Kisah Presiden La Liga Melawan Praktik Doping Uang Oleh Negara di City dan PSG

"Menurut dia, doping finansial adalah masalah terbesar di dunia sepakbola."

Berita | 14 July 2020, 16:39
Kisah Presiden La Liga Melawan Praktik Doping Uang Oleh Negara di City dan PSG

Libero.id - Presiden La Liga Javier Tebas terus konsisten menyuarakan perlawanan terhadap apa yang dia sebut doping finansial dalam sepakbola. Dia mengaku kesal setelah mengetahui Manchester City sukses dalam banding terhadap larangan bermain dalam kompetisi Eropa selama dua musim.

City dilarang berpartisipasi dalam kompetisi UEFA selama dua tahun dan didenda 30 juta euro (sekitar Rp 493 miliar) karena melanggar aturan Financial Fair Play (FFP).

Namun, City mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dan banding mereka disetujui.

Larangan UEFA untuk City dicabut sehingga bisa bermain kembali pada Liga Champions musim depan dan denda mereka dikurangi menjadi 10 juta euro (sekitar Rp 164 miliar).

"CAS menekankan bahwa sebagian besar dugaan pelanggaran yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Keuangan Klub (CFCB) tidak terbukti," kata CAS.

Ketua La Liga Javier Tebas mendukung City dihukum dan mengungkapkan ketidaksenangan pada hasil banding.

"Kami harus menilai kembali apakah CAS adalah badan yang tepat untuk mengajukan banding atas keputusan institusional dalam sepak bola," kata dia.

"Swiss adalah negara dengan sejarah arbitrase yang hebat, CAS tidak memenuhi standar."

Setelah City mendapatkan larangan dari UEFA pada Februari, Tebas berkomentar di Twitter: “UEFA akhirnya mengambil tindakan tegas. Menegakkan aturan Financial Fair Play dan menghukum doping finansial sangat penting bagi masa depan sepak bola.“

"Bertahun-tahun lalu, kami menyerukan tindakan keras melawan Manchester City dan Paris Saint-Germain. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."

Javier Tebas mengatakan bahwa "doping" finansial adalah masalah terbesar saat ini di dunia sepakbola.

Manchester City dan Paris Saint-Germaini dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Timur Tengah dan investasi besar dari pemilik telah membuat kedua klub menikmati kesuksesan besar dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, Tebas percaya struktur pengeluaran ini menyakiti sepakbola dengan menuntut agar kekayaan didistribusikan lebih merata di antara klub.

“Salah satu masalah besar dalam sepakbola Eropa adalah doping finansial. Ketika ada klub yang didanai oleh negara, maka itu berdampak pada gaji para pemain.”

"Ini berarti bahwa negara-negara dengan kontrol ekonomi yang lebih ketat, seperti Spanyol dan Jerman, tidak mengizinkan klub untuk mencari dana tambahan untuk membayar gaji pemain.”

“Organisasi dan institusi memiliki tanggung jawab untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang kami hasilkan. Kita semua - Liga Spanyol, Liga Premier, UEFA, FIFA. "Saya pikir kita tidak membantu sepak bola jika kekayaan yang kita peroleh langsung lari ke klub-klub besar."

“Lagipula, alih-alih memiliki 12 Ferrari, mereka (para pemain) membeli 15. Kita menghadapi masalah bahwa klub-klub besar memanfaatkan uang mereka (investor). Tujuan kami adalah mendistribusikan kembali uang itu. "

Sejak Manchester City dimiliki Abu Dhabi United Group pada 2008, mereka telah memenangkan empat gelar Liga Premier, dua Piala FA, empat gelar Piala Liga, dan tiga gelar Community Shield.

PSG telah menikmati kesuksesan yang sama sejak Qatar Sports Investments mengambil alih kepemilikan klub pada tahun 2011, memenangkan enam gelar Ligue 1, empat gelar Piala Perancis dan lima gelar Piala Liga.

Kedua klub telah membeli sejumlah besar pemain berbakat, memungkinkan mereka untuk melewati tim yang tidak memiliki kekayaan.

UEFA UBAH

UEFA berencana untuk mengubah sistem Financial Fair Play (FFP) setelah upaya mereka melarang Manchester City bermain di kompetisi Eropa dibatalkan oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) pada Senin.

Peraturan FFP bertujuan untuk menghentikan klub mengalami kerugian besar karena jor-joran dalam belanja pemain, tetapi setelah 11 tahun, UEFA mulai mempertimbangkan perubahan sistem sebelum CAS mendukung banding City terhadap larangan dua tahun berlaga di kompetisi Eropa.

UEFA menuduh City "melakukan pelanggaran serius" terhadap aturan FFP terkait laporan finansial yang diberikan kepada badan pengurus antara 2012 sampai 2016.

Namun, CAS memutuskan bahwa tuduhan itu "tidak terbukti" atau "melewati batas waktu" (time-barred), karena aturan UEFA sendiri menetapkan undang-undang bahwa penuntutan berlaku selama lima tahun.

Beberapa kasus mungkin juga telah tercakup dalam sebuah "perjanjian penyelesaian" UEFA dan City setelah penyelidikan sebelumnya berakhir pada 2014.

Masih belum jelas sampai keputusan penuh CAS diterbitkan dalam beberapa hari mendatang tentang berapa banyak kasus yang ditolak karena pembatasan waktu tersebut dan berapa banyak yang tidak terbukti.

Namun, pencabutan larangan City tersebut dianggap sebagai sebuah kekalahan Badan Pengawas Keuangan Klub (CFCB) UEFA. Meski mempertimbangkan untuk mengubah sistem FFP, UEFA tetap membela sistem tersebut yang diperkenalkan oleh mantan presiden badan eksekutif Eropa Michel Platini pada 2009.

"Selama beberapa tahun terakhir, Financial Fair Play telah memainkan peran penting dalam melindungi klub dan membantu mereka stabil secara finansial dan UEFA dan ECA (Asosiasi Klub Eropa) tetap berkomitmen pada prinsip-prinsipnya," kata UEFA pada Senin (13/7).

Namun, pada kongres UEFA di Amsterdam pada Maret, presiden badan sepak bola tertinggi Eropa tersebut, Aleksander Ceferin mengatakan bahwa sistem itu kemungkinan akan diubah. "Masih terlalu dini untuk mengatakan bagaimana bentuknya di masa depan, tetapi kami telah memikirkannya dan mungkin harus beradaptasi," katanya kepada wartawan.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network