Ironisnya nasib Inter Milan juga terancam. Pemiliknya sama.
Normalnya, klub juara liga akan kebanjiran uang dari hadiah, sponsor, maupun hak siar televisi. Tapi, yang terjadi pada Jiangsu Suning justru berbeda. Klub yang dimiliki investor Inter Milan itu bangkrut dan secara sepihak membubarkan diri pada 28 Februari 2021. Ada apa?

Klub berseragam biru-kuning itu didirikan pada 1958 oleh pemerintah daerah sebagai tim sepakbola Provinsi Jiangsu untuk ikut dalam Pekan Olahraga Nasional China 1959. Saat itu, mereka menempati posisi 12.

Selanjutnya, Jiangsu tampil di kompetisi China, yang masih berstatus semiprofesional karena aturan pemerintah saat itu tidak memungkinkan pendirian tim profesional. Ketika kompetisi profesional dibentuk pada 1994 dengan label Jia-A League, Jiangsu ikut serta.  

Berubah status menjadi klub profesional, Jiangsu mendapatkan sponsor dan mengganti nama menjadi Jiangsu Maint untuk memenuhi persyaratan tampil di Jia-A League 1994. Mereka berjuang dengan profesionalisme di dalam dan luar lapangan, meski terdegradasi pada akhir musim.

Biaya operasional yang besar dari liga mengakibatkan klub berjuang secara finansial, yang diperburuk dengan juga kehilangan sponsor mereka. Tapi, seiring waktu, klub memperoleh dukungan finansial dari beberapa perusahaan besar China, termasuk Jiangsu TV, Jinling Petrochemical Company, beberapa perusahaan tembakau Jiangsu selain beberapa perusahaan investasi internasional.

Klub berganti nama lagi menjadi Jiangsu Jiajia sebagai hasil dari sponsorship. Tapi, stabilitas keuangan klub yang meningkat tidak mencegah degradasi ke Divisi III pada akhir musim 1996. Klub hanya menghabiskan 1 musim di kasta ketiga sebelum mendapatkan promosi dengan memenangkan gelar 1997.

Pada 7 Januari 2000, Jiangsu Sainty International Group mengambil alih klub tersebut dan mengubah nama menjadi Jiangsu Sainty. Pemilik baru tidak dapat mencegah beberapa pemain dan pelatih menerima suap. Kejahatan itu terbukti terjadi pada 6 Oktober 2001 saat menyerah 2-4 dari Chengdu Wuniu.

Para pelakunya dihukum setahun dan klub memiliki waktu 3 bulan untuk mereformasi serta mengajukan kembali izin bermain ke Asosiasi Sepakbola China (CFA). Setelah berjanji untuk membersihkan klub, tim bertahan di Divisi II selama beberapa tahun sampai Pei Encai menjadi pelatih pada 2007. Mereka promosi pada akhir musim 2008.

Sejak bermain di Liga Super China 2009, tidak pernah turun kasta lagi. Bahkan, pada 21 Desember 2015, klub tersebut dibeli oleh Suning Appliance Group seharga 523 juta yuan (Rp1,156 triliun) dan berganti nama menjadi Jiangsu Suning.

Kurang dari 1 bulan pengambilalihan itu, Jiangsu memecahkan rekor biaya transfer dua kali di jendela yang sama, yaitu 25 juta pounds untuk Ramires dari Chelsea FC dan 37 juta pounds untuk Alex Teixeira dari Shakhtar Donetsk.

Dengan transfer mahal yang dilakukan, Jiangsu menjalani 2016 dengan sukses. Mereka finish runner-up di Liga Super China dan Piala FA. Itu adalah penampilan kedua berturut-turut klub di final Piala FA. Pada tahun itu, anak perusahaan Suning Appliance Group, Suning Holding Group, menguasai 68,55% saham I Nerazzurri.

Selain domestik, Jiangsu juga mampu mencapai fase knock-out Liga Champions 2017 untuk pertama kalinya dalam sejarah.  Tapi, mereka absen di Liga Champions selama dua tahun ke depan akibat kesulitan di kompetisi domestik.

Puncak prestasi Jiangsu terjadi pada 2020. Pada 12 November 2020, mereka dinobatkan sebagai juara Liga Super China untuk pertama kalinya dalam sejarah setelah meraih kemenangan agregat 2-1 atas Guangzhou Evergrande di final. Gol Eder Citadin Martins dan Alex Teixeira mengamankan gelar itu.

Sayang, beberapa pekan setelah berganti nama menjadi Jiangsu FC, klub membubarkan diri. Pada 28 Februari 2021, perusahaan induk mengumumkan bahwa operasional tim sepakbola pria, wanita, dan akademi berhenti total.

"Sebenarnya kami enggan berpisah dengan para pemain yang telah memenangkan penghargaan tertinggi bagi kami, dan penggemar yang telah berbagi solidaritas dengan klub. Tapi, kami dengan menyesal harus membuat pengumuman," kata Jiangsu dalam sebuah pernyataan resminya, dilansir BBC Sport.

Pada awal Februari, CEO Jiangsu, Zhang Jindong, sebenarnya telah memberi isyarat jelas ketika berbicara kepada media. "Kami akan fokus pada bisnis ritel dengan tegas dan tanpa ragu-ragu akan menutup dan mengurangi bisnis kami yang tidak relevan dengan ritel," ujar Zhang.


Bagaimana masa depan Inter Milan di Italia?

Jika melihat tanda-tandanya, perjalanan Inter musim ini sangat mirip dengan Jiangsu musim lalu. I Nerazzurri juga memiliki peluang besar untuk menjuarai Serie A untuk kali pertama dalam beberapa tahun terakhir.

Meski bisa saja terjadi, situasi di China tentu saja berbeda dengan Italia. Di Italia dan Eropa, klub sepakbola tidak terlalu tergantung pada pemilik klub. Mereka bisa mendapatkan pemasukan dari aktivitas ekonominya sendiri. Apalagi, UEFA memiliki regulasi Financial Fair Play (FFP), yang menjaga klub tetap sehat, meski sang pemilik sedang kolaps.

Sebaliknya, di China dan Asia pada umumnya, peranan pemilik klub (baik individu maupun perusahaan) sangat dominan. Salah satu penyebab Suning mundur adalah regulasi baru CFA yang mengharuskan klub melepaskan identitas pemilik klub. Akibatnya, Jiangsu harus berganti nama lagi menjadi hanya Jiangsu FC (menghilangkan kata Suning).

Selain itu, Pemerintah China sepertinya akan mulai menarik "subsidi" kepada sepakbola dengan cara menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Subsidi yang dinikmati klub China selama ini berbeda dengan yang ada di Indonesia ketika PSSI maupun PT Liga Indonesia Baru memberikan uang kepada klub.

Subsidi versi sepakbola China adalah campur tangan pemerintah untuk mendorong perusahaan-perusahaan swasta mendukung klub sepakbola dengan insentif tertentu (misalnya mendapat keringanan pajak). Itu juga berlaku bagi stasiun televisi yang sengaja "diarahkan" untuk mendukung kompetisi.

"Suning tidak lagi ingin berinvestasi di sepakbola. Mereka tidak menghormati seluruh pegawai dan pemain. Mereka meninggalkan kami tanpa gaji dan tidak mengizinkan kami untuk memperkuat tim lain. Kami bekerja untuk Suning. Tapi, tidak diperlakukan dan dihormati selayaknya," kata Eder, dikutip Oriental Sport Daily.

"Jika Suning gagal, kami dapat memahaminya. Kami mengharumkan nama Suning ke seluruh dunia. Tapi, kami diperlakukan tanpa rasa hormat! General Manager selalu berbohong. Dia selalu berjanji akan membayar semua. Tapi, dia tidak pernah menepatinya," pungkas mantan pemain Sampdoria itu.