Kisah Bnei Sakhnin, Klub Arab di Liga Israel yang Jadi Jembatan Perdamaian

"Sepakbola itu olahraga yang unik dan Sakhnin menjadi salah satu contohnya. Tidak selamanya orang Arab dan Yahudi bermusuhan."

Feature | 22 September 2020, 08:54
Kisah Bnei Sakhnin, Klub Arab di Liga Israel yang Jadi Jembatan Perdamaian

Libero.id - Liga Isreal 2020/2021 kembali dimeriahkan keberadaan "klub Arab" di antara 14 tim peserta. Setelah sempat turun ke kasta kedua selama satu musim, Bnei Sakhnin kembali ke tempat yang sebenarnya.  

Sepakbola itu olahraga yang unik dan Sakhnin menjadi salah satu contohnya. Berstatus klub Israel di wilayah utara, Sakhnin justru tidak memiliki aroma Yahudi. Tim yang berdiri pada 1991 tersebut justru berisi para pesepakbola Arab karena berasal dari wilayah yang dihuni mayoritas orang Arab.

Di tengah warga Yahudi, keberadaan Sakhnin menyita perhatian. Perjalanan klub yang menggunakan Doha Stadium sebagai kandang itu pernah diangkat ke layar lebar oleh sineas asal Amerika Serikat, Alexander dan Christopher Browne, bertajuk "After the Cup: Sons of Sakhnin United".

Film dokumenter itu mengisahkan perjalanan Sakhnin menjuarai Piala Israel 2003/2004 sehingga menjadi wakil negara di Piala UEFA 2004/2005. Meski kalah agregat 1-7 (0-2, 1-5) dari Newcastle United pada play-off, kesuksesan Sakhnin mewakili Israel di kompetisi Benua Biru menunjukkan sepakbola tidak mengenal sekat suku, agama, ras, maupun pandangan politik.

Dalam film yang rilis pada 2009 tersebut diceritakan sebuah klub yang berasal dari "kota Arab", dimiliki orang Arab, dilatih orang Yahudi, serta diperkuat gabungan pemain Arab dan Yahudi. Sakhnin ketika itu menjadi duta untuk mengampanyekan perdamaian di Timur Tengah. Hal yang dianggap mustahil untuk menyatukan Arab dan Yahudi ternyata mampu dilakukan di sepakbola.

Pada akhirnya, usaha menjadi Sakhnin pioner perdamaian abadi di tanah sengketa memang tidak bisa terwujud. Pasalnya, orang-orang Yahudi dan Arab yang ada di Eropa saat itu juga bingung apakah perlu mendukung Sakhnin di Piala UEFA atau tidak.  

Namun, dengan After the Cup: Sons of Sakhnin United, Sakhnin ingin menunjukkan kepada dunia bahwa tidak selamanya orang Arab dan Yahudi bermusuhan. Mereka ingin mengambarkan bahwa ada banyak hal salah tentang Arab dan Yahudi yang diberitakan ke luar negeri.

"Kami terjebak di antara iblis dan laut biru yang dalam. Pendirian Israel menolak untuk mengakui kami sebagai warga negara Israel yang setara. Sementara itu, banyak orang Arab memberi tahu kami bahwa kami adalah Zionis karena kami bermain di bawah bendera Israel," kata CEO Sakhnin saat itu, Mazen Gnaiem, dilansir The Guardian.

"Saya pernah berdebat di sebuah stasiun radio Arab dengan seseorang dari UEA. Dia bilang dia akan mendukung kami jika kami bermain di bawah bendera Palestina. Saya mencoba menjelaskan itu seperti pesepakbola Palestina yang tinggal di Yordania atau Mesir akan bermain di bawah bendera negara itu. Jadi, kami bermain di bawah bendera Israel. Dia tidak yakin," tambah Gnaiem.

Gnaiem mengatakan, pada awalnya sulit membujuk pemain Yahudi bergabung dengan tim. "Semuanya tidak akan mau bermain di tim Arab. Begitu saya meyakinkan mereka dan setuju, saya harus meyakinkan istrinya, ibunya, sahabatnya, sampai mereka semua setuju," ujar Gnaiem.

"Hebatnya, ketika pemain-pemain itu (Yahudi) bergabung dengan klub, mereka tidak ingin pergi. Mereka sadar ada nilai besar yang dianut klub ini. Saat kami kehilangan 4 pemain (ditembak aparat keamanan Israel saat kerusuhan intifada kedua pada 2000), pemain Yahudi kami yang pertama menelepon dan menyampaikan belasungkawa," beber Gnaiem.

Salah satu pemain Yahudi yang pernah bermain untuk Sakhnin adalah Avi Danan. Selama tiga tahun di klub, Danan mengaku tidak pernah mendapatkan perlakukan rasialis dari komunitas Arab. Hal itu berbeda ketika orang Arab membela Beitar Jerusalem.

"Tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan Arab. Orang tua saya dibesarkan di Maroko di antara orang Arab. Saya berbicara bahasa Arab dan budaya ramah di Sakhnin mirip dengan budaya kami. Setiap kali saya berkendara ke Sakhnin, saya merasa sulit untuk pergi. Orang-orang terus mengundang saya ke rumah mereka, ke pesta pernikahan, ke acara keluarga. Saya dikelilingi dengan cinta," ungkap Danan.

"Apakah pengalaman di Sakhnin mengubah pandangan politik saya? Bagi saya, ini tidak ada hubungannya dengan politik. Bnei Sakhnin adalah bukti bahwa orang Yahudi dan Arab bisa hidup bersama," lanjut Danan.

Uniknya, meski After the Cup: Sons of Sakhnin United sudah lama berlalu, kehidupan di Sakhnin tetap sama. Setelah menjadi runner-up Divisi II musim lalu, Sakhnin kini mencoba kembali mengais asa seperti 2003/2004. Dengan anggaran yang sangat kecil dan di tengah keterbatasan akibat kebijakan politik negara yang meminggirkan kaum minoritas, Sakhnin tetap berkompetisi secara profesional.

Sama seperti musim-musim sebelumnya, pemain-pemain Arab dan Yahudi menjadi tulang punggung klub selain legiun import. Mereka punya pemain-pemain Arab seperti Mahmmoud Kanadil, Ali Ottman, atau Osama dan Mohammed Khalaila. Ada lagi Rami Hamadeh, yang berstatus kiper tim nasional Palestina.

Dari komunitas Yahudi, Sakhnin mempunyai Eli Elbaz, Moti Barshazki, Moti Malka, hingga Dean Twizer. Ada pula Sari Falah yang merupakan orang Druze. Untuk pemain asing terdapat Emery Welshman dari Guyana, Ikouwem Utin (Nigeria), Oswaldo Henriquez (Kolombia), serta Luanderson (Brasil).

Hingga pertandingan kedua, akhir pekan lalu, Sakhnin ada di posisi paling bawah. Dari 2 pertandingan yang  sudah dijalani melawan Bnei Yehuda Tel Aviv dan Maccabi Netanya, Sakhnin selalu menelan kekalahan. Mereka belum mencetak gol, tapi sudah kemasukan 10 gol.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network