Kisah Socrates, Pesepakbola Merangkap Dokter, Intelektual, dan Aktivis Politik

"Paolo Rossi menggambarkan kematian Socrates sebagai "bagian dari sejarah yang hancur dan hilang.” Sosok yang sangat langka."

Biografi | 17 September 2020, 20:08
Kisah Socrates, Pesepakbola Merangkap Dokter, Intelektual, dan Aktivis Politik

Libero.id - Tidak ada pesepakbola di dunia yang memiliki aktivitas seunik Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Pria yang biasa dipanggil Socrates tersebut adalah salah satu pemain top Brasil pada 1980-an.

Libero.id

Socrates. Kredit: cbf.com.br

Socrates menghabiskan 7 tahun di lapangan mengenakan seragam tim nasional Brasil. Sosok yang lahir pada 19 Februari 1954 dan meninggal 4 Desember 2011 itu bermain 60 kali dengan 22 gol. Dia membela tim Samba di Piala Dunia 1982 dan 1986 serta Copa America 1979 dan 1983.

Dia memang tidak sehebat Pele atau Ronaldo. Tapi, visi dan misi bermain Socrates diakui dunia. Sebagai pemain serbabisa, dia sangat fasih bermain sebagai gelandang tengah, gelandang serang, hingga second striker. Dengan postur tinggi, pergerakan Socrates tidak lambat.

Salah satu bukti kehebatan Socrates ada di Piala Dunia 1982. Saat itu, dia adalah kapten Brasil. Pada turnamen di Spanyol tersebut, Socrates menunjukkan kelas yang sesungguhnya. Dia memiliki ciri khas blind heel pass atau memberikan umpan menggunakan tumit tanpa melihat.

Socrates juga punya kemampuan spesial melalui tendangan geledek saat melawan Italia di pertandingan fase grup kedua. Sayang, Brasil kalah 2-3 sehingga tidak mampu mencapai semifinal.

Sepanjang karier, tidak banyak trofi yang dihasilkan pesepakbola yang sempat membela Fiorentina di Serie A tersebut. Tercatat, dia hanya membantu Botafogo menjuarai Torneio Vicente Feola 1976. Sementara dengan Corinthians, Socrates sukses meraih Campeonato Paulista (kompetisi di negara bagian Sao Paulo) 1979, 1982, 1983.

Socrates juga sempat merumput untuk klub elite Rio de Janeiro, Flamengo. Tim merah-hitam itu dibawa memenangi Taca Rio 1986 serta Campeonato Carioca (kompetisi di negara bagian Rio de Janeiro) 1986. Sedangkan bersama Brasil, prestasi terbaiknya hanya runner-up Copa America 1983.

Namun, Socrates bukan hanya tentang kehebatan di stadion sepakbola. Seperti namanya yang mengacu pada filsuf legendaris Yunani, dirinya punya banyak peran di luar lapangan yang diakui orang hingga hari ini. Orang-orang Brasil menyebut dirinya "Dokter Socrates".  

Julukan itu tidak datang dari langit. Pasalnya, Socrates adalah dokter dalam arti yang sebenarnya. Dia mendapatkan gelar prestisius tersebut setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Umum di Universitas Sao Paulo. Gelar itu didapatkan saat Socrates masih aktif bermain sepakbola secara profesional.

Menjadi dokter adalah cita-cita Socrates sejak kecil. Bermain sepakbola adalah hobi yang justru tidak sengaja ditekuni secara serius. Akibatnya, setelah pensiun, Socrates tidak tertarik menjadi pelatih atau pengurus klub. Dia pulang ke kampung halamannya di Ribeirao Preto untuk membuka klinik kesehatan.

Hebatnya, Socrates bukan dokter biasa. Kegemaran terhadap buku membuat Socrates mempelajari semua hal. Dia tertarik pada banyak hal di sekelilingnya. Banyak orang di Negeri Samba juga menganggap Socrates sebagai ilmuwan, filsuf, aktivis sosial, hingga politisi.

Contohnya saat Socrates bermain untuk Corinthians pada 1978-1984. Di klub elite asal Sao Paulo tersebut, dia mendirikan Corinthians Democracy (Democracia Corinthiana). Organisasi itu dibentuk untuk melawan junta militer, yang ketika itu berkuasa di Brasil. Saat bertanding, Socrates sering mengenakan kaos dalam bertuliskan "democracia" (demokrasi).

Meski diancam hukuman berat oleh Undang-undang Darurat yang diberlakukan penguasa, Socrates tidak takut. Dia tidak pernah jera untuk menyuarakan dikembalikannya hak-hak sipil warga Brasil. Mengidolakan Fidel Castro, Che Guevara, hingga John Lennon, Socrates adalah motor utama demonstrasi pro demokrasi ketika itu.

Perlawanan Socrates terhadap rezim militer yang paling ikonik terjadi pada 16 April 1984. Saat itu, dia menyerukan pemilihan umum yang langsung dan bebas dalam sebuah demonstrasi besar-besaran di Sao Paulo. "Socrates menghadapi risiko besar di depan 2 juta demonstran," kata Juca Kfouri, jurnalis olahraga Brasil tentang aksi Socrates saat itu, dilansir Aljazeera.

Karena itu, kematiannya pada 4 Desember 2011 ditangisi jutaan warga Brasil yang terkenang dengan pejuangan Socrates di masa lalu. Socrates menghembuskan napas terakhir setelah berjuang mengatasi sejumlah penyakit, termasuk hipertensi, pada 19 Agustus 2011 ketika dilarikan ke ICU di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo.

Pada 1 Desember 2011, Socrates kembali dirawat di rumah sakit karena keracunan makanan yang berkembang menjadi sangat berbahaya di tubuhnya. Dia harus memakai alat bantu hidup sebelum meninggal 3 hari kemudian pada usia 57 tahun. Dia meninggalkan seorang istri dan enam anak.

Saat itu, Presiden Brasil, Dilma Rousseff, memberikan penghormatan dengan mengatakan Brasil telah kehilangan "salah satu putra yang paling disayangi". "Di lapangan, dengan bakat dan sentuhannya yang canggih, dia adalah seorang jenius. Di luar lapangan, dia aktif secara politik. Dia peduli dengan rakyat dan negaranya," kata Presiden Rousseff, dilansir BBC Sport.

Para penggemar Corinthians menunjukkan tanda-tanda penghormatan dengan mengheningkan cipta sebelum pertandingan melawan Palmeiras. Itu adalah Minggu di hari ketika Corinthians meraih gelar juaga pertama setelah puasa 6 tahun. Percaya atau tidak, itu sesuai dengan keinginan Socrates saat hidup yang menyatakan keinginan meninggal pada Minggu ketika Corinthians memenangkan trofi.

Tanggapan juga datang dari banyak pesepakbola top dunia. Paolo Rossi misalnya, menggambarkan kematian Socrates sebagai "bagian dari sejarah yang hancur dan hilang". Sementara Zico menyebut kakak Rai de Oliveira itu sebagai "unik".

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network