Como melahirkan Pietro Vierchowod, Paolo Rossi, Marco Tardelli, hingga Gianluca Zambrotta. Bakal ada tim milik orang Indonesia di Serie A.
Misi Como untuk tampil kembali di Serie A baru bisa terwujud pada 2022/2023 atau 20 tahun setelah terdegradasi. Syaratnya, berprestasi di Serie B 2021/2022. Itu karena mereka baru saja mendapatkan tiket promosi setelah memuncaki klasemen Grup A Serie C 2020/2021.

Sebelum terjun bebas ke Serie C, Como pernah menjadi anggota Serie A. Lahir pada 1907, tim dari Lombardia itu promosi ke kasta tertinggi untuk pertama kalinya pada 1949. Mereka menikmati 4 tahun yang terhormat sebelum degradasi.

Kehilangan status elite membuat Como harus menjalani 20 tahun berikutnya di Serie B dan Serie C hingga kebangkitannya pada 1970-an. Klub berseragam biru itu muncul sebagai pesaing untuk promosi ke Serie A pada 1975. Meski hadir upaya terbaik dari para pemain seperti Alessandro Scanziani, mereka hanya bertahan satu musim.

Como kemudian merosot terus hingga ke Serie C1. Tapi, dengan tim yang dibangun kembali dan terdiri dari bintang-bintang Italia seperti Pietro Vierchowod, mereka akan mencapai promosi berturut-turut dan tinggal dua tahun di Serie A (1980-1982).

Setelah terdegradasi lagi, Como berhasil promosi ke divisi teratas pada 1984. Kali ini, mereka menghabiskan 5 tahun di Serie A. Como membuktikan periode tersuksesnya. Dengan Dan Corneliusson serta Stefano Borgonovo di dalamnya, Como finish di posisi 9 pada 1985/1986 dan 1986/1987.

Namun, persaingan Serie A memang ketat. Meski diperkuat pemain sekelas Pasquale Bruno, Como terdegradasi pada 1989. Itu kembali memicu penurunan prestasi yang sangat cepat. Mereka menghabiskan sebagian besar 1990-an di Serie C1 dengan pengecualian pada 1994/1995.

Memasuki abad 21, Como mengalami kebangkitan singkat. Mereka sempat promosi ke Serie B pada 2001. Sukses itu diwarnai insiden kekerasan yang mengerikan dalam pertandingan melawan Modena, yang mengakibatkan kapten tim, Massimiliano Ferrigno, diberi larangan bermain 3 tahun.

Tanpa Ferrigno, Como berhasil promosi ke Serie A pada 2002/2003. Tapi, mereka harus kembali ke Serie B di akhir musim dengan menjalani larangan bermain di kandang, Stadio Giuseppe Sinigaglia, akibat kerusuhan suporter.

Kejadian itu benar-benar memukul Como. Mereka mengalami degradasi berturut-turut, yang berakibat pada kesulitan keuangan. Lalu, pada Desember 2004 klub dinyatakan bangkrut. Tidak ada investor yang berhasil mengambil alih klub sehingga perusahaan "Calcio Como S.p.A." dilikuidasi.

Pada 2005/2006 Likuidator menemukan fakta bahwa mantan Presiden Como, Enrico Preziosi, telah mentransfer beberapa aset seperti kontrak pemain ke klub barunya, Genoa. Mereka menyimpulkan hal itulah yang menyebabkan kegagalan keuangan Como.

Dengan nama baru, Como kembali ke Serie C2 (Lega Pro Seconda Divisione) pada 2008, setelah memenangkan Girone B Serie D. Como akhirnya kembali ke Serie C1 (Lega Pro Prima Divisione) setelah play-off promosi mengalahkan Rodengo Saiano dengan agregat 1-1 dan Alessandria dengan agregat 4-1.

Pada 2015, Como finish keempat di Serie C (Lega Pro). Mereka lolos ke play-off promosi dan mendapatkan promosi ke Serie B setelah mengalahkan Bassano Virtus di final dua leg dengan agregat 2-0. Tapi, mereka terdegradasi kembali ke Lega Pro pada musim berikutnya.

Masalah ekonomi baru kemudian muncul di musim 2016/2017. Itu mengharuskan klub dinyatakan bangkrut dan dilelang. Pada lelang keempat, aset klub diakuisisi oleh Akosua Puni Essien, istri pesepakbola Ghana, Michael Essien, menggunakan bendera FC Como S.r.l.

Namun, Asosiasi Sepakbola Italia (FIGC) menolak lamaran FC Como sebagai penerus Como dan menggantikannya Serie C 2017/2018. Itu karena klub tidak memenuhi semua kriteria dalam Pasal 52 Norme Organizzative Interne della FIGC (Regulasi untuk Organisasi Internal FIGC).

Ketika FC Como ditolak, entitas baru bernama Como 1907 S.r.l justru diterima berkompetisi di Serie D 2017/2018 dan dinyatakan sebagai penerus Como yang lahir pada 1907. Klub itu kemudian diambil alih alih Grup Djarum dari Indonesia.

Pemilik Djarum, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, membeli klub menggunakan bendera SENT Entertainment. Awalnya, tersiar kabar bahwa Como akan digunakan sebagai tempat pembinaan pemain-pemain Garuda Select asuhan Dennis Wise dan Des Walker. Tapi, ternyata markas mereka tetap di Inggris.

Untuk membangkitkan prestasi Como, Djarum menunjuk Michael Gandler sebagai CEO. Pria asal Amerika Serikat (AS) itu diberi tugas dari nol untuk membenahi aspek operasional, finansial, hingga membentuk skuad baru yang kompetitif.

"Kondisi klub ketika kami datang  sangat buruk. Utang sangat besar. Pengelolaannya tidak profesional. Brand klub juga ternoda. Tapi, kami tetap melihat ada peluang. Hal pertama yang harus kami lakukan adalah menstabilkan klub untuk memastikannya tetap solid," kata Gandler dalam serial dokumenter di Mola TV, "Como 1907: The Real Story".

Bagi Como, untuk membangkitkan klub yang tertidur lama tidak mudah. Pasalnya, mereka adalah klub yang punya sejarah panjang di Italia. Berdiri sejak 114 tahun lalu, Como berhasil menelurkan beberapa pemain top Italia, seperti Pietro Vierchowod, Paolo Rossi, Marco Tardelli, hingga Gianluca Zambrotta.

Selain manajerial, langkah nyata Como dalam membenahi skuad adalah menunjuk Giacomo Gattuso sebagai pelatih. Pria kelahiran 14 Juni 1968 itu bukan sosok asing di Como. Dia bermain di Como dalam 3 kesempatan sebagai bek. Dia merumput 184 kali di liga pada 1986-1988, 1989-1995, 1997-1999.

Selepas pensiun, Gattuso juga mengawali karier di Como pada 2004. Sempat lama menukangi Novara, dia kembali lagi pada 2020. Awalnya Gattuso hanya menjadi asisten. Lalu, naik pangkat menjadi pelatih kepala.

Dengan Gattuso sebagai nakhoda, Como punya sejumlah pemain bagus yang menghadirkan tiket promosi ke Serie B. Mereka antara lain Massimiliano Gatto, Giovanni Terrani, Lorenzo Rosseti, Davide Bertoncini, Ismail H'Maidat, hingga Geoffrey Castillion. Nama terakhir dipinjam dari Persib Bandung.

"Tantangan terbesar kami adalah menciptakan merek klub ini supaya lebih berkelas. Belum lagi orang-orang (suporter Como) mengatakan kepada saya bahwa (harga tiket) 12 euro per laga terlalu banyak," pungkas Gandler.