Banyak orang Eritrea mengungsi karena perang. Salah satu yang beruntung adalah ayah Alexander Isak.
Dunia tidak sepenuhnya aman, meski sudah sampai di era modern. Dan, talenta sepakbola hebat dapat terlahir di manapun dan kapanpun, meski dalam situasi sulit. Nadia Nadim, seorang pesepakbola wanita yang melarikan diri dari perang Afganistan adalah salah satu buktinya.

Kisah lain yang tidak kalah heroiknya adalah empat pesepakbola muda dari Eritrea yang melarikan diri ke Uganda pada 2019 untuk peperangan di negaranya. Hingga saat ini mereka masih menunggu resolusi akhir untuk masa depan mereka dan negaranya.

Fatau Hanibal Tekle, dan Robel Teklemichael dilaporkan telah menjadi pesepakbola Eritrea kedua yang melintasi perbatasan dan menandatangani kontrak profesional dengan sebuah klub di Ethiopia sejak perang antarnegara pecah pada 1998 memicu baku tembak dan saling menjatuhkan bom selama beminggu-minggu. 

Pelarian mereka tidaklah mudah. Mereka harus melewati berbagai kesulitan dalam prosesnya. "Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup," ucap Tekle, dilansir The Guardian.

Namun, Teklemichael, bek berusia 21 tahun yang juga kapten Eritrea saat menjadi runner-up Cecafa Senior Challenge Cup 2019 (turnamen untuk tim dari Afrika Timur), berhasil mengikuti jejak rekan senegaranya, Samyoma Alexande, dengan bergabung ke tim Addis Ababa, Ethiopia Bunna.

Pada April 2021, Tekle mulai memutuskan untuk melanjutkan kariernya ke tingkat profesional yang lebih mapan. Dia adalah salah satu dari empat pemain yang melarikan diri setelah kemenangan 5-0 Eritrea atas Zanzibar di perempat final Piala Cecafa U-20 di Uganda.

Sudah hampir dua tahun lalu sejak hal itu terjadi. Dia tetap bersembunyi sambil menunggu hasil permohonan suaka yang diajukan. Tekle tahu dia bisa dengan mudah bermain sebagai pemain profesional bersama Teklemichael. Mereka sangat yakin dengan kemampuan hebatnya bermain bola.

"Setelah Eritrea dan Ethiopia menandatangani perjanjian damai pada 2018, saya menerima banyak tawaran dari klub-klub Ethiopia. Tapi, pemerintah menolak semuanya," papar Tekle.

"Ketika anda mendapatkan tawaran dari luar negeri, anda perlu berbicara dengan pejabat klub anda. Tapi, bahkan jika mereka menerima, pemerintah (biasanya) akan menolak. Dan, ketika anda menanyakan alasannya, mereka menyembunyikannya atau hanya berkata: 'Anda tidak bisa pergi'. Semua klub di Eritrea berada di bawah kendali pemerintah. Jadi, pejabat klub terus-menerus berhubungan dengan pemerintah atau terkadang mereka adalah pejabat negara itu sendiri," ungkap Tekle.

Itu adalah cerita yang sama untuk Sami Tesfagabr. Dia adalah pemuda dengan bakat menjanjikan yang dibina oleh klub Israel, Hapoel Petah Tikva, pada 2008. Pemerintah Eritrea memblokir transfer tanpa penjelasan hingga ahirnya bek andalan Eritrea dan rekan tim internasionalnya melarikan diri selama Piala Cecafa tahun berikutnya di Kenya. 

Mereka menghabiskan delapan bulan di sebuah kamp pengungsi sebelum akhirnya diberikan status pengungsi oleh Australia. Bahkan, Tesfagabr diberikan kewarganegaraan penuh pada 2016. Itu berbeda dengan Teklemichael yang tidak menghadapi hambatan seperti itu. Dia diizinkan bergabung dengan Bunna, yang finish kedua di Liga Premier Ethiopia musim lalu.

Sejak 2009 diperkirakan lebih dari 50 pemain telah menggunakan status mereka sebagai pesepakbola internasional untuk melarikan diri dari pemerintahan Presiden Eritrea, Isaias Afwerki, yang otoriter. Dia memberlakukan dinas militer seumur hidup pada seluruh rakyatnya, yang memenuhi syarat, dan melarang kelompok lebih dari dua orang berkumpul di tempat umum.

Tujuh pemain lain seperti Abel Okbay Kilo, Eyoba Girmay, Yosief Mebrahtu, Filmon Serere, Robel Kidane, serta Abraham dan Ismail Jahar dinyatakan hilang setelah membantu Eritrea mencapai final Piala Cecafa untuk pertama kalinya pada Desember 2019 dan fakta tentang hilangnya mereka tetap disembunyikan sampai saat ini. 

Tekle dan rekan satu timnya Mewael Yosief, Simon Asmelash serta Hermon Yohannes, baru-baru ini dipindahkan ke kamp badan pengungsi PBB (UNHCR) setelah diusir dari rumah persembunyian yang disediakan bagi mereka untuk menghindari penangkapan oleh agen Eritrea yang mencari mereka di Uganda.

"UNHCR memberi tahu kami bahwa inilah saatnya untuk hidup bersama dengan penduduk lokal lainnya sebagai orang normal," tutur pemuda kelahiran Uganda tersebut. 

"Kami seharusnya tinggal di rumah itu selama tiga hingga enam bulan saja. Tapi, kami menolak untuk pergi, mengingat kasus kami. Kami memberi tahu mereka bahwa terlalu berisiko bagi kami untuk keluar, bahwa kami tidak tahu apa yang bisa terjadi pada kami di luar. Jadi, kami tinggal sampai Desember, meski mereka memperingatkan kami setiap minggu. Pada Desember mereka mengatakan akan merenovasi rumah. Jadi, kami harus keluar. Saat itulah kami hidup dalam ketakutan," katanya. 

Dia menambahkan: "Sejak Covid-19 mewabah, tidak ada yang bertanya tentang kami. Kami meminta UNHCR untuk memukimkan kami, tapi kami masih menunggu jawaban mereka. Ada beberapa orang Eritrea yang terkadang membantu kami. Para pesepakbola yang lolos pada 2012 dan kini berada di Belanda juga pernah membantu kami. Mereka mengumpulkan sejumlah uang dan mengirimkannya kepada kami untuk makanan dan sewa tempat tinggal. Itu sangat berarti bagi kami," ungkapnya.

Pengacara mereka asal Amerika Serikat (AS), Kimberley Motley, yang diperkenalkan kepada para pemain oleh juru kampanye yang berbasis di Stockholm, Vanessa Tsehaye, mengatakan bahwa mereka menghadapi penantian yang cemas untuk kasus mereka diselesaikan. 

"Masalah Covid-19 benar-benar mengacaukan segalanya bagi semua orang, terutama dalam hal kasus pengungsi. Kami hanya berharap persyaratan kami secepatnya disetujui agar mereka pergi ke tempat yang aman," ujar Tsehaye.

"Uganda bukan tempat yang aman bagi mereka mengingat status mereka dengan pemerintah Eritrea dan profil mereka. Mudah-mudahan, UNHCR segera memulai langkahnya kembali dan negara lain mulai merekrut kembali para pesepakbola. Tapi, sayangnya pada saat ini hal itu tidak terjadi," kata Tsehaye.

Selain mencari kehidupan yang layak, para pemain sepakbola ini terinspirasi olek Alexander Isak. Pemain muda Swedia di Euro 2020 itu memiliki orang tua yang berasal dari Eritrea. Mereka mengungsi karena perang dan ditampung di Swedia. Di sanalah Isak lahir pada 21 September 1999.