Red Bull Salzburg
Libero.id - Dengan grup yang berisi Sevilla, Lille, dan VfL Wolfsburg, tidak ada yang memprediksi Red Bull Salzburg bisa lolos ke fase knock-out Liga Champions. Tapi, setelah enam pertandingan, klub Austria itu akhirnya tampil di babak 16 besar sebagai runner-up Grup G di bawah Lille dan di atas Sevilla serta Wolfsburg.
Meski berstatus klub terbaik di Austria, kelolosan Salzburg ke fase knock-out Liga Champions sangat jarang terjadi. Bahkan, belum pernah sebelumnya, alias ini yang pertama.
Hebatnya, Salzburg mendasarkan mayoritas skuad dari pemain-pemain produk akademi. Mereka adalah anak-anak remaja yang didatangkan dari seluruh dunia, dari Afrika, Asia, Amerika Selatan, Eropa Timur, Skandinavia, untuk dididik menjadi seperti Erling Haaland, Naby Keita, Dayot Upamecano, atau Sadio Mane.
Dan, setelah memasok pemain ke banyak klub besar Eropa, Salzburg kini bergabung dengan mereka untuk tampil di fase knock-out Liga Champions pertama dalam sejarah. Mereka memiliki kesempatan melawan mantan anak didik yang kini ada di Bayern Muenchen, Liverpool, atau klub besar lain.
Karena itu, muncul banyak pertanyaan, bagaimana klub bisa mengubah talenta muda setengah matang menjadi pesepakbola hebat berharga mahal calon peraih Ballon d'Or.
Dalam sebuah wawancara BBC Sport, Direktur olahraga Salzburg, Christoph Freund, menjelaskan panjang lebar isi dapur klubnya. "Seorang pemain seperti Karim Adeyemi menarik minat dari banyak klub bagus? Tentu saja karena dia pemain yang sangat berbakat," kata Freund.
"Dia juga tahu apa yang dia miliki dengan kami dan betapa pentingnya baginya untuk berkembang selangkah demi selangkah. Dia memiliki kesempatan bersama kami untuk mendapatkan banyak waktu bermain di level tinggi. Ketika saatnya tiba, dia akan mengambil alih. Itu adalah langkah selanjutnya dalam kariernya," tambah Freund.
Filosofi di Salzburg dimulai pada 2012 ketika Ralf Rangnick tiba. Pelatih yang kini bekerja untuk Manchester United tersebut datang sebagai direktur sepakbola. Kedatangan Rangnick benar-benar membawa sejumlah prinsip yang masih berlaku sampai sekarang.
Beda dengan La Masia, La Fabrica, atau De Toekomst yang mendidik pemain dari usia sangat muda, Salzburg berbeda.
Fokus Salzburg adalah membeli dan mengembangkan pemain muda berusia 16, 17, 18, 19, tahun. Anak-anak ini dididik 1-2 tahun di akademi, kemudian diberi kesempatan bermain di skuad utama pada usia 20, 21 tahun. Bahkan, ada yang 19 tahun. Mereka juga jarang membeli pemain berusia di atas 23 tahun.
"Kami saat ini menjadi tim termuda di babak penyisihan grup Liga Champions dengan usia rata-rata pemain kami sekitar 22 tahun. Awalnya, banyak orang tidak mengerti dengan apa yang kami lakukan atau tidak puas. Ada banyak hal yang harus kami lakukan di banyak tingkatan untuk meyakinkan orang tentang pekerjaan kami," kata Freund.
"Kami sekarang sangat menghormati apa yang kami lakukan. Kami tahu bahwa itu tidak selalu bisa menjadi lebih baik dan lebih baik, dan kami akan memiliki tahun-tahun ketika kami sedikit berjuang. Kami juga tidak akan bergerak dari cara kami melakukan sesuatu saat itu," tambah Freund.
'A comprehensive look at the Red Bull academy'
✍ @RedBullSalzburg https://t.co/4tLd8lRrWo pic.twitter.com/tdM8KS6wgF
— Voicing Football ⚽️? (@VoicingFootball) January 12, 2020
Merekrut pemain di usia remaja tentu saja berbeda dengan mendidik pemain saat masih berusia 6, 7, 8, 9, 10 tahun. Di usia dini, kita bisa mengajarkan semuanya dari nol. Sebaliknya, pemain-pemain usia 17, 18, 19 tahun telah memiliki dasar dari pendidikan sepakbola di masa kanak-kanak.
Jadi, tantangannya adalah memastikan pemain-pemain remaja itu dimasukkan ilmu sepakbola yang sama dengan yang diinginkan Salzburg. Termasuk juga filosofinya.
Untuk bisa mendapatkan bibit yang baik, peran pemandu bakat sangat vital. Jaringan talent scout Red Bull International tersebar di segala penjuru bumi dan membuat iri klub-klub sepakbola di seluruh dunia. Mereka bisa mendapatkan pemain hebat dari negara-negara yang tidak pernah dipikirkan klub lain.
Contohnya, Patson Daka dan Enock Mwepu dari Zambia. Salzburg memantau keduanya dari klub lokal, dibawa ke Austria, lalu dijual ke Liga Premier senilai total 50 juta pounds (Rp949 miliar). Contoh lainnya, Takumi Minamino dari Jepang yang dijual ke Liverpool pada Januari 2020.
Dan, yang paling terkenal adalah Haaland. Dibeli dengan 6,4 juta pounds (Rp121 miliar) dari Molde pada 2019 dan dijual ke Borussia Dortmund pada 2020 dengan 17,1 juta pounds (Rp324 miliar). Sekarang harga pemain Norwegia itu ditaksir lebih dari 100 juta pounds (Rp1,9 triliun).
"Sistem pemandu bakat kami didasarkan pada filosofi yang jelas, yang kami miliki sebagai klub, dan gambaran yang jelas tentang talenta muda yang ingin kami lihat bersama," jelas Freund.
"Jujur, apa yang kami lakukan membuat kami sangat menarik bagi para talenta muda dari seluruh dunia, yang mungkin saja tidak pernah memiliki cita-cita datang ke Austria. Kami semua, dan, tentu saja, tim talent scout kami, yakin dengan filosofi ini, yang berarti kami tahu persis apa yang kami cari," tambah Freund.
Di Salzburg, pemandu bakat akan mencari talenta lokal di usia 16-18 tahun. Sesuai regulasi FIFA, hanya pemain berusia minimal 18 tahun yang diizinkan menandatangani kontrak profesional. Ini seperti berjudi karena banyak klub tidak akan berani melakukannya pada pemain yang "kurang jelas".
Meski penuh risiko, fakta menunjukkan Salzburg selalu berhasil dengan metode itu. Contohnya dalam kasus Haaland (Molde), Daka dan Mwepu (Kafue Celtic), Minamino (Cerezo Osaka) di Jepang, atau Amadou Haidara (JMG Academy Bamako). Baru-baru ini Brenden Aaronson mereka datangkan dari Philadelphia Union.
"Di satu sisi, kami melihat sangat dekat ke seluruh dunia untuk mencari pemain muda yang cocok dengan gaya sepakbola kami. Di sisi lain, kami memiliki akses yang sangat baik ke pasar berkat reputasi kami yang sangat baik untuk mengembangkan talenta," kata Freund.
"Pemain, orang tua, dan agen semakin mendekati kami, dan kami memiliki banyak pilihan. Jika kami melihat pemain yang menarik minat kami, kami ingin mengamati mereka untuk waktu yang sangat lama," tambah Freund.
Grand Opening Red Bull Soccer & Icehockey Academy! #Liefering #Youth #Soccer #rbs #bulle12 pic.twitter.com/QG1cwXAlJN
— FC Red Bull Salzburg (@RedBullSalzburg) September 7, 2014
Pemain-pemain muda dari seluruh dunia yang memenuhi kriteria klub itu kemudian masuk ke database. Di sana, terdapat lebih dari 400.000 nama. Kemudian, yang terbaik dari nama-nama itu akan dibina secara langsung untuk memeriksa detail yang lebih baik dari karakter dan kualifikasi mereka.
"Kami punya daftar pemain berbakat dari sekuruh dunia. Klub menunjukkan kandidat ideal di setiap posisi. Jadi, ketika kami memutuskan membutuhkan pemain tertentu, proses perekrutan bisa berjalan cepat," ujar Freund.
"Kami tidak hanya melihat kualitas mereka di lapangan. Kami mencoba mencari tahu dengan berbicara kepada orang-orang di sekitar mereka, tentang bagaimana mereka sebagai manusia dan latar belakang mereka," tambah Freund.
Bagian dari daya tariknya adalah pusat pelatihan klub yang canggih di Liefering. Ini adalah sebuah fasilitas yang menawarkan lintasan lari antigravitasi dan banyak data adalah kunci untuk memberikan umpan balik tentang penampilan pemain dalam pelatihan.
Bukti keberhasilan Akademi Red Bull datang ketika Salzburg memenangkan Liga Champions Junior 2016/2017 dengan Daka mencetak gol dalam kemenangan 2-1 atas Benfica di final. Itu adalah tiga tahun setelah fasilitas canggih tersebut dibuka, dengan.
"Mereka datang ke dalam sistem yang sempurna untuk talenta muda dan membantu mereka mengembangkan dan menunjukkan kualitas mereka sebaik mungkin," jelas Freund.
Tujuh dari starting line-up Salzburg di Liga Champions musim ini menghabiskan waktu di akademi atau di tim satelit, FC Liefering. Dengan penampilan memuaskan musim ini, pemain-pemain tersebut seperti barang yang dipajang di etalase toko, yang siap dibeli konsumen.
"Mereka pasti tidak datang ke Austria untuk pemandangan yang indah atau uang. Mereka datang ke Salzburg karena mereka tahu mereka akan mendapatkan kesempatan suatu saat nanti untuk pindah ke klub besar, jika mereka tampil. Itu sebabnya kami sudah mencari generasi berikutnya untuk menggantikan Adeyemi dan generasinya," pungkas Freund.
First training session at the Red Bull Academy in Salzburg #VCFOnTour2015 pic.twitter.com/TcTGFetm9k
— Valencia CF (@valenciacf_en) July 7, 2015
(atmaja wijaya/anda)
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini