Itu terjadi saat kanak-kanak, sebelum terkenal. Momen tak terlupakan seumur hidup.
Normalnya, orang-orang Afrika akan bermain sepakbola di Eropa. Sangat langka pemain Eropa berada di Afrika. Salah satunya yang ikonik adalah John Guidetti. Ada sejumlah foto dan video yang menunjukkan striker Swedia itu bermain di Kenya saat masih kanak-kanak.
Guidetti saat ini masih tercatat sebagai pemain nasional Swedia, meski absen di Euro 2020. Pemuda kelahiran Stockholm, 15 April 1992, itu juga masih tercatat sebagai pemain profesional milik Deportivo Alaves yang musim lalu dipinjamkan ke Hannover.
Sebelum bermain di kedua klub itu, Guidetti sempat tercatat sebagai pemain Manchester City, Brommapojkarna, Burnley, Feyenoord, Stoke City, Glasgow Celtic, hingga Celta Vigo. Dia juga punya 29 caps dan 3 gol untuk The Yellow Viking.
Namun, sebelum menjadi terkenal, Guidetti punya pengalaman masa kecil yang sangat unik. Ketika baru berusia 3 tahun, keluarganya memutuskan pindah dari Swedia ke Kenya. Ayahnya, yang merupakan mantan pemain rugby asal Italia, diangkat sebagai direktur Sekolah Swedia di Nairobi. Di sanalah Guidetti melakukan kontak pertamanya dengan sepakbola.
Setelah menghabiskan satu musim di Swedia, keluarga Guidetti memutuskan untuk kembali ke Kenya karena hasrat besar yang mereka rasakan untuk negara tersebut.
Dia adalah satu-satunya anak berkulit putih di daerah itu. Tapi, itu tidak menghentikannya untuk bergabung dengan anak-anak asli Kenya lainnya bermain sepakbola di lapangan tanah, dengan dua baru sebagai gawang, dan bermain tanpa alas kaki.
"Saya bermain sepakbola tanpa alas kaki di daerah kumuh Nairobi dan bersentuhan dengan orang-orang dan budaya mereka. Saya masih memiliki hubungan yang kuat dengan Kenya dan setiap kali saya kembali ke sana, saya selalu mendapat sambutan hangat," ujar Guidetti, dilansir The Scottish Sun.
Di tengah kepolosannya, Guidetti kecil hanya ingin bermain dengan anak-anak lainnya. Dia mengabaikan perbedaan ras dan strata sosial yang sangat besar, yang membedakan dirinya dari teman-temannya yang lain. Bermain di sana, dengan kaki penuh kotoran, John belajar satu atau dua pelajaran hidup yang menandainya selamanya.
Kemudian, ayahnya memutuskan untuk mendirikan sebuah klub bernama Impala Bromma Boys. Itu adalah klub satelit dari Brommpojkarma di Swedia agar Guidetti kecil bisa bermain. Pelatihnya di Kenya selalu mengatakan ada pemain lain yang bermain lebih baik darinya. Tapi, tidak ada yang sekeras Guidetti.
Guidetti kanak-kanak juga sempat bermain di dua klub Kenya lainnya, Mathare dan Ligi Ndogo. "John akan datang, berlatih, dan bermain bersama kami. Ayahnya, Mike, adalah seorang guru di sekolah di seberang klub kami. John baru berusia 12 tahun saat itu dan anda bisa melihat betapa dia mencintai sepakbola," kata Direktur, Ligi Ndogo, Chris Amimo.
"Di klub kami, kami memiliki pemain dari semua latar belakang yang berbeda. Kami memiliki anak-anak kaya dan kami memiliki orang-orang dari daerah kumuh. Tapi, entah kenapa John berhasil berinteraksi dengan mereka sejak awal. Dia bukan orang lokal, tapi dia bercampur dengan anak-anak kami dan tidak pernah punya masalah. Dia belajar bahasa dan menjadi anggota tim yang sangat populer," tambah Amimo.
"Kami tidak punya banyak uang untuk membeli peralatan apapun sehingga terkadang kami harus bermain kaus vs kulit (telanjang dada). Tapi, itu tidak masalah bagi John. Dia sepertinya tidak keberatan dan dia hanya ingin bermain sepakbola. Dia berbaur dengan baik," ungkap Amimo.
Secara total, ada 5 tahun yang dihabiskan Guidetti dan keluarganya di Kenya. Itu adalah sebuah fase kehidupan yang membantunya secara meyakinkan untuk berkembang sebagai pemain dan pribadi menyenangkan saat dewasa.
"Di Afrika, kami berdoa sebelum dan sesudah setiap pertandingan, dan di setiap sesi latihan. Orang-orang itu berdiri di sana tanpa makanan atau pakaian. Tapi, setiap hari berkata 'terima kasih Tuhan atas karunia kehidupan'. Itu luar biasa bukan?" tambah Guidetti.
"Saya juga berdoa sebelum setiap pertandingan dan pada Minggu, saya mencoba pergi ke gereja. Saya sangat beruntung telah melihat bagian dunia ini. Periode itu sangat penting untuk perkembangan saya, di dalam dan di luar lapangan," beber penyerang berpostur 185 cm itu.
Pada 2006 Guidetti kembali ke negara asalnya Swedia bersama keluarganya. Di sana dia memulai karier profesional dengan Brommapojkarna. Dengan cepat dia mulai menarik perhatian klub-klub besar Eropa. Dia bergabung dengan Akademi Man City saar berusia 15 tahun saat Sven-Goran Eriksson jadi pelatih tim utama.
Guidetti saat ini masih tercatat sebagai pemain nasional Swedia, meski absen di Euro 2020. Pemuda kelahiran Stockholm, 15 April 1992, itu juga masih tercatat sebagai pemain profesional milik Deportivo Alaves yang musim lalu dipinjamkan ke Hannover.
BACA BIOGRAFI LAINNYA
Kisah Gabriel Obertan, Pengganti CR7 di Man United Kini Terdampar di Kasta Kedua Turki
Kisah Gabriel Obertan, Pengganti CR7 di Man United Kini Terdampar di Kasta Kedua Turki
"Saya bermain sepakbola tanpa alas kaki di daerah kumuh Nairobi dan bersentuhan dengan orang-orang dan budaya mereka. Saya masih memiliki hubungan yang kuat dengan Kenya dan setiap kali saya kembali ke sana, saya selalu mendapat sambutan hangat," ujar Guidetti, dilansir The Scottish Sun.
BACA FEATURE LAINNYA
Benar-benar Sial! Dalam Tiga Bulan Beruntun, Meksiko Hattrick Kehilangan Gelar
Benar-benar Sial! Dalam Tiga Bulan Beruntun, Meksiko Hattrick Kehilangan Gelar
Kemudian, ayahnya memutuskan untuk mendirikan sebuah klub bernama Impala Bromma Boys. Itu adalah klub satelit dari Brommpojkarma di Swedia agar Guidetti kecil bisa bermain. Pelatihnya di Kenya selalu mengatakan ada pemain lain yang bermain lebih baik darinya. Tapi, tidak ada yang sekeras Guidetti.
Guidetti kanak-kanak juga sempat bermain di dua klub Kenya lainnya, Mathare dan Ligi Ndogo. "John akan datang, berlatih, dan bermain bersama kami. Ayahnya, Mike, adalah seorang guru di sekolah di seberang klub kami. John baru berusia 12 tahun saat itu dan anda bisa melihat betapa dia mencintai sepakbola," kata Direktur, Ligi Ndogo, Chris Amimo.
"Kami tidak punya banyak uang untuk membeli peralatan apapun sehingga terkadang kami harus bermain kaus vs kulit (telanjang dada). Tapi, itu tidak masalah bagi John. Dia sepertinya tidak keberatan dan dia hanya ingin bermain sepakbola. Dia berbaur dengan baik," ungkap Amimo.
Secara total, ada 5 tahun yang dihabiskan Guidetti dan keluarganya di Kenya. Itu adalah sebuah fase kehidupan yang membantunya secara meyakinkan untuk berkembang sebagai pemain dan pribadi menyenangkan saat dewasa.
"Di Afrika, kami berdoa sebelum dan sesudah setiap pertandingan, dan di setiap sesi latihan. Orang-orang itu berdiri di sana tanpa makanan atau pakaian. Tapi, setiap hari berkata 'terima kasih Tuhan atas karunia kehidupan'. Itu luar biasa bukan?" tambah Guidetti.
"Saya juga berdoa sebelum setiap pertandingan dan pada Minggu, saya mencoba pergi ke gereja. Saya sangat beruntung telah melihat bagian dunia ini. Periode itu sangat penting untuk perkembangan saya, di dalam dan di luar lapangan," beber penyerang berpostur 185 cm itu.
Pada 2006 Guidetti kembali ke negara asalnya Swedia bersama keluarganya. Di sana dia memulai karier profesional dengan Brommapojkarna. Dengan cepat dia mulai menarik perhatian klub-klub besar Eropa. Dia bergabung dengan Akademi Man City saar berusia 15 tahun saat Sven-Goran Eriksson jadi pelatih tim utama.