Seorang bintang telah lahir. Awalnya, diremehkan. Akhirnya, jadi pahlawan yang dipuja seluruh negeri.
Hingga hari ini, kata-kata Adriano Leite Ribeiro setelah peluit ditiup pada adu penalti di final Copa America 2004 masih dingat suporter Brasil. "Ini adalah emosi yang tidak bisa dijelaskan,” kata Adriano.
Tidak heran dia kesulitan menjelaskan perasaannya. Brasil telah mengalahkan Argentina dan dia adalah pahlawan yang tidak diharapkan oleh siapa pun. Adriano pergi ke kompetisi sebagai pemain yang dianggap tidak memadai untuk Selecao. Dia pengganti Ronaldo, Sang Fenomena, yang kurang dipercaya.
Tapi, Copa America 2004 adalah kesempatan untuk menegaskan siapa dirinya, dan dia berhasil. Dalam perjalanannya ke final, Adriano sudah mencetak enam gol. Di final, dia menyelamatkan Brasil dengan tendangan geledeknya pada menit ke-93, dan tendangan penaltinya telah membawa pulang mahkota juara. Adriano telah menaklukkan Amerika Selatan.
Jalan berliku menaklukkan Copa America
Pada saat tiba di Copa America 2004, Adriano berusia 22 tahun dan bermain untuk klub top Eropa, Inter Milan. Tapi, Adriano masih tidak dipercaya oleh publik sepakbola Brasil.
Namun, di atas itu semua itu, pelatih percaya pada kemampuan anak muda ini. Bahkan, Adriano berada di line-up untuk pertandingan grup pertama dengan Chile. Dia tidak mencetak gol. Tapi, permainannya cukup bagus. Beberapa kali menciptakan peluang lewat bola mati.
Adriano mempertahankan tempatnya untuk pertandingan kedua dengan Kosta Rika. Kali ini dia yang menentukan. Kosta Rika memulai dengan cerah dan memberikan tekanan pada pemain Brasil selama setengah jam. Tapi, para pemain muda asuhan Carlos Alberto Parreira melewati badai dan tepat sebelum turun minum. Adriano mencetak gol.
Di babak kedua, Adriano mencetak dua gol lagi, sebuah sundulan dari sepak pojok dan penyelesaian cerdas dari dalam kotak penalti. Dengan satu gol tambahan dari Juan, Brasil menang 4-1 dan Adriano adalah bintangnya.
Pertarungan berat di perempat final
Game berikutnya kalah dari Paraguay. Tapi, itu tidak masalah. Dengan enam poin, Brasil lolos ke delapan besar. Mereka menghadapi Meksiko. Babak pertama berlangsung ketat. Hanya penalti dari kapten Brasil, Alex, yang dimenangkan oleh Adriano, memecah belah tim saat turun minum.
Tapi, saat El Tri lelah di 25 menit terakhir, Adriano ada sebagai pengacau. Alex mengirim umpan ke Adriano, dan tendangan rendahnya mengarah ke pojok bawah gawang.
Adriano belum selesai. Dengan 12 menit tersisa, sebuah umpan panjang menyebabkan kekacauan di pertahanan Meksiko dan Adriano ada di sana, menyelesaikan peluang dengan kaki kanan dari sudut sempit. Tepat sebelum laga berakhir, Adriano memberi assist pertamanya ke Ricardo Oliveira.
Perjuangan tak kenal lelah di semifinal
Tibalah semifinal melawan Uruguay, dan beberapa menit awal hampir menjadi bencana bagi Selecao. Empat tendangan sudut dalam empat menit semuanya berhasil digagalkan. Uruguay terus menekan. Hasilnya, gol Marcelo Sosa dari tendangan bebas di menit ke-22.
Sementara itu, Brasil hanya berhasil melepaskan tiga tembakan ke gawang di babak pertama. Tapi, saat kick-off dibunyikan lagi. Brasil tampak bersemangat untuk bangkit, dan Adriano mencetak gol penyama kedudukan.
Ringkasnya, Selecao menang dan final impian telah menunggu. Brasil melawan favorit juara sekaligus musuh bebuyutan, Argentina, asuhan Marcelo Bielsa.
Final bersejarah yang diingat hingga detik ini
Perpaduan antara pemain muda dan pengalaman menjadikan Argentina sangat garang. Mereka mencetak 14 gol dalam lima pertandingan. Tapi, dihadapan Brasil, Argentina tiba-tiba jadi tim yang berbeda. Gelontoran gol, yang masing-masing dua dari Adriano, Kaka, dan Ronaldinho hanya mampu dibalas dengan satu gol dari Aimar.
Itu final yang tak seimbang. "Argentina datang dengan semua pemain berpengalaman. Tapi tim kami membuktikan bahwa mereka mampu mengatasi segala kesulitan," kata Parreira setelah peluit akhir.
Adriano adalah pahlawan Brasil. Total tujuh gol dikemas dan untuk itu Sepatu Emas layak jadi milik Adriano. Seperti yang dikatakan Adriano dalam artikel di Players' Tribune: "Sisanya adalah puisi, kawan. Ini adalah film. Ini adalah lagu. Saya tidak tahu apa itu, tapi itu bukan kenyataan".
Sayang bagi Adriano, kegembiraan menjadi bintang Brasil di turnamen besar segera berubah menjadi kesedihan. Sembilan hari kemudian, ayahnya menderita serangan jantung dan meninggal dunia. Adriano termakan oleh kegelapan, depresi, dan kemunduran kariernya segera dimulai.
Dua tahun kemudian, dia pergi ke Piala Dunia 2006 dan diharapkan tampil dengan cara yang sama seperti pada 2004. Kali ini, bersama Ronaldo di lini serang. Tapi, saat itu sepakbola sudah menjadi beban baginya.
Tidak heran dia kesulitan menjelaskan perasaannya. Brasil telah mengalahkan Argentina dan dia adalah pahlawan yang tidak diharapkan oleh siapa pun. Adriano pergi ke kompetisi sebagai pemain yang dianggap tidak memadai untuk Selecao. Dia pengganti Ronaldo, Sang Fenomena, yang kurang dipercaya.
BACA FEATURE LAINNYA
Inspiratif! Kisah Edin Dzeko Bikin Karier Patrik Schick Tambah Moncer
Inspiratif! Kisah Edin Dzeko Bikin Karier Patrik Schick Tambah Moncer
Jalan berliku menaklukkan Copa America
Pada saat tiba di Copa America 2004, Adriano berusia 22 tahun dan bermain untuk klub top Eropa, Inter Milan. Tapi, Adriano masih tidak dipercaya oleh publik sepakbola Brasil.
Di babak kedua, Adriano mencetak dua gol lagi, sebuah sundulan dari sepak pojok dan penyelesaian cerdas dari dalam kotak penalti. Dengan satu gol tambahan dari Juan, Brasil menang 4-1 dan Adriano adalah bintangnya.
BACA BERITA LAINNYA
Tertangkap Jelas Kamera, Pogba Terancam Sanksi Langgar Protokol Covid
Tertangkap Jelas Kamera, Pogba Terancam Sanksi Langgar Protokol Covid
Pertarungan berat di perempat final
Game berikutnya kalah dari Paraguay. Tapi, itu tidak masalah. Dengan enam poin, Brasil lolos ke delapan besar. Mereka menghadapi Meksiko. Babak pertama berlangsung ketat. Hanya penalti dari kapten Brasil, Alex, yang dimenangkan oleh Adriano, memecah belah tim saat turun minum.
Tapi, saat El Tri lelah di 25 menit terakhir, Adriano ada sebagai pengacau. Alex mengirim umpan ke Adriano, dan tendangan rendahnya mengarah ke pojok bawah gawang.
Perjuangan tak kenal lelah di semifinal
Tibalah semifinal melawan Uruguay, dan beberapa menit awal hampir menjadi bencana bagi Selecao. Empat tendangan sudut dalam empat menit semuanya berhasil digagalkan. Uruguay terus menekan. Hasilnya, gol Marcelo Sosa dari tendangan bebas di menit ke-22.
Ringkasnya, Selecao menang dan final impian telah menunggu. Brasil melawan favorit juara sekaligus musuh bebuyutan, Argentina, asuhan Marcelo Bielsa.
Final bersejarah yang diingat hingga detik ini
Perpaduan antara pemain muda dan pengalaman menjadikan Argentina sangat garang. Mereka mencetak 14 gol dalam lima pertandingan. Tapi, dihadapan Brasil, Argentina tiba-tiba jadi tim yang berbeda. Gelontoran gol, yang masing-masing dua dari Adriano, Kaka, dan Ronaldinho hanya mampu dibalas dengan satu gol dari Aimar.
Itu final yang tak seimbang. "Argentina datang dengan semua pemain berpengalaman. Tapi tim kami membuktikan bahwa mereka mampu mengatasi segala kesulitan," kata Parreira setelah peluit akhir.
Adriano adalah pahlawan Brasil. Total tujuh gol dikemas dan untuk itu Sepatu Emas layak jadi milik Adriano. Seperti yang dikatakan Adriano dalam artikel di Players' Tribune: "Sisanya adalah puisi, kawan. Ini adalah film. Ini adalah lagu. Saya tidak tahu apa itu, tapi itu bukan kenyataan".
Sayang bagi Adriano, kegembiraan menjadi bintang Brasil di turnamen besar segera berubah menjadi kesedihan. Sembilan hari kemudian, ayahnya menderita serangan jantung dan meninggal dunia. Adriano termakan oleh kegelapan, depresi, dan kemunduran kariernya segera dimulai.
Dua tahun kemudian, dia pergi ke Piala Dunia 2006 dan diharapkan tampil dengan cara yang sama seperti pada 2004. Kali ini, bersama Ronaldo di lini serang. Tapi, saat itu sepakbola sudah menjadi beban baginya.