Faktanya, legenda sepakbola Argentina itu punya dua saudara kandung pesepakbola. Mereka pernah main satu klub!
Selama ini banyak yang tidak sadar jika Diego Maradona memiliki adik laki-laki. Faktanya, legenda sepakbola Argentina itu punya dua saudara kandung pesepakbola. Mereka adalah Lalo dan Hugo. Bahkan, ada satu momen ketika mereka bertiga bermain bersama di Granada.
Cerita unik dan langka ini dimulai pada musim gugur 1987. Saat itu, Presiden Granada, Alfonso Suarez, memutuskan untuk membuat sensasi ketika klubnya baru promosi dari Tercera Division (kompetisi kasta ketiga sebelum Segunda B dibentuk) ke Segunda Division.
Di era itu, hanya ada satu pemain sepakbola yang populer. Dia adalah Maradona. Diego telah memenangkan Piala Dunia setahun sebelumnya dan diikuti dengan gelar bersama Napoli. Fakta tersebut tentu saja berada di luar jangkauan tim dari kasta kedua yang baru promosi.
Tapi, otak Suarez memang brilian. Dia tidak kehilangan akal ketika sadar mustahil mengontrak Diego. Sehingga, solusi yang diambil adalah membujuk adik Diego yang 6 tahun lebih muda, yaitu Raul. Dikenal sebagai Lalo, anak kedua dari tiga bersaudara Maradona itu juga pemain profesional yang sedang merintis karier.
Ketika itu, Lalo berusia 20 tahun dan telah membuat beberapa penampilan sebagai pemain pengganti untuk klub lama Diego di Argentina, Boca Juniors. Dia juga menjadi anggota tim nasional Argentina U-17 beberapa tahun sebelumnya. Lalo memang tidak memiliki fisik yang kuat seperti Diego. Tapi, dirinya punya kaki kiri yang sangat bagus.
Sebelum debut Lalo di Boca, Diego pernah mengatakan kepada pers di Argentina bahwa Lalo adalah "yang terbaik dari ketiganya". Pembicaraan semacam itu dan nama belakang "Maradona" yang dibawa membuat Lalo cukup berharga di mata pers dan fans.
Lalo akhirnya tiba di Spanyol setelah ditunggu beberapa hari. Granada menyambut dengan meriah dan mengaku telah membayar 25 juta peseta, atau sekitar 120.000 euro dengan mata uang hari ini, kepada Boca.
Rumor yang beredar di kalangan terbatas menyatakan, sebelum Lalo pindah ke Granada, Suarez bertemu empat mata dengan Diego. Selain izin dan harga untuk sang adik, dalam pertemuan tersebut juga disepakati pertandingan persahabatan yang akan menampilkan Diego dan Lalo dengan seragam Granada. Itu adalah bisnis yang brilian!
Selanjutnya, pertandingan ditetapkan untuk November 1987. Selain Lalo dan Diego, laga persahabatan juga akan menampilkan anak bungsu dari tiga bersaudara Maradona, yaitu Hugo. Baru berusia 18 tahun saat itu, Hugo juga mencoba untuk tampil dalam permainan profesional dan dikontrak klub Italia, Ascoli, untuk bermain di Serie B.
Meski sudah ditentukan harinya, Granada masih mencari lawan yang tepat. Lalu, atas usul seseorang, muncul nama Malmo FF. Mengapa Malmo? Klub Swedia yang mendidik Zlatan Ibrahimovic itu telah memenangkan tiga gelar juara Allsvenskan berturut-turut di bawah asuhan Roy Hodgson.
"Malmo FF, selama jeda internasional, diminta untuk membawa tim ke Granada. Saat itu, masih di Divisi II. Kami tidak diberi rincian yang sebenarnya tentang mengapa Malmo harus diundang ke Granada untuk memainkan pertandingan eksibisi itu. Tapi, ketika kami sampai di sana kami menemukan alasannya, yaitu Maradona," kata Hodgson menjelaskannya pada 2020, dikutip Planet Football.
Uniknya, Diego tampak bersemangat tentang prospek itu. "Ide luar biasa dari Granada untuk menyatukan saya dengan saudara-saudara saya. Ini adalah mimpi yang selalu ingin saya wujudkan. Ini akan menjadi pertama kalinya kami bermain bersama dalam pertandingan resmi," ungkap Diego saat itu.
Sekali lagi, apa yang dikerjakan Suarez benar-benar brilian. Dengan pemberitaan yang masif dan popularitas Maradona, euforia melanda Granada. Kota di Andalusia itu mendadak ramai. Maradona bersaudara disambut di bandara oleh ribuan orang dan pesta kembang api.
"Alfredo Suarez menepati janjinya. Hari ini Diego Armando Maradona akan mengenakan kaus Granada," tuli salah satu harian lokal di kota itu.
Saat pertandingan berlangsung, Estadio Los Carmenes penuh sesak. Penduduk setempat berdesak-desakan di setiap sudut dan celah untuk mencoba melihat sekilas megabintang Napoli itu. Sejak menjalani pemanasan sebelum pertandingan hingga berakhir dengan kemenangan Granada, penonton menunjukkan kekagumannya.
Tapi, tidak seperti biasanya, Diego tidak memakai nomor punggung 10. Dia memberikannya kepada Lalo. Dia memilih mengambil No.9 dan ban kapten untuk dirinya sendiri. Sementara Hugo diberikan nomor punggung 8.
Pada saat itu, musim berjalan dengan baik untuk Granada. Mereka memulai awal yang bagus dan berada di dekat puncak klasemen La Liga. Seperti yang dikatakan oleh laporan El Pais pada 1988: "Kedatangan Lalo bertepatan dengan beberapa kemenangan beruntun di awal Segunda Division. Lalo segera menjadi idola fans lokal yang tersihir oleh kebintangan Diego".
Namun, laga persahabatan itu terbukti menjadi titik balik Granada. Euforia yang muncul justru membuat El Grana terlena. Keberuntungan mulai menjauhi klub berseragam merah-putih-biru tersebut. Mereka kalah dalam sembilan pertandingan berturut-turut. Fans menjauh dan Lalo mulai kehilangan tempat di tim inti.
"Lalo adalah pemain dengan teknik bagus. Tapi sedikit usaha. Itu sangat berbeda dengan kakaknya," tulis El Pais beberapa bulan kemudian.
Setelah musim 1987/1988 berakhir, Lalo meninggalkan Granada. Dia bermain untuk berbagai klub di Argentina, Venezuela, Jepang, hingga Kanada. Tapi, dia tidak pernah berhasil membuat kesan pada level yang layak. Lalo pensiun pada 1999 dan setelah itu tidak pernah kembali ke sepakbola, baik sebagai pelatih, agen, maupun pengurus klub.
Sebaliknya, Hugo sedikit lebih berprestasi. Dia menghabiskan 2 musim di Rayo Vallecano sebelum mengukir karier yang solid di J1 League pada 1995-1998 dengan Avispa Fukuoka dan Consadole Sapporo.
Meski tidak memiliki karier yang gemilang, Lalo dan Hugo mengaku bangga dilahirkan sebagai adik Diego. Keduanya sangat terpukul ketika Diego menghadap Sang Pencipta. "Di lapangan, kakak saya melakukan mukjizat. Dia orang dari Mars," ujar Lalo saat memberi sambutan di acara pemakaman Diego.
Cerita unik dan langka ini dimulai pada musim gugur 1987. Saat itu, Presiden Granada, Alfonso Suarez, memutuskan untuk membuat sensasi ketika klubnya baru promosi dari Tercera Division (kompetisi kasta ketiga sebelum Segunda B dibentuk) ke Segunda Division.
BACA FEATURE LAINNYA
Kisah Cowok dan Cewek Bersaudara dalam Satu Timnas, Pertama di Dunia
Kisah Cowok dan Cewek Bersaudara dalam Satu Timnas, Pertama di Dunia
Lalo akhirnya tiba di Spanyol setelah ditunggu beberapa hari. Granada menyambut dengan meriah dan mengaku telah membayar 25 juta peseta, atau sekitar 120.000 euro dengan mata uang hari ini, kepada Boca.
BACA FEATURE LAINNYA
Marco van Basten Usul Offside Dihapus Biar Sepakbola Makin Asyik
Marco van Basten Usul Offside Dihapus Biar Sepakbola Makin Asyik
Meski sudah ditentukan harinya, Granada masih mencari lawan yang tepat. Lalu, atas usul seseorang, muncul nama Malmo FF. Mengapa Malmo? Klub Swedia yang mendidik Zlatan Ibrahimovic itu telah memenangkan tiga gelar juara Allsvenskan berturut-turut di bawah asuhan Roy Hodgson.
Uniknya, Diego tampak bersemangat tentang prospek itu. "Ide luar biasa dari Granada untuk menyatukan saya dengan saudara-saudara saya. Ini adalah mimpi yang selalu ingin saya wujudkan. Ini akan menjadi pertama kalinya kami bermain bersama dalam pertandingan resmi," ungkap Diego saat itu.
Sekali lagi, apa yang dikerjakan Suarez benar-benar brilian. Dengan pemberitaan yang masif dan popularitas Maradona, euforia melanda Granada. Kota di Andalusia itu mendadak ramai. Maradona bersaudara disambut di bandara oleh ribuan orang dan pesta kembang api.
"Alfredo Suarez menepati janjinya. Hari ini Diego Armando Maradona akan mengenakan kaus Granada," tuli salah satu harian lokal di kota itu.
Saat pertandingan berlangsung, Estadio Los Carmenes penuh sesak. Penduduk setempat berdesak-desakan di setiap sudut dan celah untuk mencoba melihat sekilas megabintang Napoli itu. Sejak menjalani pemanasan sebelum pertandingan hingga berakhir dengan kemenangan Granada, penonton menunjukkan kekagumannya.
Tapi, tidak seperti biasanya, Diego tidak memakai nomor punggung 10. Dia memberikannya kepada Lalo. Dia memilih mengambil No.9 dan ban kapten untuk dirinya sendiri. Sementara Hugo diberikan nomor punggung 8.
Pada saat itu, musim berjalan dengan baik untuk Granada. Mereka memulai awal yang bagus dan berada di dekat puncak klasemen La Liga. Seperti yang dikatakan oleh laporan El Pais pada 1988: "Kedatangan Lalo bertepatan dengan beberapa kemenangan beruntun di awal Segunda Division. Lalo segera menjadi idola fans lokal yang tersihir oleh kebintangan Diego".
Namun, laga persahabatan itu terbukti menjadi titik balik Granada. Euforia yang muncul justru membuat El Grana terlena. Keberuntungan mulai menjauhi klub berseragam merah-putih-biru tersebut. Mereka kalah dalam sembilan pertandingan berturut-turut. Fans menjauh dan Lalo mulai kehilangan tempat di tim inti.
"Lalo adalah pemain dengan teknik bagus. Tapi sedikit usaha. Itu sangat berbeda dengan kakaknya," tulis El Pais beberapa bulan kemudian.
Setelah musim 1987/1988 berakhir, Lalo meninggalkan Granada. Dia bermain untuk berbagai klub di Argentina, Venezuela, Jepang, hingga Kanada. Tapi, dia tidak pernah berhasil membuat kesan pada level yang layak. Lalo pensiun pada 1999 dan setelah itu tidak pernah kembali ke sepakbola, baik sebagai pelatih, agen, maupun pengurus klub.
Sebaliknya, Hugo sedikit lebih berprestasi. Dia menghabiskan 2 musim di Rayo Vallecano sebelum mengukir karier yang solid di J1 League pada 1995-1998 dengan Avispa Fukuoka dan Consadole Sapporo.
Meski tidak memiliki karier yang gemilang, Lalo dan Hugo mengaku bangga dilahirkan sebagai adik Diego. Keduanya sangat terpukul ketika Diego menghadap Sang Pencipta. "Di lapangan, kakak saya melakukan mukjizat. Dia orang dari Mars," ujar Lalo saat memberi sambutan di acara pemakaman Diego.