Bela timnas wanita Denmark dan sukses bersama Portland Thorns, Man City, hingga PSG.
Perang yang tak kunjung berakhir di Afghanistan benar-benar mengubah hidup Nadia Nadim dan keluarga. Selain kehilangan ayah yang dieksekusi Taliban, Nadia juga bertransformasi menjadi pesepakbola wanita kelas dunia setelah mengungsi ke Denmark.
Nadia lahir di Herat, 2 Januari 1988. Saat Taliban menguasai Afghanistan pada 2000, dia baru berusia 12 tahun. Dia menjadi korban perang dalam arti sebenarnya sehingga harus kabur dari tanah kelahiran untuk menyelamatkan diri.
"Itu benar-benar horor, sebuah kekacauan. Anda mendengar cerita tentang kedatangan mereka. Mereka ingin membuat ketakutan di antara penduduk. Hal-hal yang mereka lakukan gila. Saya tidak melihat semuanya karena kami tidak diizinkan keluar karena ibu saya berusaha melindungi kami. Tapi, anda bisa mendengar apa yang sedang terjadi," kata Nadia, dilansir Sportbible.
Ketika Taliban menguasai negara itu, mereka memanggil ayah Nadia, Rabani Nadim, ke sebuah pertemuan. Dia adalah seorang perwira senior yang cukup berpengaruh di Tentara Nasional Afghanistan (ANA).
Tapi, selama enam bulan berikutnya, Nadia, ibu, dan kedua saudara perempuannya tidak pernah tahu apa yang terjadi pada sang ayah karena Taliban memang tidak pernah mengabarkan apa yang sebenarnya dilakukan dengan para tawanan. Dia hanya berpikir Rabani akan dipenjara karena perannya di pemerintahan.
Tapi, pada suatu hari, ibu Nadia, Hamida, mengetahui bahwa Rabani telah dieksekusi di sebuah tempat di tengah gurun bersama beberapa tentara lainnya.
"Seperti kebanyakan kediktatoran dalam sejarah umat manusia, jika anda ingin mempertahankan kekuasaan, anda harus menyingkirkan siapa pun yang memiliki kekuasaan. Ketika Taliban memperoleh kekuasaan, hal pertama yang mereka lakukan adalah memenggal kepala orang-orang tertinggi di pemerintahan dan ayah saya salah satunya," ungkap Nadia.
Ketika berkuasa, Taliban mengeluarkan aturan ketat. Wanita di Afghanistan tidak diizinkan keluar rumah jika tidak ditemani seorang pria. "Bahkan, anak perempuan tidak diizinkan sekolah. Itu adalah masa-masa yang mengerikan," ucap Nadia.
"Kamu selalu harus bersama seseorang. Bahkan jika kamu hanya pergi berbelanja, kamu tidak diizinkan untuk menunjukkan bagian kulitmu. Orang-orang terus hidup dalam ketakutan. Kamu tidak diizinkan untuk mendengarkan musik. Semua stasiun TV diputus," kata Nadia.
"Laki-laki tidak boleh memakai celana jins. Mereka harus memiliki janggut. Anda dipaksa untuk menjalankan ide yang mereka miliki. Pada akhirnya, menjadi sangat mengerikan sehingga tidak mungkin untuk tinggal di sana. Itu membuat kami meninggalkan negara itu," beber Nadia.
Setelah ayahnya dieksekusi, keluarga Nadia dipaksa untuk hidup seadanya. Mereka harus berjibaku dengan segala bentuk teror. Mereka terus berusaha untuk dapat melarikan diri, meninggalkan Afghanistan. Hamida menjual hampir semua harta benda peninggalan ayahnya, termasuk apartemen, mobil, dan banyak perhiasan.
Ibu Nadia mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk melarikan diri sambil mengatur pelarian. "Saya tidak tahu bagaimana dia bisa terlibat dengan penyelundup manusia. Tapi, dia melakukannya," ucap Nadia.
"Jelas, pada titik ini, kami tidak benar-benar terlibat dalam rencananya. Saya hanya seorang anak kecil. Dalam situasi seperti ini, saya tidak berpikir dia punya waktu untuk mengatakan 'dengar, ini rencananya, pergi ke ini dan ini,' Bukan seperti itu. Kami hanya harus tutup mulut dan mengikuti instruksi karena ini adalah masalah hidup atau mati," ungkap Nadia.
Di tengah malam, Nadia dan keluarganya meninggalkan Afghanistan menggunakan mobil. Mereka tidak punya banyak keinginan, selain berharap untuk kehidupan yang lebih baik di negara lain. Mereka berkendara melintasi perbatasan Pakistan. Dari sana, mereka berhenti di Karachi selama dua bulan untuk menunggu paspor palsu yang sesuai dengan profil mereka.
"Hal berikutnya yang anda tahu, kami berada di bandara mengikuti orang ini (penyelundup). Setelah itu, kami terbang ke Italia," ucap Nadia.
Setelah sampai di Italia dan menghabiskan beberapa hari dalam truk dengan harapan tiba di London, semuanya berantakan karena Nadia tidak tiba di Inggris. Mereka justru tiba di sebuah kamp pengungsi di pedesaan Denmark. "Tapi, itu tidak terlalu penting. Yang terpenting kita selamat," ujar Nadia.
Tinggal di Denmark benar-benar disyukuri Nadia. Dia segera mendapatkan kewarganegaraan Denmark dan diterima layaknya orang lokal. Nadia kemudian bersekolah dan bermain sepakbola. "Saya tidak bisa berbicara Bahasa Inggris. Tapi saya membuat orang mengerti bahwa saya ingin bermain," ujar Nadia tentang asal mula menyukai sepakbola.
Setelah dua bulan berlatih dengan rekan-rekan wanitanya, yang tidak dikenal, dia menerima panggilan pertama untuk bermain dalam pertandingan yang telah dijadwalkan. "Saya harus memakai kaus dan saya seperti. Ini luar biasa," ucap Nadia.
Kemudian, dia berkembang menjadi pemain bagus dan bergabung dengan B52 Aalborg sertaTeam Viborg. Selanjutnya, karier cemerlang membentang luas di depan mata. Hingga sekarang, Nadia adalah menjadi pemain wanita Denmark paling populer. Dia sangat produktif dengan 98 caps 38 gol.
Nadia berkelana ke berbagai klub sepakbola wanita ternama dunia di dalam maupun luar Denmark. Dia membela IK Skovbakken, Fortuna Hjorring, New Jersey Sky Blue (AS), Portland Thorns (AS), Manchester City (Inggris), Paris Saint-Germain (Prancis), dan kini di Racing Louisville (AS).
Musim lalu, Nadia memainkan peran penting dalam membawa PSG mengangkat gelar Divisi 1 Feminin (Ligue 1 versi sepakbola wanita) untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dia berhasil mencetak 18 gol dalam 27 pertandingan.
"Saya suka sepakbola. Tapi, saya tidak menganggapnya sebagai pekerjaan. Itu hanya hasrat saya. Meski saya dibayar uang, saya akan dengan senang hati bermain secara gratis. Bagi saya, saya ingin lebih dari itu. Saya ingin melakukan sesuatu yang memberi manfaat pada kehidupan banyak orang," ungkap Nadia.
Selain bermain sepakbola, Nadia juga memiliki gelar pendidikan yang mentereng. Dia adalah dokter bedah. Nadia belajar ilmu kedokteran dengan kuliah di Aarhaus University. Dia lulus dan menyandang status "dokter bedah".
"Dengan menjadi dokter, anda akan ada dalam situasi di mana anda adalah orang yang dapat membantu mereka. Saya menyukainya sejak semester awal. Ini sangat saya. Saya suka berinteraksi dengan orang-orang. Saya suka berada di rumah sakit. Ketika anda tersenyum pada seseorang dan itu mencerahkan hari mereka," beber Nadia.
Di waktu luangnya yang jauh dari sepakbola, Nadia mengunjungi kamp-kamp pengungsian di seluruh dunia untuk menceritakan kisah hidupnya agar menginspirasi orang lain. "Saya ingin memberi tahu anak-anak dan khususnya mereka para perempuan, atau mereka yang telah melalui masa-masa kelam, bahwa tidak apa-apa," kata Nadia.
"Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbicara di kamp-kamp pengungsi, saya melakukannya, karena saya tahu bagaimana rasanya berada di sana. Saya ingin memberi tahu mereka, dengarkan, saya tahu sekarang rasanya tidak mungkin untuk bermimpi. Tapi, jangan kehilangan harapan anda," pungkas Nadia.
Nadia lahir di Herat, 2 Januari 1988. Saat Taliban menguasai Afghanistan pada 2000, dia baru berusia 12 tahun. Dia menjadi korban perang dalam arti sebenarnya sehingga harus kabur dari tanah kelahiran untuk menyelamatkan diri.
BACA BIOGRAFI LAINNYA
Unik! Kisah Alessandro Arlotti, Eks AS Monaco Berhenti Main Demi Kuliah di Harvard
Unik! Kisah Alessandro Arlotti, Eks AS Monaco Berhenti Main Demi Kuliah di Harvard
"Seperti kebanyakan kediktatoran dalam sejarah umat manusia, jika anda ingin mempertahankan kekuasaan, anda harus menyingkirkan siapa pun yang memiliki kekuasaan. Ketika Taliban memperoleh kekuasaan, hal pertama yang mereka lakukan adalah memenggal kepala orang-orang tertinggi di pemerintahan dan ayah saya salah satunya," ungkap Nadia.
BACA FEATURE LAINNYA
Starting XI Tim Terbaik Euro 2020, Dominasi Sang Juara
Starting XI Tim Terbaik Euro 2020, Dominasi Sang Juara
"Kamu selalu harus bersama seseorang. Bahkan jika kamu hanya pergi berbelanja, kamu tidak diizinkan untuk menunjukkan bagian kulitmu. Orang-orang terus hidup dalam ketakutan. Kamu tidak diizinkan untuk mendengarkan musik. Semua stasiun TV diputus," kata Nadia.
Setelah ayahnya dieksekusi, keluarga Nadia dipaksa untuk hidup seadanya. Mereka harus berjibaku dengan segala bentuk teror. Mereka terus berusaha untuk dapat melarikan diri, meninggalkan Afghanistan. Hamida menjual hampir semua harta benda peninggalan ayahnya, termasuk apartemen, mobil, dan banyak perhiasan.
"Jelas, pada titik ini, kami tidak benar-benar terlibat dalam rencananya. Saya hanya seorang anak kecil. Dalam situasi seperti ini, saya tidak berpikir dia punya waktu untuk mengatakan 'dengar, ini rencananya, pergi ke ini dan ini,' Bukan seperti itu. Kami hanya harus tutup mulut dan mengikuti instruksi karena ini adalah masalah hidup atau mati," ungkap Nadia.
Di tengah malam, Nadia dan keluarganya meninggalkan Afghanistan menggunakan mobil. Mereka tidak punya banyak keinginan, selain berharap untuk kehidupan yang lebih baik di negara lain. Mereka berkendara melintasi perbatasan Pakistan. Dari sana, mereka berhenti di Karachi selama dua bulan untuk menunggu paspor palsu yang sesuai dengan profil mereka.
"Hal berikutnya yang anda tahu, kami berada di bandara mengikuti orang ini (penyelundup). Setelah itu, kami terbang ke Italia," ucap Nadia.
Setelah sampai di Italia dan menghabiskan beberapa hari dalam truk dengan harapan tiba di London, semuanya berantakan karena Nadia tidak tiba di Inggris. Mereka justru tiba di sebuah kamp pengungsi di pedesaan Denmark. "Tapi, itu tidak terlalu penting. Yang terpenting kita selamat," ujar Nadia.
Tinggal di Denmark benar-benar disyukuri Nadia. Dia segera mendapatkan kewarganegaraan Denmark dan diterima layaknya orang lokal. Nadia kemudian bersekolah dan bermain sepakbola. "Saya tidak bisa berbicara Bahasa Inggris. Tapi saya membuat orang mengerti bahwa saya ingin bermain," ujar Nadia tentang asal mula menyukai sepakbola.
Setelah dua bulan berlatih dengan rekan-rekan wanitanya, yang tidak dikenal, dia menerima panggilan pertama untuk bermain dalam pertandingan yang telah dijadwalkan. "Saya harus memakai kaus dan saya seperti. Ini luar biasa," ucap Nadia.
Kemudian, dia berkembang menjadi pemain bagus dan bergabung dengan B52 Aalborg sertaTeam Viborg. Selanjutnya, karier cemerlang membentang luas di depan mata. Hingga sekarang, Nadia adalah menjadi pemain wanita Denmark paling populer. Dia sangat produktif dengan 98 caps 38 gol.
Nadia berkelana ke berbagai klub sepakbola wanita ternama dunia di dalam maupun luar Denmark. Dia membela IK Skovbakken, Fortuna Hjorring, New Jersey Sky Blue (AS), Portland Thorns (AS), Manchester City (Inggris), Paris Saint-Germain (Prancis), dan kini di Racing Louisville (AS).
Musim lalu, Nadia memainkan peran penting dalam membawa PSG mengangkat gelar Divisi 1 Feminin (Ligue 1 versi sepakbola wanita) untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dia berhasil mencetak 18 gol dalam 27 pertandingan.
"Saya suka sepakbola. Tapi, saya tidak menganggapnya sebagai pekerjaan. Itu hanya hasrat saya. Meski saya dibayar uang, saya akan dengan senang hati bermain secara gratis. Bagi saya, saya ingin lebih dari itu. Saya ingin melakukan sesuatu yang memberi manfaat pada kehidupan banyak orang," ungkap Nadia.
Selain bermain sepakbola, Nadia juga memiliki gelar pendidikan yang mentereng. Dia adalah dokter bedah. Nadia belajar ilmu kedokteran dengan kuliah di Aarhaus University. Dia lulus dan menyandang status "dokter bedah".
"Dengan menjadi dokter, anda akan ada dalam situasi di mana anda adalah orang yang dapat membantu mereka. Saya menyukainya sejak semester awal. Ini sangat saya. Saya suka berinteraksi dengan orang-orang. Saya suka berada di rumah sakit. Ketika anda tersenyum pada seseorang dan itu mencerahkan hari mereka," beber Nadia.
Di waktu luangnya yang jauh dari sepakbola, Nadia mengunjungi kamp-kamp pengungsian di seluruh dunia untuk menceritakan kisah hidupnya agar menginspirasi orang lain. "Saya ingin memberi tahu anak-anak dan khususnya mereka para perempuan, atau mereka yang telah melalui masa-masa kelam, bahwa tidak apa-apa," kata Nadia.
"Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbicara di kamp-kamp pengungsi, saya melakukannya, karena saya tahu bagaimana rasanya berada di sana. Saya ingin memberi tahu mereka, dengarkan, saya tahu sekarang rasanya tidak mungkin untuk bermimpi. Tapi, jangan kehilangan harapan anda," pungkas Nadia.