Jorge Sampaoli-Olympique Marseille
Libero.id - “Marseille bukan kota untuk turis. Tidak ada yang bisa dilihat. Keindahannya tidak bisa difoto. Itu hanya bisa dibagikan,” tulis mendiang penulis besar Prancis, Jean-Claude Izzo, tentang kota tempat dia lahir dan meninggal.
Kota Mediterania itu dianggap sebagai contoh cemerlang dari pencapaian besar multikulturalisme di Prancis yang selama ini dikenal rasis.
Di atas segalanya, kalau kita bicara spesifik tentang segi sepakbola, kita bisa mendapatkan gambaran kota melalui anak-anaknya: Frank Leboeuf, Eric Cantona, dan Zinedine Zidane.
“Ini adalah tempat di mana Anda harus memihak, mendukung, atau menentang dengan penuh semangat,” kutipan Izzo berlanjut.
“Hanya dengan begitu Anda dapat melihat apa yang harus dilihat, dan Anda menyadari terlambat bahwa Anda berada di tengah-tengah tragedi. Tragedi kuno di mana pahlawannya adalah kematian. Di Marseille, untuk kalah Anda harus tahu cara bertarung.”
Klub kota tersebut, Olympique de Marseille, agaknya ditakdirkan untuk menjadi yang kedua, berjuang mati-matian hanya untuk kalah.
? Unforgettable nights under the @orangevelodrome lights.
? ??: ferveur_marseillaise_13008 pic.twitter.com/aZ7c8x4bVk
— Olympique de Marseille ?? ?? (@OM_English) May 25, 2022
Dinamika Marseille
Didirikan pada 1899, 'Les Phoceens' (disebut demikian karena kota ini berasal dari bahasa Yunani) adalah salah satu klub sepakbola terbesar di Prancis. Sama seperti kota ini adalah salah satu yang paling penting di negara itu.
Tapi, hari-hari kejayaan mereka sudah lama berlalu. Mereka adalah satu-satunya tim Prancis yang memenangkan Liga Champions atau Piala Eropa, melakukannya pada 1992. Tapi, trofi itu dinodai kontroversi karena suap, dan yang terakhir dari sembilan gelar liga mereka datang pada 2009.
Memang, trofi terakhir mereka adalah satu dekade lalu, ketika mereka memenangkan Coupe de la Ligue, trofi kaleng pada 2012.
Sejak itu, mereka lebih sering menjadi runner-up di liga, empat kali sejak terakhir kali memenangkannya, finalis Coupe de France pada 2016 dan kalah di final Liga Europa pada 2018. Mereka telah berjuang dan berjuang hanya untuk kalah.
Semuanya terasa sedih selama tahun lalu ketika klub itu merosot ke urutan kelima di liga. Di musim penuh sebelumnya (mereka berada di urutan kedua dalam kampanye 2020 yang dipersingkat lantaran Covid-19) mereka finis kelima pada 2019, keempat pada 2018, dan merosot ke posisi 13 pada 2016.
Bagi penggemar, itu terlalu berlebihan. Sepanas dan saking semangatnya kota itu, ultras Marseille melakukan protes serius di tempat latihan klub pada Januari 2021. Beberapa pendobrak bahkan masuk dan merusak fasilitas. “Saya sudah menjadi pemain Marseille selama 13 tahun,” kata kiper legendaris Steve Mandanda tentang demonstrasi tersebut. "Saya tahu segalanya tentang klub ini, saya tahu cinta dan frustrasi yang dapat ditimbulkannya, tetapi kejadian hari ini membuat saya sedih dan tidak dapat diterima."
Sebulan kemudian, manajer baru Jorge Sampaoli datang usai kekacauan tersebut.
“Ketika saya menerima tawaran ini, saya bermimpi bisa datang dan mengadakan pesta di kota ini,” katanya setelah bergabung.
“Ada tempat di dunia yang tenang dan tempat yang intim. Tempat-tempat yang intens adalah tempat yang saya inginkan, dan saya menerima tawaran ini tanpa ragu-ragu. Klub ini memiliki jiwa dan itulah mengapa saya di sini.”
Menemukan Rumah di Marseille
Paris adalah rumah dari kemewahan Eropa. Segala sesuatu di sana indah, dari bangunan hingga orang-orangnya, dan tentu saja sepakbola. Ada PSG, ruang ganti mereka terbuat dari emas murni, kesuksesan mereka dibeli dengan uang tunai yang dingin dan skuad mereka menjadi rumah bagi anak emas Prancis.
Namun, Marseille bangga menjadi berbeda. Mereka seolah-olah bukan bagian dari Prancis. Di Marseille, mereka bahkan saling menyapa secara berbeda, berciuman dari kiri ke kanan daripada dari kanan ke kiri tanpa alasan kecuali untuk lebih menandai kemerdekaan mereka.
Jadi, itulah mengapa tim sepakbolanya juga berbeda. Tidak seperti PSG, para pemainnya bukan yang terbaik di kelasnya untuk setiap posisi.
Matteo Guendouzi diusir oleh Arsenal, sementara William Saliba bahkan tidak diberi kesempatan bermain di sana.
Arkadiusz dipandang sebagai beban oleh Napoli, hal yang sama juga menimpa mantan wonderkid Kroasia Duje Caleta-Car. Dan, tentu saja ada Dimitri Payet.
Dengan materi pemain-pemain buangan itu, seorang Sampaoli sama sekali tak mengeluh. Kemenangan dan kekalahan dijalaninya dengan hati yang lapang. Sebab, setiap pertandingan adalah perayaan atas kegembiraan, meksipun ujungnya pahit.
Salah satu pertandingan itu datang pada jelang musim berakhir, ketika Marseille membutuhkan kemenangan kandang untuk tetap bisa menempeli PSG di puncak klasemen.
Namun, Marseille juga mengharapkan tergelincirnya AS Monaco saat melawan RC Lens. Mengingat Monaco juga berada di peta persaingan.
Sementara itu, lawan mereka, Strasbourg, juga membutuhkan kemenangan untuk mendapatkan tempat potensial di Eropa. Sebaliknya, mereka tak mampu membalas empat gol dari tuan rumah.
Masing-masing dirayakan secara meriah oleh Sampaoli. Mengenakan atasan ketat, dia melompat kegirangan saat bola masuk ke gawang lawan, memamerkan tato warna-warni sepanjang lengan bajunya yang sangat cocok dengan estetika kepala botak dan janggut perak panjangnya.
Tapi, itu semua sia-sia. Monaco mengalahkan RC Lens 2-1 untuk kemenangan kesepuluh berturut-turut mereka. Setelah musim yang melelahkan yang telah melihat Marseille mencapai semifinal Liga Konferensi Europa perdana, hanya untuk kalah ketika begitu dekat dengan kemenangan lagi, mereka siap untuk tergelincir di rintangan terakhir untuk tempat kedua.
Inilah tragedi kuno Izzo, di mana pahlawan adalah kematian. Tidak peduli apa yang dilakukan Marseille, mereka pasti akan gagal…
Dan, kemudian Lens menyamakan kedudukan di injury time.
Mereka mungkin tidak memenangkan apa pun, tetapi Marseille telah menemukan kembali karakter dan semangat kota mereka di lapangan hijau sekali lagi.
“Ada banyak emosi hari ini. Saya sangat senang untuk musim ini, para pemain memiliki tahun yang luar biasa. Kita harus memberi selamat kepada mereka untuk itu. Saya sangat berterima kasih kepada mereka,” kata Sampaoli.
Sampaoli sedang dalam pembicaraan untuk memperbarui kontraknya. Jika dia dapat mempertahankan sejumlah besar jiwanya yang hilang, maka ada peluang nyata sesuatu yang besar akan terjadi di pantai selatan Prancis dalam waktu dekat.
Namun, terlepas dari itu, dia telah berhasil di mata banyak orang. Marseille sekali lagi menjadi tim yang siap bertarung untuk kalah. Itu adalah semangat yang hanya bisa dipupuk oleh beberapa klub, dan memang hanya sedikit kota. Dan, hanya Marseille yang bisa melakukannya secara sempurna.
(mochamad rahmatul haq/yul)
17-09-2023 | ||
Olympique de Marseille | 0 - 0 | Toulouse |
02-09-2023 | ||
Nantes | 1 - 1 | Olympique de Marseille |
27-08-2023 | ||
Olympique de Marseille | 2 - 0 | Stade Brestois 29 |
Kisah Jersey ala Cristiano Ronaldo di Barito Putera, Kini Puncaki Klasemen Liga 1
Apakah ini akan bertahan lama atau sementara?Gokil! Marselino Ferdinan Cetak 2 Gol Lawan FC Groningen di Laga Pramusim KMSK Deinze
Sayang, skor akhir tidak memihak Lino dkk. Cek videonya!Mundur atau Dipecat Persib Bandung? Ini Penjelasan Lengkap Luis Milla
Sepakbola dianggap mie instan. Baru 3 laga langsung pisah.Analisis Masa Depan 3 Pemain Timnas U-23 yang Dihukum AFC di Era Shin Tae-yong
Masih dipanggil atau tidak? Ini prediksinya.
Opini