Saat klub lain membayar agen hingga triliunan rupiah, Gillingham hanya merogoh kocek Rp 1,7 juta untuk agen.
Sepakbola profesional, khususnya di Inggris, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan agen pemain. Setiap transfer window dibuka mereka menjadi orang kaya karena mendapatkan komisi dari klub maupun pemain dengan jumlah yang bervariasi mulai 2% hingga 20%.
Ketika akhir bulan lalu Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) merilis jumlah fee terbaru yang dibayarkan kepada agen, semua mata tertuju ke angka-angka besar. Tim Liga Premier membuat rekor 272 juta pounds (Rp5,4 triliun) dalam setahun. Mereka telah mengeluarkan lebih dari 1 miliar pounds selama 4 musim terakhir.
Setelah Liga Premier, klub-klub Championship Division juga menghabiskan banyak uang untuk agen pemain. Mereka mengeluarkan lebih dari 40 juta pounds (Rp803 miliar) dalam 12 bulan terakhir hingga awal Februari 2021.
Meski kasta kedua, jumlahnya sangat jauh jika dibandingkan tim-tim dari League One dan League Two, yang sama-sama berstatus anggota EFL. League One mengeluarkan 3 juta pounds dan League Two 1 juga pounds. Sementara klub-klub Liga Nasional hampir 275.000 pounds dan Liga Guiseley 450 pounds.
Menariknya, selama enam musim terakhir, Gillingham ternyata hanya menghabiskan 86 pounds (Rp1,7 juta) untuk biaya agen. Artinya, rata-rata per musim klub League One tersebut hanya menggelontorkan sekitar 10 pounds.
Sebagai perbandingan, selama periode 6 tahun itu, klub besar seperti Manchester United telah membayar agen pemain hingga 125 juta pounds (Rp2,5 triliun) dan pengeluaran Liverpool sebesar 143 juta pounds (Rp2,9 triliun). Jumlah tersebut sudah cukup untuk membeli Carl Asaba yang dibeli Gillingham senilai 600.000 pounds sebanyak 238 kali.
Gillingham adalah anomali di era yang dipenuhi agen super dan pengeluaran berlebihan di transfer window. Mereka tidak akan membayar biaya agen kecuali "benar-benar harus" membayar.
"Saya tidak bermaksud untuk membayar 0 pounds. Ada kalanya saya membayar agen. Tapi, saya mencoba dan menghindarinya. Sangat jarang melakukannya. Saya tidak suka agen. Saya tidak suka bisnis mereka, perdagangan mereka. Kami mengelola klub sebelum agen datang dan itu dunia yang lebih baik," kata pemilik Gillingham, Paul Scally, dilansir The Guardian.
"Selama 10 tahun pertama saya berurusan dengan pemain atau keluarga mereka, terkadang pengacara atau perwakilan. Tapi, sebagian besar waktu saya berurusan dengan pemain. Mereka akan datang dan kami akan menyetujui kontrak," tambah pria yang sudah 25 tahun mengendalikan klub berseragam biru itu.
"Sejak agen masuk, itu menurun dari sana. Saya pikir mereka juga tidak mau repot-repot datang kepada kami karena mereka tahu saya tidak suka agen. Saya tidak akan membayar mereka atau akan melawan mereka karena biayanya," lanjut Scally.
Scally mengkritik cara agen mengambil para pemain dari klub, membujuknya, dan menjual dengan harga tinggi. Bahkan, ketika sang pemain tersebut akan kembali ke klub yang membesarkan dan mendidiknya sejak kanak-kanak.
"Mereka akan memasukkan pemain di etalase toko. Padahal, kami yang mengembangkan pemain. Pemain itu mereka beri nilai lebih dan jika mereka dijual ke klub Championship, mereka akan mendapatkan lebih banyak uang daripada kami sebagai klub yang membina pemain," ungkap pengusaha Inggris yang berdomisili di Dubai itu.
Kontra dengan agen tidak berarti Gillingham kesulitan mendapatkan pemain melalui jendela transfer. Buktinya, sejak musim panas lalu mereka telah meminjamkan selusin pemain. Klub juga berhasil membuat status 11 pemain menjadi permanen dengan tujuh diantaranya melibatkan agen.
"Jika seorang agen mewakili seorang pemain, maka pemain tersebut harus membayar agen tersebut. Saya tidak harus membayar agen. Di masa-masa sulit seperti saat ini, saya mencari setiap sen untuk menjaga bisnis tetap berjalan. Mengapa saya membuang-buang uang untuk agen? Kami tidak membutuhkan mereka di industri kami," kata Scally.
Faktanya, klub seperti Shrewsbury membayar 95.000 pounds untuk biaya agen dan Hull City (543.238 pounds). Tapi, mengapa lebih banyak klub tidak menolak membayar agen dalam jumlah besar? "Karena orang yang membuat keputusan itu lemah," tegas Scally.
"Orang di klub itu yang membuat keputusan untuk membayar agen seringkali bukanlah pemiliknya. Mereka adalah orang yang bekerja atas nama pemilik klub," ucap Scally.
"Mereka lemah karena mereka berpikir itu bukan uang mereka dan mereka pikir uang itu akan terus datang, terus datang. Mereka pikir membawa para pemain ini akan menjamin kesuksesan dan promosi mereka. Itulah mengapa Championship berantakan karena hiruk pikuk untuk mendapatkan uang Liga Premier," beber Scally.
"Benar-benar menyedihkan. Itu semua adalah uang yang seharusnya tetap dalam permainan dan seharusnya dimasukkan ke dalam piramida. Ketika League One dan League Two meminta bantuan (untuk memerangi dampak Covid-19), mereka semua menangis karena kemiskinan. Tapi, apa yang kami dapatkan? Mereka lebih senang memberikan ke agen dari klub seperti kami," ungkap Scally.
Angka-angka yang memusingkan telah membuat Scally mempertanyakan masa depannya selama 12 bulan yang penuh tantangan. Tapi, dia didukung fans. Apalagi, Gillingham tetap sangat kompetitif, meski beroperasi dalam parameter yang kaku.
"Ada orang yang telah mendukung kami selama 40 tahun mengatakan: Kami tidak akan pernah menjadi klub top, kami tidak akan pernah menjadi glamor. Tapi, kami masih akan maju dan kami menyukai apa yang kami miliki karena itu nyata," kata Scally.
"Jika Liga Premier dan Asosiasi Pesepakbola Profesional tidak mengesampingkan pikiran mereka dan mulai menyadari bahwa mereka tidak ada di masa depan yang berkelanjutan, itu akan menjadi jalan yang sangat berbatu di depan," tambah Scally.
Musim lalu, Gillingham ada di posisi 10 klasemen akhir League One. Musim ini, The Gills juga masih berada di posisi yang sama klasemen sementara. Artinya, klub ini cukup konsisten di kompetisi kasta ketiga Inggris.
Ketika akhir bulan lalu Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) merilis jumlah fee terbaru yang dibayarkan kepada agen, semua mata tertuju ke angka-angka besar. Tim Liga Premier membuat rekor 272 juta pounds (Rp5,4 triliun) dalam setahun. Mereka telah mengeluarkan lebih dari 1 miliar pounds selama 4 musim terakhir.
BACA FEATURE LAINNYA
Momen Totalitas Rooney Saat Drop Ball, Untung Nggak Kartu Merah
Momen Totalitas Rooney Saat Drop Ball, Untung Nggak Kartu Merah
Gillingham adalah anomali di era yang dipenuhi agen super dan pengeluaran berlebihan di transfer window. Mereka tidak akan membayar biaya agen kecuali "benar-benar harus" membayar.
BACA BERITA LAINNYA
Krisis Internal Melanda Bayern Muenchen, Ini yang Sesungguhnya Terjadi
Krisis Internal Melanda Bayern Muenchen, Ini yang Sesungguhnya Terjadi
"Selama 10 tahun pertama saya berurusan dengan pemain atau keluarga mereka, terkadang pengacara atau perwakilan. Tapi, sebagian besar waktu saya berurusan dengan pemain. Mereka akan datang dan kami akan menyetujui kontrak," tambah pria yang sudah 25 tahun mengendalikan klub berseragam biru itu.
Scally mengkritik cara agen mengambil para pemain dari klub, membujuknya, dan menjual dengan harga tinggi. Bahkan, ketika sang pemain tersebut akan kembali ke klub yang membesarkan dan mendidiknya sejak kanak-kanak.
Kontra dengan agen tidak berarti Gillingham kesulitan mendapatkan pemain melalui jendela transfer. Buktinya, sejak musim panas lalu mereka telah meminjamkan selusin pemain. Klub juga berhasil membuat status 11 pemain menjadi permanen dengan tujuh diantaranya melibatkan agen.
"Jika seorang agen mewakili seorang pemain, maka pemain tersebut harus membayar agen tersebut. Saya tidak harus membayar agen. Di masa-masa sulit seperti saat ini, saya mencari setiap sen untuk menjaga bisnis tetap berjalan. Mengapa saya membuang-buang uang untuk agen? Kami tidak membutuhkan mereka di industri kami," kata Scally.
Faktanya, klub seperti Shrewsbury membayar 95.000 pounds untuk biaya agen dan Hull City (543.238 pounds). Tapi, mengapa lebih banyak klub tidak menolak membayar agen dalam jumlah besar? "Karena orang yang membuat keputusan itu lemah," tegas Scally.
"Orang di klub itu yang membuat keputusan untuk membayar agen seringkali bukanlah pemiliknya. Mereka adalah orang yang bekerja atas nama pemilik klub," ucap Scally.
"Mereka lemah karena mereka berpikir itu bukan uang mereka dan mereka pikir uang itu akan terus datang, terus datang. Mereka pikir membawa para pemain ini akan menjamin kesuksesan dan promosi mereka. Itulah mengapa Championship berantakan karena hiruk pikuk untuk mendapatkan uang Liga Premier," beber Scally.
"Benar-benar menyedihkan. Itu semua adalah uang yang seharusnya tetap dalam permainan dan seharusnya dimasukkan ke dalam piramida. Ketika League One dan League Two meminta bantuan (untuk memerangi dampak Covid-19), mereka semua menangis karena kemiskinan. Tapi, apa yang kami dapatkan? Mereka lebih senang memberikan ke agen dari klub seperti kami," ungkap Scally.
Angka-angka yang memusingkan telah membuat Scally mempertanyakan masa depannya selama 12 bulan yang penuh tantangan. Tapi, dia didukung fans. Apalagi, Gillingham tetap sangat kompetitif, meski beroperasi dalam parameter yang kaku.
"Ada orang yang telah mendukung kami selama 40 tahun mengatakan: Kami tidak akan pernah menjadi klub top, kami tidak akan pernah menjadi glamor. Tapi, kami masih akan maju dan kami menyukai apa yang kami miliki karena itu nyata," kata Scally.
"Jika Liga Premier dan Asosiasi Pesepakbola Profesional tidak mengesampingkan pikiran mereka dan mulai menyadari bahwa mereka tidak ada di masa depan yang berkelanjutan, itu akan menjadi jalan yang sangat berbatu di depan," tambah Scally.
Musim lalu, Gillingham ada di posisi 10 klasemen akhir League One. Musim ini, The Gills juga masih berada di posisi yang sama klasemen sementara. Artinya, klub ini cukup konsisten di kompetisi kasta ketiga Inggris.