Aksi suporter Al Ahly berperan dalam Revolusi Mesir 2011. Di Indonesia gerakan suporter menurunkan Nurdin Halid.
Kegagalan Liga Super Eropa bergulir karena masifnya penolakan dari suporter sepakbola. Demonstrasi di Inggris, Italia, dan Spanyol plus tekanan dari media sosial di seluruh dunia membuat satu persatu klub peserta mundur. Uniknya, tekanan hebat fans bukan kali ini saja terjadi.
Sejak awal, Liga Super Eropa memang menuai kontroversi. Status elite yang disandang dianggap suporter mencederai prinsip-prinsip olahraga karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua klub.
Akibatnya, pertentangan muncul. Di Inggris, para pendukung Liverpool langsung mengepung Anfield untuk menyampaikan protesnya. Begitu pula Arsenal, Manchester United, Manchester City, hingga Tottenham Hotspur. Bahkan, suporter Leeds United ikut campur.
Di London Barat, ratusan fans Chelsea berdemonstrasi jelang pertandingan melawan Brighton and Hove Albion. Mereka mengabaikan larangan berkumpul dan pembatasan sosial di Inggris untuk mendatangi Stamford Bridge demi menyuarakan aspirasi menentang Liga Super Eropa.
Uniknya, desakan suporter yang masif terhadap sebuah isu, kejadian, atau agenda yang dianggap tidak baik, bukan terjadi kali ini saja. Sejarah mencatat, ada sejumlah kejadian ketika suporter turun ke jalan untuk melancarkan protes terhadap kasus-kasus tertentu. Tidak semuanya berhubungan dengan sepakbola. Ada juga yang terkait politik, sosial, maupun ekonomi.
Berikut ini 13 kejadian yang menunjukkan suporter sepakbola sebagai kekuatan perlawanan yang efektif:
1. Kampanye penurunan harga tiket "Twenty's Plenty"
Pada 2016, klub Liga Premier setuju untuk membatasi harga tiket pada 30 pounds setelah kampanye penggemar yang berkepanjangan dan meluas. Kampanye itu dikenal sebagai "Twenty’s Plenty" (dua puluh banyak). Tujuannya, membatasi tiket seharga 20 pounds.
Kampanye ini berhasil, meski tidak 100% diadopsi klub-klub Liga Premier. Setidaknya mereka mulai menurunkan harga tiket yang cukup signifikan. Bahkan, harga tiket tandang menjadi jauh lebih realistis dari sebelumnya.
2. Penolakan kenaikan harga tiket di Liverpool
Pada Februari 2016, Liverpool mengumumkan beberapa tiket pertandingan di Anfield akan dihargai hingga 77 pounds. Akibatnya, dalam pertandingan kandang berikutnya melawan Sunderland, fans The Reds, termasuk Jamie Carragher, berdiri dan keluar stadion pada menit ke-77 sebagai protes.
Hasil protes itu luar biasa. Seminggu kemudian, Bos Liverpool, John Henry, serta Tom Werner dan Mike Gordon mengumumkan bahwa mereka telah berubah pikiran. Harga tiket maksimal akan tetap 59 pounds.
"Kami bertiga sangat terganggu oleh persepsi bahwa kami tidak peduli dengan pendukung kami, bahwa kami serakah, dan bahwa kami berusaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan klub. Justru, sebaliknya yang benar,' kara Henry saat itu, dikutip Planet Football.
3. Dukungan kepada karyawan Liverpool terkait Covid-19
Pada April 2020, Liverpool mengumumkan akan menggunakan skema retensi pekerjaan dari Pemerintah Inggris yang mencakup pemotongan 80% dari gaji pekerja yang dirumahkan terkait tindakan pencegahan Virus Corona.
Penggemar dan mantan pemain memprotes kebijakan yang tidak manusiawi itu. Mereka menunjuk ke keuntungan 42 juta pounds yang telah dibuat klub pada tahun keuangan sebelumnya dan perkiraan kekayaan pribadi pemiliknya sebesar 2 miliar pounds. Fans meminta para pekerja di Liverpool tetap mendapatkan gaji penuhnya, meski harus work from home.
Desakan yang masif membuat manajemen Liverpool menyerah. Sekali lagi, mereka mengeluarkan pernyataan maaf. "Kami yakin kami sampai pada kesimpulan yang salah minggu lalu untuk mendaftar ke skema retensi Virus Corona dan staf cuti karena penangguhan kalender sepakbola Liga Premier. Kami benar-benar minta maaf untuk itu," bunyi pernyataan resmi klub.
4. Memprotes Project Big Picture
Sebelum Liga Super Eropa, Project Big Picture sempat membuat marah suporter Liga Premier. Itu adalah rencana Liverpool dan Manchester United, yang disetujui EFL dan "klub enam besar" lainnya. Inti dari proyek itu adalah mengambil semua kekuatan dalam sepakbola Inggris untuk diri mereka sendiri sebagai imbalan untuk memberikan pinjaman 250 juta pounds kepada EFL.
Fakta bahwa 14 klub Liga Premier lainnya juga menentang rencana tersebut plus protes masif suporter pada Oktober 2020 telah membuat Project Big Picture mengalami nasib yang sama dengan Liga Super Eropa.
5. Perlawanan terhadap pemecatan Brian McDermott di Leeds United
Pada Februari 2014, Massimo Cellino belum secara resmi menyelesaikan pengambilalihan saham Leeds United. Tapi, pengusaha Italia itu sudah bertindak berlebihan di mata suporter The Whites. Dia memecat Brian McDermott untuk digantikan Gianluca Festa (menurut rumor media).
Tahu tindakan yang dianggap tidak sopan itu, suporter marah dan mengepung Elland Road. Mereka memaksa kendaraan Cellino yang sedang meninggalkan stadion menuju hotel putar balik. Setelah bertemu langsung Cellino, fans mengutarakan keberatan atas pemecatan McDermott.
Setelah kemenangan 5-1 atas Huddersfield Town pada hari berikutnya, manajemen Leeds mengumumkan bahwa McDermott sebenarnya tidak dipecat. Dia tetap bekerja di Elland Road, meski hanya sementara hingga Cellino benar-benar menguasai Leeds sepenuhnya.
McDermott baru benar-benar diberhentikan pada akhir musim 2013/2014. Dia digantikan mantan pelatih Forest Green Rovers yang tidak dikenal, Dave Hockaday pada Juni 2014.
6. Kampanye antirasialisme di Leeds
Pada 1970 hingga 1980-an, dunia perpolitikan Inggris diwarnai dengan meningkatnya dukungan kepada partai sayap kanan yang rasialis dan antiimigran, National Front (NF). Mereka menggelar kampanye dan konvoi di banyak tempat di Inggris, termasuk di jalanan sekitar Elland Road, kandang Leeds United.
Suporter yang terganggu segera bergerak. Mereka menggelar kampanye damai di pertandingan dan mendesak klub melakukan aksi nyata agar NF menjauh dari Elland Road. Desakan suporter The Whites berhasil dan klub tidak mengizinkan penggunaan stadion maupun area di sekitarnya untuk kegiatan NF.
7. Menolak pertandingan Senin malam di Jerman
Menggelar pertandingan sepakbola pada Senin malam telah menjadi bagian dari jadwal rutin di Inggris, Spanyol, atau Italia. Tapi, di Jerman, pertandingan pada hari pertama setiap pekan adalah bentuk kekejaman dan eksploitasi.
Dengan fakta seperti itu, DFB pada tahun 2018 memberi tahu penggemar Jerman bahwa mereka harus mulai beradaptasi untuk mulai pergi ke stadion atau menyaksikan pertandingan dari televisi pada Senin malam. Itu karena Fox Sports selaku pemegang hak siar menginginkan lebih banyak jadwal siaran langsung Bundesliga.
Inisiatif itu langsung menuai pertentangan. Suporter Eintracht Frankfurt melempar bola tenis ke lapangan, suporter Borussia Dortmund sukses memboikot sebuah pertandingan. Yang lain mengungkapkannya melalui spanduk.
Penggemar sepakbola di Jerman dalam posisi yang menguntungkan karena memiliki model kepemilikan "50 +1". Akibatnya, DFB dan Fox Sports angkat tangan. Mereka membatalkan rencana tersebut dan tetap akan menggelar pertandingan di akhir pekan pada Jumat, Sabtu, Minggu plus Selasa, Rabu, Kamis untuk DFB-Pokal.
8. Protes harga tiket fans Borussia Dortmund
Ini adalah masalah umum yang sedang berlangsung di Jerman dan tempat lain. Tapi, pada 2015, protes terhadap kenaikan harga tiket sangat terasa di pertandingan Bundesliga. Harga-harga naik di seluruh klub dan perlakuan terhadap penggemar dipertanyakan di banyak tempat.
Salah satu yang paling kontroversial adalah Hoffenheim yang meminta biaya 55 euro untuk seorang pendukung Dortmund yang datang. Fans Dortmund lalu memboikot dan itu mendapatkan efek yang diinginkan. Hoffenheim menurunkan harga dan menyumbangkan sebagian hasil dari tiket ke badan amal milik Dortmund.
"Kami meminta maaf. Kami telah melampaui batas dan kewajaran di negara ini," bunyi pernyataan resmi Hoffenheim saat itu.
9. Protes krisis ekonomi di Chile
Pada 2019 dan 2020, jutaan orang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan ekonomi Presiden Chile, Sebastian Pinera. Biaya hidup yang mendadak tinggi di seluruh negeri dengan gaji yang stagnan membuat semua orang marah.
Uniknya, bukan pelajar, mahasiswa, atau aktivis politik yang menjadi penggerak demonstrasi besar-besaran itu, melainkan pendukung sepakbola. Fans Colo-Colo bergerak ketika salah satu anggotanya, Jorge Mora, meninggal akibat ditabrak mobil Polisi di luar stadion setelah pertandingan pada 28 Januari 2020.
Seperti bara yang disulut minyak, kematian Mora membuat demonstrasi membesar dan semakin terorganisasi dengan baik karena pemimpin-pemimpin Ultras Colo-Colo ada di baris terdepan. Selama kerusuhan, penggemar Colo-Colo lainnya ditembak mati oleh polisi, beberapa lainnya menderita di penjara.
Hingga kini demonstrasi terus berlanjut. Meski Pinera belum mengundurkan diri, referendum diadakan tentang apakah akan menulis konstitusi baru atau tidak. Dari mereka yang berpartisipasi, 78% mendukung konstitusi baru. Proses pemungutan suara untuk memutuskan siapa yang akan menulis konstitusi sedang berlangsung.
10. Menurunkan Nurdin Halid dari Ketua umum PSSI
Di Indonesia, gerakan suporter yang masif dan terorganisasi dengan baik sempat unjuk kekuatan di masa akhir kepemimpinan Nurdin Halid sebagai Ketua umum PSSI. Pada Februari, Maret, hingga April 2011, tensi perpolitikan di sepakbola Indonesia menghangat.
Semuanya berawal dari rencana Nurdin Halid mempertahankan statusnya, meski bertentangan dengan Statuta FIFA. Ditambah prestasi buruk tim nasional Indonesia dan kepentingan untuk menggunakan sepakbola sebagai alat politik, demonstrasi menuntut pengunduran diri Nurdin terjadi di Jakarta dan banyak kota di Indonesia.
Puncak demonstrasi terjadi saat PSSI menggelar Kongres di Riau pada 25-26 Maret 2011. Nurdin terpilih kembali menjadi komandan PSSI dan Pemerintah Indonesia memutuskan tidak mengakuinya. Kemudian, FIFA membentuk Komite Normalisasi yang diketuai Agum Gumelar untuk selanjutnya menggelar Kongres yang baru.
11. Aksi suporter Al Ahly dalam Revolusi Mesir 2011
Ketika Revolusi Mesir 2011 terjadi untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Hosni Mubarak, suporter garis keras Al Ahly, Ultras Ahlawy, memiliki peran yang sangat besar. Dengan organisasi politik yang dilarang di era Presiden Mubarak, sepakbola menjadi media yang paling strategis untuk menyatukan semua elemen perlawanan.
Sejarah mencatat, pada 24 Januari 2011, atau malam sebelum dimulainya Revolusi Mesir, 25 Januari 2011, Ultras Ahlawy menerbitkan pernyataan bahwa kelompok tersebut tidak akan menjadi bagian dari demonstrasi pada hari berikutnya dalam bentuk resminya. Tapi, setiap anggota kelompok bebas untuk menjadi bagian dari demonstrasi.
Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai "Ultras Mentality". Itu adalah panduan tidak tertulis bagi Ultras di seluruh dunia bahwa mereka hanya untuk mendukung klub sepakbola dan politik bukanlah bagian dari perhatian.
Meski secara resmi tidak berpolitik, fakta menunjukkan ribuan anggota Ultras Ahlawy turun ke jalanan Kairo. Mereka berada di garis terdepan ketika bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan pecah. Pengalaman di medan pertempuran sepakbola benar-benar membuat tujuan revolusi tercapai.
12. Fans Dynamo Kiev jadi motor Euromaidan di Ukraina
Dikenal sebagai Euromaidan, itu adalah gelombang demonstrasi dan kerusuhan sipil di Ukraina, yang dimulai pada malam 21 November 2013 dengan protes publik di Maidan Nezalezhnosti (Lapangan Kemerdekaan) di Kiev.
Protes tersebut dipicu oleh keputusan Pemerintah Ukraina untuk menangguhkan penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Uni Eropa untuk mendekat ke Rusia. Cakupan protes segera meluas, dengan seruan pengunduran diri Presiden Viktor Yanukovych. Protes menyebabkan revolusi dan perang saudara di Ukraina pada 2014 hingga sekarang.
Sejak awal demonstrasi, Ultras Dynamo Kiev berada di garis depan. Fakta bahwa lokasi protes bersebelahan dengan Valeriy Lobanovskyi Dynamo Stadium membuat keterlibatan fans Dynamo tidak bisa dibantah. Stadion dijadikan tempat logistik dan evakuasi medis sementara saat bentrok dengan Polisi terjadi.
13. Demonstrasi menentang Presiden Alexander Lukashenko di Belarus
Demonstrasi besar di Belarus menuntut reformasi politik, khususnya pengunduran diri Presiden Alexander Lukashenko, sejak 24 Mei 2020, juga merembet ke sepakbola. Teriakan Zyvie Bielarus! (Hidup Belarus!), yang menjadi slogan oposisi muncul di sejumlah stadion.
Pada 6 Agustus 2020 atau dua hari sebelum hasil Pemilu diumumkan, suporter meneriakan "Zyvie Bielarus!" sepanjang pertandingan Shakhtyor Soligorsk kontra Dynamo Brest. Akibatnya, Pemerintah Belarus menghentikan penjualan tiket duel Dynamo Minsk versus Smolevichi. Langkah itu disusul penundaan semua pertandingan liga kasta tertinggi.
Larangan itu tidak bisa memadamkan perlawanan dari lapangan hijau. Aksi suporter Belarus justru mendapatkan dukungan di Rusia. Pada 15 Agustus 2020, dalam laga Liga Premier Rusia antara CSKA Moscow melawan FC Tambov, aksi tidak terduga muncul. Ketika pemain muda Belarus, Ilya Shkurin, mencetak gol, fans merespons dengan dengan teriakan "Zyvie Bielarus!" berulang-ulang.
Pelatih CSKA asal Belarus, Viktor Goncharenko, juga mengkritik pemerintah di negara asalnya atas kekerasan Polisi. "Saya pikir itu tidak dapat diterima. Polisi sipil, Polisi antihuru hara, dan tentara harus melindungi orang-orang, bukan memukuli mereka," kata pelatih yang membawa BATE Borisov menjuarai Liga Belarus 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012 itu, dilansir Reuters.
Sejak awal, Liga Super Eropa memang menuai kontroversi. Status elite yang disandang dianggap suporter mencederai prinsip-prinsip olahraga karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua klub.
BACA BIOGRAFI LAINNYA
Kisah Fabrizio Miccoli, Legenda Palermo Terancam Bui 3,5 Tahun karena Mafia Sicilia
Kisah Fabrizio Miccoli, Legenda Palermo Terancam Bui 3,5 Tahun karena Mafia Sicilia
1. Kampanye penurunan harga tiket "Twenty's Plenty"
Pada 2016, klub Liga Premier setuju untuk membatasi harga tiket pada 30 pounds setelah kampanye penggemar yang berkepanjangan dan meluas. Kampanye itu dikenal sebagai "Twenty’s Plenty" (dua puluh banyak). Tujuannya, membatasi tiket seharga 20 pounds.
BACA VIRAL LAINNYA
Dua Kali Konyol Saat Jadi Pagar Betis, CR7 Di-warning Keras Pirlo
Dua Kali Konyol Saat Jadi Pagar Betis, CR7 Di-warning Keras Pirlo
2. Penolakan kenaikan harga tiket di Liverpool
Pada Februari 2016, Liverpool mengumumkan beberapa tiket pertandingan di Anfield akan dihargai hingga 77 pounds. Akibatnya, dalam pertandingan kandang berikutnya melawan Sunderland, fans The Reds, termasuk Jamie Carragher, berdiri dan keluar stadion pada menit ke-77 sebagai protes.
"Kami bertiga sangat terganggu oleh persepsi bahwa kami tidak peduli dengan pendukung kami, bahwa kami serakah, dan bahwa kami berusaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan klub. Justru, sebaliknya yang benar,' kara Henry saat itu, dikutip Planet Football.
3. Dukungan kepada karyawan Liverpool terkait Covid-19
Pada April 2020, Liverpool mengumumkan akan menggunakan skema retensi pekerjaan dari Pemerintah Inggris yang mencakup pemotongan 80% dari gaji pekerja yang dirumahkan terkait tindakan pencegahan Virus Corona.
Penggemar dan mantan pemain memprotes kebijakan yang tidak manusiawi itu. Mereka menunjuk ke keuntungan 42 juta pounds yang telah dibuat klub pada tahun keuangan sebelumnya dan perkiraan kekayaan pribadi pemiliknya sebesar 2 miliar pounds. Fans meminta para pekerja di Liverpool tetap mendapatkan gaji penuhnya, meski harus work from home.
Desakan yang masif membuat manajemen Liverpool menyerah. Sekali lagi, mereka mengeluarkan pernyataan maaf. "Kami yakin kami sampai pada kesimpulan yang salah minggu lalu untuk mendaftar ke skema retensi Virus Corona dan staf cuti karena penangguhan kalender sepakbola Liga Premier. Kami benar-benar minta maaf untuk itu," bunyi pernyataan resmi klub.
4. Memprotes Project Big Picture
Sebelum Liga Super Eropa, Project Big Picture sempat membuat marah suporter Liga Premier. Itu adalah rencana Liverpool dan Manchester United, yang disetujui EFL dan "klub enam besar" lainnya. Inti dari proyek itu adalah mengambil semua kekuatan dalam sepakbola Inggris untuk diri mereka sendiri sebagai imbalan untuk memberikan pinjaman 250 juta pounds kepada EFL.
Fakta bahwa 14 klub Liga Premier lainnya juga menentang rencana tersebut plus protes masif suporter pada Oktober 2020 telah membuat Project Big Picture mengalami nasib yang sama dengan Liga Super Eropa.
5. Perlawanan terhadap pemecatan Brian McDermott di Leeds United
Pada Februari 2014, Massimo Cellino belum secara resmi menyelesaikan pengambilalihan saham Leeds United. Tapi, pengusaha Italia itu sudah bertindak berlebihan di mata suporter The Whites. Dia memecat Brian McDermott untuk digantikan Gianluca Festa (menurut rumor media).
Tahu tindakan yang dianggap tidak sopan itu, suporter marah dan mengepung Elland Road. Mereka memaksa kendaraan Cellino yang sedang meninggalkan stadion menuju hotel putar balik. Setelah bertemu langsung Cellino, fans mengutarakan keberatan atas pemecatan McDermott.
Setelah kemenangan 5-1 atas Huddersfield Town pada hari berikutnya, manajemen Leeds mengumumkan bahwa McDermott sebenarnya tidak dipecat. Dia tetap bekerja di Elland Road, meski hanya sementara hingga Cellino benar-benar menguasai Leeds sepenuhnya.
McDermott baru benar-benar diberhentikan pada akhir musim 2013/2014. Dia digantikan mantan pelatih Forest Green Rovers yang tidak dikenal, Dave Hockaday pada Juni 2014.
6. Kampanye antirasialisme di Leeds
Pada 1970 hingga 1980-an, dunia perpolitikan Inggris diwarnai dengan meningkatnya dukungan kepada partai sayap kanan yang rasialis dan antiimigran, National Front (NF). Mereka menggelar kampanye dan konvoi di banyak tempat di Inggris, termasuk di jalanan sekitar Elland Road, kandang Leeds United.
Suporter yang terganggu segera bergerak. Mereka menggelar kampanye damai di pertandingan dan mendesak klub melakukan aksi nyata agar NF menjauh dari Elland Road. Desakan suporter The Whites berhasil dan klub tidak mengizinkan penggunaan stadion maupun area di sekitarnya untuk kegiatan NF.
7. Menolak pertandingan Senin malam di Jerman
Menggelar pertandingan sepakbola pada Senin malam telah menjadi bagian dari jadwal rutin di Inggris, Spanyol, atau Italia. Tapi, di Jerman, pertandingan pada hari pertama setiap pekan adalah bentuk kekejaman dan eksploitasi.
Dengan fakta seperti itu, DFB pada tahun 2018 memberi tahu penggemar Jerman bahwa mereka harus mulai beradaptasi untuk mulai pergi ke stadion atau menyaksikan pertandingan dari televisi pada Senin malam. Itu karena Fox Sports selaku pemegang hak siar menginginkan lebih banyak jadwal siaran langsung Bundesliga.
Inisiatif itu langsung menuai pertentangan. Suporter Eintracht Frankfurt melempar bola tenis ke lapangan, suporter Borussia Dortmund sukses memboikot sebuah pertandingan. Yang lain mengungkapkannya melalui spanduk.
Penggemar sepakbola di Jerman dalam posisi yang menguntungkan karena memiliki model kepemilikan "50 +1". Akibatnya, DFB dan Fox Sports angkat tangan. Mereka membatalkan rencana tersebut dan tetap akan menggelar pertandingan di akhir pekan pada Jumat, Sabtu, Minggu plus Selasa, Rabu, Kamis untuk DFB-Pokal.
8. Protes harga tiket fans Borussia Dortmund
Ini adalah masalah umum yang sedang berlangsung di Jerman dan tempat lain. Tapi, pada 2015, protes terhadap kenaikan harga tiket sangat terasa di pertandingan Bundesliga. Harga-harga naik di seluruh klub dan perlakuan terhadap penggemar dipertanyakan di banyak tempat.
Salah satu yang paling kontroversial adalah Hoffenheim yang meminta biaya 55 euro untuk seorang pendukung Dortmund yang datang. Fans Dortmund lalu memboikot dan itu mendapatkan efek yang diinginkan. Hoffenheim menurunkan harga dan menyumbangkan sebagian hasil dari tiket ke badan amal milik Dortmund.
"Kami meminta maaf. Kami telah melampaui batas dan kewajaran di negara ini," bunyi pernyataan resmi Hoffenheim saat itu.
9. Protes krisis ekonomi di Chile
Pada 2019 dan 2020, jutaan orang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan ekonomi Presiden Chile, Sebastian Pinera. Biaya hidup yang mendadak tinggi di seluruh negeri dengan gaji yang stagnan membuat semua orang marah.
Uniknya, bukan pelajar, mahasiswa, atau aktivis politik yang menjadi penggerak demonstrasi besar-besaran itu, melainkan pendukung sepakbola. Fans Colo-Colo bergerak ketika salah satu anggotanya, Jorge Mora, meninggal akibat ditabrak mobil Polisi di luar stadion setelah pertandingan pada 28 Januari 2020.
Seperti bara yang disulut minyak, kematian Mora membuat demonstrasi membesar dan semakin terorganisasi dengan baik karena pemimpin-pemimpin Ultras Colo-Colo ada di baris terdepan. Selama kerusuhan, penggemar Colo-Colo lainnya ditembak mati oleh polisi, beberapa lainnya menderita di penjara.
Hingga kini demonstrasi terus berlanjut. Meski Pinera belum mengundurkan diri, referendum diadakan tentang apakah akan menulis konstitusi baru atau tidak. Dari mereka yang berpartisipasi, 78% mendukung konstitusi baru. Proses pemungutan suara untuk memutuskan siapa yang akan menulis konstitusi sedang berlangsung.
10. Menurunkan Nurdin Halid dari Ketua umum PSSI
Di Indonesia, gerakan suporter yang masif dan terorganisasi dengan baik sempat unjuk kekuatan di masa akhir kepemimpinan Nurdin Halid sebagai Ketua umum PSSI. Pada Februari, Maret, hingga April 2011, tensi perpolitikan di sepakbola Indonesia menghangat.
Semuanya berawal dari rencana Nurdin Halid mempertahankan statusnya, meski bertentangan dengan Statuta FIFA. Ditambah prestasi buruk tim nasional Indonesia dan kepentingan untuk menggunakan sepakbola sebagai alat politik, demonstrasi menuntut pengunduran diri Nurdin terjadi di Jakarta dan banyak kota di Indonesia.
Puncak demonstrasi terjadi saat PSSI menggelar Kongres di Riau pada 25-26 Maret 2011. Nurdin terpilih kembali menjadi komandan PSSI dan Pemerintah Indonesia memutuskan tidak mengakuinya. Kemudian, FIFA membentuk Komite Normalisasi yang diketuai Agum Gumelar untuk selanjutnya menggelar Kongres yang baru.
11. Aksi suporter Al Ahly dalam Revolusi Mesir 2011
Ketika Revolusi Mesir 2011 terjadi untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Hosni Mubarak, suporter garis keras Al Ahly, Ultras Ahlawy, memiliki peran yang sangat besar. Dengan organisasi politik yang dilarang di era Presiden Mubarak, sepakbola menjadi media yang paling strategis untuk menyatukan semua elemen perlawanan.
Sejarah mencatat, pada 24 Januari 2011, atau malam sebelum dimulainya Revolusi Mesir, 25 Januari 2011, Ultras Ahlawy menerbitkan pernyataan bahwa kelompok tersebut tidak akan menjadi bagian dari demonstrasi pada hari berikutnya dalam bentuk resminya. Tapi, setiap anggota kelompok bebas untuk menjadi bagian dari demonstrasi.
Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai "Ultras Mentality". Itu adalah panduan tidak tertulis bagi Ultras di seluruh dunia bahwa mereka hanya untuk mendukung klub sepakbola dan politik bukanlah bagian dari perhatian.
Meski secara resmi tidak berpolitik, fakta menunjukkan ribuan anggota Ultras Ahlawy turun ke jalanan Kairo. Mereka berada di garis terdepan ketika bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan pecah. Pengalaman di medan pertempuran sepakbola benar-benar membuat tujuan revolusi tercapai.
12. Fans Dynamo Kiev jadi motor Euromaidan di Ukraina
Dikenal sebagai Euromaidan, itu adalah gelombang demonstrasi dan kerusuhan sipil di Ukraina, yang dimulai pada malam 21 November 2013 dengan protes publik di Maidan Nezalezhnosti (Lapangan Kemerdekaan) di Kiev.
Protes tersebut dipicu oleh keputusan Pemerintah Ukraina untuk menangguhkan penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Uni Eropa untuk mendekat ke Rusia. Cakupan protes segera meluas, dengan seruan pengunduran diri Presiden Viktor Yanukovych. Protes menyebabkan revolusi dan perang saudara di Ukraina pada 2014 hingga sekarang.
Sejak awal demonstrasi, Ultras Dynamo Kiev berada di garis depan. Fakta bahwa lokasi protes bersebelahan dengan Valeriy Lobanovskyi Dynamo Stadium membuat keterlibatan fans Dynamo tidak bisa dibantah. Stadion dijadikan tempat logistik dan evakuasi medis sementara saat bentrok dengan Polisi terjadi.
13. Demonstrasi menentang Presiden Alexander Lukashenko di Belarus
Demonstrasi besar di Belarus menuntut reformasi politik, khususnya pengunduran diri Presiden Alexander Lukashenko, sejak 24 Mei 2020, juga merembet ke sepakbola. Teriakan Zyvie Bielarus! (Hidup Belarus!), yang menjadi slogan oposisi muncul di sejumlah stadion.
Pada 6 Agustus 2020 atau dua hari sebelum hasil Pemilu diumumkan, suporter meneriakan "Zyvie Bielarus!" sepanjang pertandingan Shakhtyor Soligorsk kontra Dynamo Brest. Akibatnya, Pemerintah Belarus menghentikan penjualan tiket duel Dynamo Minsk versus Smolevichi. Langkah itu disusul penundaan semua pertandingan liga kasta tertinggi.
Larangan itu tidak bisa memadamkan perlawanan dari lapangan hijau. Aksi suporter Belarus justru mendapatkan dukungan di Rusia. Pada 15 Agustus 2020, dalam laga Liga Premier Rusia antara CSKA Moscow melawan FC Tambov, aksi tidak terduga muncul. Ketika pemain muda Belarus, Ilya Shkurin, mencetak gol, fans merespons dengan dengan teriakan "Zyvie Bielarus!" berulang-ulang.
Pelatih CSKA asal Belarus, Viktor Goncharenko, juga mengkritik pemerintah di negara asalnya atas kekerasan Polisi. "Saya pikir itu tidak dapat diterima. Polisi sipil, Polisi antihuru hara, dan tentara harus melindungi orang-orang, bukan memukuli mereka," kata pelatih yang membawa BATE Borisov menjuarai Liga Belarus 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012 itu, dilansir Reuters.