Ini seperti mengatakan kepentingan klub di atas bangsa dan negara. Sungguh terlalu!
Akhir tahun ini, timnas senior akan disebukkan dengan Piala AFF 2020 yang tertunda satu tahun. Kompetisi dijadwalkan berlangsung di Singapura pada 5 Desember 2021 hingga 1 Januari 2021. Tim Garuda tergabung di Grup B bersama Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja.
"Memang, PSSI dan liga ada kesepakatan bahwa setiap tim hanya bisa mengirim maksimal dua pemain. Memang merugikan timnas, tapi itu perlu juga untuk perkembangan liga. Dengan demikan, sepakbola Indonesia bisa maju ke depannya. Jadi, kita sama-sama mengalah. Itu sudah kesepakatan," ujar Tae-yong.
Hore, Elkan Baggott Kini Telah Melengkapi Syarat Administrasi Jadi WNI
Belajar dari pengalaman negara lain
Pertanyaannya, bagaimana pengalaman negara lain? Normalnya, pelatih timnas diberi kekebasan penuh untuk memilih pemain berdasrkan kemampuan. Tidak peduli dari mana klub dia berasal. Selama sang pemain bagus dan sesuai kebutuhan tim, pelatih berhak memanggil.
Di beberapa timnas luar negeri, kebanyakan pelatih justru lebih senang memilih pemain yang berasal dari klub yang sama. Memiliki starting line-up yang terdiri 50% pemain dari satu klub adalah impian banyak pelatih timnas.
Bukan hanya tim kelas dunia, di kawasan Asia, hal yang sama terjadi. Lihatlah Qatar ketika mengalahkan Jepang di final Piala Asia 2019, dominasi pemain Al-Sadd sangat terasa. Bahkan, mayoritas merupakan jebolan Aspire Academy.
Jika Qatar terlalu jauh, contoh yang paling dekat adalah Vietnam dan Thailand. Ketika The Golden Star menjuarai Piala AFF 2018, mayoritas pemain berasal dari Ha Noi FC. Hal yang sama terjadi pada The War Elephants saat menjuarai Piala AFF 2016 dengan pemain-pemain dari Muangthong United. Sementara pada 2014 dengan legiun BEC Tero Sasana.
Mengapa mereka suka mengumpulkan banyak pemain dari satu klub? Jawabannya sangat mudah! Harap diingat bahwa pertandingan timnas berbeda dengan liga. Di klub, pemain bertemu setiap hari. Mereka berlatih bersama setiap hari. Para pemain bertemu pelatihnya setiap saat.
Intensitas pertemuan yang sering itulah yang membuat kekompakan serta kerjasama di klub mudah dibentuk. Hal itu berbeda dengan timnas yang pemain hanya berkumpul bersama dalam hitungan hari, minggu, dengan maksimalnya satu bulan sebelum pertandingan.
Dalam waktu yang sangat singkat mustahil untuk membuat tim tampil kompak. Sehingga, solusi yang bisa diambil adalah mendasarkan sebuah timnas pada beberapa pemain dari satu klub. Itulah yang dilakukan Vicente de Bosque dengan gerbong Barcelona, Marcelo Lippi (Juventus), atau Joachim Loew (Bayern).
"Pekerjaan timnas buat saya tidak cocok. Satu pertandingan per bulan? Banyak di kantor. Tidak di lapangan. Tidak ada pertandingan. Menunggu dua tahun untuk Piala Eropa. Menunggu dua tahun untuk Piala Dunia. Tidak. Tetap tidak," kata Mourinho pada 2019 saat ditanya tentang melatih timnas, dilansir Sky Sports.
✊ Rise up again
— AFF Suzuki Cup (@affsuzukicup) November 10, 2021
? Reignite the rivalry
? The #AFFSuzukiCup is ????!#AFFSuzukiCup2020 | #RivalriesNeverDie pic.twitter.com/kv8dJDFxbI