Salah kalau beranggapan corona takut dengan cuaca panas.
Peneliti dan ahli dari Akademi Nasional Amerika Serikat David A Relman menyebutkan bahwa faktor iklim dan cuaca bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi penyebaran transmisi virus COVID-19.

Dalam hasil riset yang dikutip dari laman resmi Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional AS di Jakarta, Kamis, disebutkan bahwa meskipun beberapa penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara menunjukkan adanya pengaruh temperatur dan kelembapan yang mengurangi kemampuan virus SARS-CoV-2 bertahan hidup namun masih banyak faktor lain yang memengaruhi.

"Meskipun sejumlah penelitian menunjukkan keterkaitan antara temperatur yang tinggi dan level kelembapan dan menurunnya kemampuan bertahan hidup virus SARS-CoV-2 di laboratorium, masih banyak faktor lain di samping suhu lingkungan, kelembapan, dan kemampuan bertahan hidup virus di luar inang, yang memengaruhi dan menentukan besaran penularan antar manusia di kondisi yang sebenarnya," kata David A Relman, peneliti anggota dari Komite Tetap Akademi Nasional untuk Penyakit Menular yang Muncul dan Ancaman Kesehatan Abad 21.

Dalam penelitiannya dia mencantumkan beberapa hasil penelitian dari berbagai negara yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan kelembapan yang tinggi dan kasus yang cenderung turun.

Dia mengambil contoh penelitian dari Hong Kong China yang menyebutkan virus SARS-CoV-2 bisa bertahan di suatu permukaan hingga 14 hari pada suhu 4 derajat Celcius, tujuh hari pada suhu 22 derajat Celcius, satu hari pada suhu 37 derajat Celcius, 30 menit pada 56 derajat Celcius, dan lima menit pada suhu 70 derajat Celcius.

Kendati demikian, David juga menyertakan hasil penelitian dari Universitas Tulane di Lousiana AS yang menyebutkan bahwa pada kondisi tertentu virus SARS-CoV-2 memiliki masa hidup separuh lebih lama dari virus influenza, SARS-CoV-1, virus cacar monyet, dan bakteri tuberkulosis.

Selain itu, penelitian di China pada saat awal pandemi juga menunjukkan adanya perubahan jumlah kasus yang disandingkan dengan perubahan suhu. Studi di China, setiap kenaikan suhu 1 derajat celcius membuat penurunan kasus per hari antara 36-57 persen di mana kelembapan berada pada 67 persen hingga 85,5 persen.

Selain itu setiap 1 persen peningkatan kelembapan udara juga menunjukan penurunan kasus baru per hari sekitar 11 persen sampai 22 persen pada rata-rata suhu sekitar 5,04 hingga 8,2 derajat celcius.

Penelitian di luar China juga menyebutkan rata-rata suhu sekitar 5 derajat celcius menunjukkan temperatur yang tepat untuk puncak pertumbuhan kasus dan mulai menurun jika berada di wilayah dengan suhu yang lebih hangat atau lebih dingin dari itu.

Namun peneliti memberikan catatan bahwa penelitian yang dilakukan berbeda-beda wilayah. Selain itu juga masih ada faktor lain yang menentukan penyebaran virus seperti geografis, suhu dan kelembapan, akses fasilitas kesehatan, sistem kesehatan, pendapatan per kapita penduduk, perilaku masyarakat, dan ketersediaan alat deteksi.

Peneliti menyebutkan, faktor suhu dan kelembapan suatu wilayah hanya merupakan sebagian dari sebagian banyak faktor lain yang memengaruhi penyebaran virus.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa perubahan cuaca menjadi lebih hangat jelang musim panas dan kemarau di berbagai negara bukan faktor satu-satunya yang akan menyebabkan penurunan jumlah kasus penularan tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang lebih efektif.

Selain itu, negara dengan suhu yang lebih panas seperti di Australia dan Iran tetap membuat peningkatan penyebaran virus yang signifikan. Hal ini tidak mengasumsikan pendapat bahwa penurunan jumlah kasus karena suhu dan kelembapan.

Peneliti juga menyebut bahwa kasus infeksi virus corona lain seperti MERS-CoV dan SARS-CoV-1 pun tidak bergantung pada pergantian musim. Lebih lanjut, pandemi influenza yang pernah terjadi di dunia selama 250 tahun terakhir juga tidak tergantung pada kondisi wilayah.