Mereka mengenakan jersey bertuliskan Hak Azasi Manusia.
Ada yang menarik dari pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Eropa yang dijalani pekan ini. Dua tim, Norwegia dan Jerman, mengenakan kaus bertuliskan "hak azazi manusia". Ada apa? 

Saat Norwegia menghadapi Gibraltar di Victoria Stadium, 24 Maret 2021, Erling Haaland dkk mengenakan kaus putih bertuliskan "HAM di dalam dan luar lapangan". Satu hari berselang Jerman mengikutinya ketika menyambut Islandia di MSV-Arena Duisburg. Tulisan H.U.M.A.N.R.I.G.H.T.S tertulis di dada 11 pemain.

Mengapa Norwegia dan Jerman melakukannya? Itu terkait dengan laporan media-media barat maupun organisasi HAM internasional tentang kondisi para pekerja infrastruktur Piala Dunia yang memprihatinkan.

Human Rights Watch (HRW) dan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) menuduh bahwa sistem Kafala yang diterapkan di Qatar telah membuat ribuan pekerja migran rentan terhadap pelecehan dan perambasan hak sistematis. Pekerja tidak boleh berganti pekerjaan atau bahkan meninggalkan negara (Qatar) tanpa izin sponsor mereka. 

Amnesty International (AI) juga melaporkan "eksploitasi serius". Metodenya sangat umum dan dianggap normal, yaitu ketika pekerja harus menandatangani pernyataan palsu bahwa mereka telah menerima gaji untuk mendapatkan kembali paspor mereka. 

Setelah mengunjungi kamp kerja paksa, Sharan Burrows dari ITUC menggambarkan para pekerja sebagai "budak" dan menambahkan bahwa "dua tahun sejak dipilih sebagai tuan rumah, Pemerintah Qatar tidak melakukan hal-hal mendasar terhadap HAM pada pekerja konstruksi. 

Awalnya, Qatar menjanjikan perubahan. "Komitmen kami adalah mengubah kondisi kerja untuk memastikan warisan abadi dari peningkatan kesejahteraan pekerja. Kami sadar ini tidak dapat dilakukan dalam semalam. Tapi, Piala Dunia 2022 bertindak sebagai katalis untuk perbaikan dalam hal ini," kata The Qatar 2022 Committee, dilansir CNN.

Kenyataannya, hanya sedikit kemajuan yang dicapai. Bahkan, jika reformasi yang dijanjikan Qatar dilaksanakan, pemberi kerja akan tetap memiliki kekuasaan yang besar atas pekerja. Misalnya, persyaratan yang diusulkan bahwa gaji harus dibayarkan ke rekening bank yang ditunjuk tidak akan mencakup pekerja lepas harian yang dibayar secara tunai. 

Duta Besar Nepal untuk Qatar, Maya Kumari Sharma, mengatakan bahwa Qatar telah menjadi "penjara terbuka" bagi para pekerja dari tanah airnya. "Bukti di lapangan dan kesaksian warga kami menunjukkan ini benar-benar di luar standar internasional," ujar Sharma, dilansir ESPN.

Sebuah laporan pada September 2013 oleh The Guardian mengatakan sejumlah pekerja Nepal menghadapi kondisi yang buruk karena perusahaan yang menangani konstruksi untuk infrastruktur Piala Dunia 2022 memaksa pekerja untuk tetap tinggal dengan menolak gaji yang dijanjikan. Mereka juga menahan izin identitas pekerja yang diperlukan sehingga membuat mereka menjadi orang asing ilegal. 

The Guardian menulis bahwa penyelidikan mereka menemukan bukti yang menunjukkan bahwa ribuan orang Nepal, yang merupakan satu-satunya kelompok pekerja terbesar di Qatar, menghadapi eksploitasi dan pelecehan yang setara dengan perbudakan zaman modern. Itu bertentangan dengan aturan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Media Inggris itu juga menemukan fakta bawah setiap hari ada 1 pekerja Nepal yang meninggal di tempat kerjanya. Video yang menyertai artikel The Guardian itu menunjukkan pria yang tinggal di kamp kerja paksa dengan kondisi yang tidak sehat dan buruk. 

Para pekerja mengatakan kepada The Guardian bahwa mereka dijanjikan gaji tinggi sebelum datang ke Qatar dan kemudian surat kontrak mereka dimusnahkan saat tiba di Qatar. Beberapa mengatakan mereka belum dibayar selama berbulan-bulan. Tapi, perusahaan konstruksi menolak ID pekerja atau paspor mereka sehingga membuat mereka terjebak.

Buruh-buruh migran itu menggambarkan bahwa mereka harus mengemis makanan dan dipukuli oleh para mandor. Mereka bisa mencoba melarikan diri. Tapi, jika tertangkap tanpa surat-surat resmi, mereka akan ditangkap dan masuk penjara.

"Bukti yang diungkap oleh The Guardian adalah bukti yang jelas dari penggunaan kerja paksa sistematis di Qatar. Faktanya, kondisi kerja ini dan jumlah kematian pekerja yang rentan yang mencengangkan melampaui kekuatan paksa," kata Aidan McQuade, Direktur Anti-Slavery International.

"Kerja paksa menjadi perbudakan di masa lalu, yaitu ketika manusia diperlakukan sebagai objek. Tidak ada lagi risiko bahwa Piala Dunia dibangun di atas kerja paksa. Itu sudah terjadi. Ini akan menjadi Piala Dunia terburuk jika FIFA dan negara-negara  anggotanya tidak bertindak," tambah McQuade.

Dengan kampanye yang masif dari LSM HAM Eropa dan semakin dekatnya Piala Dunia, para pesepakbola mulai tergugah. Meski ada yang mendesak untuk melakukan boikot, mereka akan memulainya dengan kampanye di lapangan terlebih dulu.

"Ini tentang memberi tekanan langsung kepada FIFA dan ditegaskan langsung kepada otoritas di Qatar, untuk memberlakukan persyaratan yang lebih ketat yang sesuai dengan HAM dan kaidah internasional yang telah disepakati bersama," kata Pelatih Norwegia, Staale Solbakken, dikutip Euronews. 

Respons yang kurang lebih sama juga diungkapkan Joachim Loew. Pelatih yang akan mengundurkan diri setelah Euro 2021 tersebut menyatakan ide untuk mengkritik Qatar di lapangan datang dari para pemain Der Panzer. 

"Para pemain telah menggambar semuanya di kaus mereka. Itu seharusnya menjadi pernyataan pertama kami, oleh tim. Kami membela HAM, di mana pun lokasinya. Itu adalah nilai-nilai kami. Bagi kami, itu adalah pernyataan yang sangat baik dan penting," kata Loew, dilansir Reuters.

Protes yang dilancarkan Norwegia dan Jerman tergolong normal. Pasalnya, kedua negara selama ini dikenal memiliki indeks HAM yang bagus. Norwegia ada di posisi 11 dari 183 negara dan Jerman ada di posisi 17. Itu sangat baik. Sementara Qatar ada di atas 100, yang berarti sangat buruk.