Kisah Gelar Liga Champions Liverpool yang Dicurangi Inter Milan

"Ini terjadi pada semifinal 1964/1965 di era kejayaan yang penuh kontroversi."

Biografi | 08 March 2022, 23:02
Kisah Gelar Liga Champions Liverpool yang Dicurangi Inter Milan

Libero.id - Liverpool dan Inter Milan adalah dua klub besar yang dikenal memiliki sejarah panjang di sepakbola Eropa. Beberapa diantaranya berakhir kurang menggembirakan. Contohnya, pada 1964/1965.

Dua raksasa Eropa dengan lemari piala berkilauan akan bertemu lagi pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions di Anfield, Rabu (9/3/2022), dini hari WIB. Tapi, Liverpool sudah berada di atas angin setelah kemenangan 2-0 di leg pertama atas Inter. 

Meski di era terkini Liverpool jauh lebih bagus dari Inter, sejarah pernah mencatat hal yang berbeda. Kedua tim pertandingan menjalani pertandingan sengit di semifinal Liga Champions 1964/1965.

Saat itu, Liverpool berada di bawah asuhan Bill Shankly. Mereka berhasil mengalahkan Inter 3-1 pada leg pertama. Ini hampir mirip dengan kejadian musim ini, yang sama-sama unggul dua gol. Bedanya, ketika itu, pertemuan pertama dilangsungkan di Anfield. 

Kemenangan itu terjadi hanya beberapa hari setelah Liverpool menjuarai Piala FA untuk pertama kalinya. Jadi, mereka merayakan kemenangan pada dua pertandingan tersebut dengan gegap gempita dan penuh sukacita.

Saat itu, muncul rumor yang ramai ditulis di media-media Italia tentang "doping" yang digunakan pemain-pemain Liverpool untuk mengalahkan I Nerazzurri di Anfield. Konon, Shankly meminta para pemainnya menelan sebuah pil khusus, yang di kemudian hari masuk kategori doping.  

Entah benar atau tidak, faktanya suporter Inter terpengaruh dengan pemberitaan itu. Mereka menyiapkan balas dendam hebat. Mereka melakukan intimidasi menakutkan terhadap semua pemain Liverpool. Pendukung Inter menyambut mereka di bandara dengan teriakan "pembunuh" dan plakat yang mengklaim "Liverpool pembohong"  atau "Liverpool minum doping".

"Saya tidak peduli dengan apa pun yang mereka katakan atau lakukan. Kami di sini untuk memainkan pertandingan sepakbola dan itulah yang akan kami lakukan," ujar Shankly sebelum pertandingan, dikutip Liverpool Echo.

Dengan 76.601 penonton yang hadir di stadion, Liverpool menghadapi kebisingan luar biasa saat keluar dari ruang ganti untuk kick-off pada pukul 21.15 waktu setempat. Dan, pada menit kedelapan dan 10, Inter mencetak dua gol. Itu berarti mereka menyamakan agregat. 

Dua gol cepat dalam waktu dua menit mendapatkan protes dari pemain-pemain Liverpool karena dianggap tidak sah. Jika menggunakan aturan sekarang dengan VAR dan wasit yang lebih bagus, bisa dipastikan Mario Corso dan Joaquin Peiro tidak akan disahkan.

Mari kita lihat satu persatu. Untuk gol Corso di menit kedelapan. Corso sebenarnya melakukan pelanggaran kepada Ron Yeats sebelum bola masuk gawang Liverpool. Wasit asal Spanyol, Jose Maria Ortiz de Mendibil, telah memberi isyarat untuk tendangan bebas tidak langsung karena pelanggaran itu. Tapi, entah mengapa dia tetap memutuskan gol Corso sah.

Yang lebih buruk lagi terjadi dua menit kemudian saat gol kedua Inter diciptakan Peiro. Saat itu, kiper Liverpool, Tommy Lawrence, memantulkan bola sebelum melakukan tendangan ke depan. Peiro datang dari belakang dan menyerobot. Dia kemudian memasukkan bola ke gawang kosong.

"Di kompetisi ini, wasit biasanya melindungi penjaga gawang. Tapi, wasit Spanyol ini tidak melindungi Lawrence. Dia membiarkan Peiro menendang dari belakang dan kemudian memasukkan bola ke dalam saat dia memantulkan bola," kata Shankly setelah pertandingan.

Dengan aturan gol tandang yang belum berlaku pada saat itu (sama dengan musim ini), agregat 3-3 dengan satu gol di Anfield tidak cukup bagi Inter untuk melaju ke final. Jadi, mereka memutuskan mencari gol penentu kemenangan. Dan, itu benar-benar didapat pada menit 80 melalui sang legenda, Giacinto Facchetti.

Setelah gol itu, bukan berarti Liverpool menyerah. The Reds sebenarnya bisa menyamakan agregat dengan. Ian St Jonh sempat mencetak satu gol untuk membuat agregat kembali imbang (4-4). Tapi, gol itu dianulir karena off side. Lagi-lagi, itu kontroversial. Sebab, jika VAR sudah ada, itu murni gol.

"Saya hanya ingat berlari dan memasukkan bola. Saya tidak tahu pelanggaran apa yang seharusnya terjadi (off side)," ujar St John beberapa tahun kemudian.

Pertandingan itu bisa menjelaskan bahwa wasit memiliki pertandingan yang buruk dan The Reds menderita kerugian besar. Apalagi, di kemudian hari diketahui Inter terlibat persekongkolan jahat di balik layar dengan wasit yang memimpin pertandingan. 

Italo Allodi, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris klub, dituduh terlibat dalam skandal pengaturan pertandingan sepanjang kariernya. Itu termasuk semifinal Liga Champions lainnya melawan Derby County. Ketika itu, dia bekerja untuk Juventus pada 1973. Tapi, kemudian dia tidak pernah dinyatakan bersalah.

Kekalahan Liverpool terjadi di tengah tiga penampilan semifinal Liga Champions berturut-turut yang dijalani Inter. Dan, semuanya memunculkan kontroversi, khususnya keterlibatan Allodi dengan mafia judi asal Hungaria, Dezso Solti.

Contohnya, pada 1963/1964. Saat itu Borussia Dortmund bertemu Inter di semifinal Mereka juga kalah kontroversial setelah seorang pemainnya diusir wasit karena dianggap melakukan pelanggaran keras. Di sisi lain, pemain Inter lolos dari hukuman, meski menendang perut lawan.

Selanjutnya, pada 1965/1966, Inter harus gagal ke final setelah dikalahkan Real Madrid di semifinal. Saat itu, wasit asal Hungaria, Gyorgy Vadas, mengatakan telah menolak tawaran dari Solti untuk membantu Inter. Akibatnya, Inter disingkirkan Madrid.

"Apa yang terjadi di leg kedua semifinal Liga Champions (1964/1965) membuat saya merasa tertipu. Orang Italia tidak memenangkannya. Wasit yang memenangkannya untuk mereka. Dan, satu-satunya kejutan adalah mereka tidak mengangkatnya setinggi bahu pada akhirnya," kata mendiang Tommy Smith pada 2007.

Liverpool mengambil pelajaran dari laga malam itu, meski harus menunggu hingga 1976/1977 untuk dinobatkan sebagai juara Eropa. Sebaliknya, Inter kemudian mengalahkan Benfica 1-0 di final untuk mengklaim gelar Eropa kedua berturut-turut. Tapi, sejak saat itu, mereka hanya memenangkan satu piala lagi.

Sedangkan wasit yang memimpi pertandingan itu meninggal pada 2015 dalam usia 89 tahun. Tapi, De Mendibil tidak pernah mengakui kesalahan apa pun dan terus memimpin kompetisi Eropa selama hampir satu dekade. 

(atmaja wijaya/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network