Tim gurem dengan pemain ala kadarnya mampu mengalahkan Didier Drogba dkk.
Antara nasionalisme, semangat juang, doa dan harapan, hingga dewi Fortuna berpihak pada Zambia. Segalanya menjadi menjadi kekuatan yang mengantarkan mereka pada puncak kemenangan Piala Afrika 2012.
Jelang Piala Asia Wanita 2022, Ji So-yun: Ini Waktunya untuk Korea Selatan
Entah kebetulan atau tidak, final Piala Afrika 2012 berlangsung di Libreville dan lokasi kecelakaan dengan stadion hanya berjarak beberapa kilometer. "Kami pergi ke turnamen ini untuk mengistirahatkan jiwa para pahlawan kami yang gugur," kata Kiper Zambia, Kennedy Mweene, saat itu sebelum turnamen dimulai.
Kisah Ragnar Oratmangoen Calon Pemain Timnas Indonesia Pernah Main Film Tentang RMS
"Itu hanya mungkin bagi kami untuk kembali ke Gabon (untuk menghormati tim 1993) jika kami mencapai final. Itu memberi kami kekuatan yang luar biasa," ucap pelatih asal Prancis itu.
Di skuad itu hanya tiga yang bermain di Asia, dan dua di Eropa (Rusia dan Swiss). Sisanya, bermain di dalam negeri maupun beberapa negara tetangga di Afrika.
Zambia finish pertama di grup saat mengalahkan Senegal 2-1. Kemudian, mereka berbagi gol 2-2 dengan Libya dan mengalahkan Guinee Khatulistiwa 1-0. Dan, di perempat final, Zambia menyingkirkan Sudan 3-0 dan di semifinal mengalahkan Ghana 1-0.
Di final, Zambia benar-benar mengalami apa yang disebut sebagai keajaiban sepakbola. Melawan Pantai Gading dengan bintang-bintang seperti Didier Drogba, Yaya Toure, atau Gervinho, mereka seperti kemasukan arwah pemain-pemain yang terlibat tragedi 1993.
Bayangkan, menghadapi Pantai Gading, Zambia mampu bermain imbang tanpa gol selama 90 menit plus 30 menit perpanjangan waktu. Pertandingan berlanjut ke adu penalti.
Pada babak tos-tosan inilah mistis itu benar-benar terasa. Lima penendang pertama masing-masing tim sukses. Begitu pula dua penendang tambahan. Lalu, penendang kedelapan Zambia dan Panati Gading sama-sama gagal. Dalam situasi seperti itu, penendang kedelapan menjadi penentu.
Dan, Zambia sukses, sementara Pantai Gading gagal. Skor akhir adu penalti 8-7 untuk Zambia!
Para pemain kemudian berlutut, berdoa sekali lagi untuk rekan-rekan mereka yang telah tewas hampir dua dekade lalu. Sebuah gambar ikonik dari turnamen yang menunjukkan kematian mereka tidak pernah hilang dari pikiran para pemain generasi 2012.
"Tragedi 1993 memainkan perannya. Kami bukan favorit untuk kompetisi atau final. Tapi, kami percaya pada diri kami sendiri," kata salah satu pemain Zambia, Isaac Cansa.
Tapi, itu bukan satu-satunya momen ikonik di final. Setelah itu, Renard membawa bek yang cedera, Joseph Musonda, di pinggir lapangan untuk memungkinkan dia bergabung dalam perayaan itu. "Mereka menemukan kekuatannya. Saya tidak tahu di mana," kata Renard.
"Ada sesuatu yang tertulis di suatu tempat. Rasanya benar. Tapi, itu bukan karena saya. Bukan karena taktik atau permainan yang kami lakukan. Saya tidak tahu dari mana asalnya," tambah Renard.
Setelah era emas itu, Zambia tdak pernah lagi mencapai prestasi yang sama. Mereka hanya kandas di fase grup pada Piala Afrika 2013 dan 2015. Kemudian, gagal ambil bagian pada tiga edisi beruntun, yaitu 2017, 2019, dan sekarang 2019 di Kamerun. Tapi, kisah 2012 terus diceritakan hingga detik ini.
#OnThisDay in 2012: #Zambia beat #IvoryCoast on pens to win the AFCON
— Oluwashina Okeleji (@oluwashina) February 12, 2021
After 14 converted kicks, Kolo & Gervinho failed to score for Elephants & Kalaba also blazed over.
But Sunzu found the top corner to seal an amazing 8-7 victory.
Road to glory rewind⏪pic.twitter.com/ryOtStKASJ