Tomas Brolin, Gianfranco Zola, hingga Faustino Asprilla.
“Mereka benar-benar bagus. Separuh dari pemain mereka ada di tim nasional Italia dan di depan mereka memiliki Zola serta Asprilla. Mereka membunuh kami di awal. Mereka melakukan tembakan ke mistar gawang. Seaman menyelamatkan kami. Kemudian, Smith mencetak gol. Para pemain datang setelah itu dan berkata: 'Bos, dengan 20 menit tersisa mereka bisa mengejarnya'. Akhirnya, skor akhir 1-0," kata Graham pada 2020, dalam wawancara dengan The Guardian.
"Kami memilih bertahan dan itu berhasil. Ian (Wright) diskors. John Jensen cedera. Martin Keown gagal dalam tes kebugaran pagi itu. Saya memasukkan Selley dan Morrow di lini tengah untuk mengalahkan tim teratas di Italia. Fenomenal, meski game itu sering dilupakan," tambah Graham.
Itu menjadi gelar Eropa kedua Arsenal setelah Piala Fairs 1969/1970, yang semuanya hadir berkat Graham (sebagai pemain dan pelatih). Itu juga merupakan trofi internasional terakhir The Gunners yang belum pernah berhasil diraih lagi hingga generasi Mikel Arteta.
Kesempatan Arsenal untuk menjuarai ajang Benua Biru sebenarnya hadir lagi pada 2018/2019. Tapi, mereka harus menyerah dari Chelsea di final Liga Eropa. Sebelumnya, pada 2005/2006, The Gunners juga bertekuk lutut dari Barcelona pada laga puncak Liga Champions.
Pada 1999/2000, Arsenal juga mencapai final Piala UEFA. Tapi, mereka dikalahkan Galatasaray di final. Ketika berstatus juara bertahan Piala Winners, Arsenal juga gagal di final 1994/1995. Saat itu, The Gunners dipermalkukan Real Zaragoza lewat tendangan spektakuler Nayim dari tengah lapangan.
"Rekor saya tidak buruk di Arsenal. Enam trofi dalam sembilan tahun sebagai pelatih dan saya memenangkan kompetisi Eropa yang diremehkan. Lihatlah klub-klub di perempat final turnamen itu. Ajax, Real Madrid, Benfica, PSG, Bayer Leverkusen, Torino, Parma. Melawan PSG di semifinal kami bermain imbang di Paris dan menang 1-0 di kandang saat David Ginola dan George Weah bermain," ungkap Graham.
Sayang, karier Graham di Arsenal berakhir tragis. Reputasinya tercoreng setelah menerima 425.000 pounds dari agen pemain, Rene Hauge. Itu adalah komisi ilegal untuk pembelian John Jensen dan Pal Lydersen pada 1992. FA turun tangan dan menyelidiki skandal itu.
Graham akhirnya dilarang aktif 1 tahun setelah mengaku menerima "hadiah yang tidak diminta" dari Hauge lantaran berhasil meloloskan kedua kliennya itu untuk diterima bermain di Highbury. Akibatnya, dia dipecat manajemen The Gunners pada Februari 1995.
Ketika hukumannya berakhir, Graham kembali ke sepakbola. Dia melatih Leeds United dan Tottenham Hotspur. Tapi, reputasinya terlanjur hancur. Graham memilih pensiun pada 2001 dan segera beralih profesi menjadi komentator di Sky Sports. Sempat dirumorkan akan melatih lagi, Graham benar-benar menikmati masa-masa pensiunnya jauh dari sepakbola.
"Apakah saya masih menonton tiga pertandingan di akhir pekan? Tidak! Saya menyukai golf. Itulah kegiatan saya saat orang-orang pergi ke stadion," pungkas pria yang memiliki 12 caps dan 3 gol untuk Skotlandia itu.