Libero.id - Berbeda dengan Tragedi Muenchen atau Tragedi Superga yang ramai dibicarakan penggemar sepakbola di seluruh dunia, Tragedi Colourful XI yang melibatkan rombongan pemain Belanda keturunan Suriname seperti dilupakan.
Tragedi Colourful 11 adalah kecelakaan pesawat Surinam Airways Flight 764 dengan rute Amsterdam Airport Schiphol di Belanda ke Paramaribo-Zanderij International Airport di Suriname menggunakan McDonnell Douglas DC-8-62. Pada 7 Juni 1989, pesawat tersebut terjatuh saat akan mendarat dan menewaskan 176 dari 187 orang di dalamnya.
Kisah tragis itu berawal dari sekelompok pemain sepakbola Suriname yang bermain secara profesional di Belanda. Mereka dikumpulkan untuk menggelar laga amal di Paramaribo. Tim tersebut menggunakan label Colourful 11 (Kleurrijk Elfta).
Tim tersebut lahir dari inisiatif pekerja sosial Suriname-Belanda, Sonny Hasnoe. Dia bekerja dengan anak-anak kurang mampu di lingkungan yang kurang beruntung di Amsterdam. Banyak orang asal Suriname tinggal di distrik kumuh, Bijlmer, dalam kondisi susah dan terisolasi dari masyarakat Belanda pada umumnya.
Hasnoe ingin anak-anak muda tersebut berguna. Salah satu caranya dengan sepakbola. Untuk menarik minat banyak orang, dia meminta sejumlah pesepakbola keturunan Suriname di Belanda seperti Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Aron Winter, hingga Bryan Roy untuk menjadi model iklan kampanye Hasnoe. Salah satu caranya dengan pertandingan amal.
Pada 1986, Hasnoe menyelenggarakan pertandingan pertama antara Colourful 11 melawan klub terbaik di Suriname, SV Robinhood, di Amsterdam. Pertandingan itu sukses besar dari segi penonton maupun pemberitaan.
Bermodalkan kesuksesan laga pertama, Hasnoe berencana menggelar pertandingan kedua di Paramaribo. Rencana disusun rapi dan musim panas 1989 ditetapkan sebagai hari pertandingan. Saat itu, Hasnoe sudah mendapatkan persetujuan dari banyak pemain top Suriname-Belanda seperti Gullit, Rijkaard, Winter, Roy, Stanley Menzo, Dean Gorre, Jos Luhukay, serta Regi Blinker.
Namun, nama-nama di atas ternyata tidak mendapatkan izin klub masing-masing dengan berbagai alasan. Sementara Henny Meijer dan Menzo memilih terbang ke Suriname sendirian tanpa rombongan, meski sebenarnya tidak mendapatkan izin klub.
Tanpa nama-nama popuper di atas, Colourful 11 tetap berangkat ke Suriname pada 6 Juni 1989 pukul 23.25 waktu Amsterdam. Rencanannya, mereka akan tiba di Paramaribo pagi hari 7 Juni 1989.
Dipimpin Nick Stienstra selaku pelatih RC Heemstede, Surinam Airways Flight 764 mengangkut sejumlah pemain berbakat. Sebut saja Ruud Degenaar (Heracles Almelo), Lloyd Doesburg (Ajax Amsterdam), Steve van Dorpel (Volendam), Wendel Fraser (RBC Roosendaal), Frits Goodings (Wageningen), Jerry Haatrecht (Neerlandia), Virgall Joemankhan (Cercle Brugge), hingga Andro Knel (NAC Breda).
Ada lagi Ruben Kogeldans (Willem II Tilburg), Ortwin Linger (Haarlem), Fred Patrick (PEC Zwolle), Andy Scharmin (FC Twente), Elfried Veldman (De Graafschap), serta Florian Vijent (Telstar). Lalu, Sigi Lens (Fortuna Sittard), Edu Nandlal (Vitesse Arnhem), dan Radjin de Haan (Telstar).
Sayang, akibat kesalahan kru ketika akan mendarat, McDonnell Douglas DC-8-62 menghujam ke bumi tanpa terkendali. Hasil investigasi menunjukkan, kekurangan signifikan dalam pelatihan dan penilaian kru. Mereka dengan sengaja berusaha mendarat menggunakan sinyal navigasi yang tidak tepat dan mengabaikan alarm yang memperingatkan mereka tentang kecelakaan yang akan datang.
Sekitar 20 menit sebelum mendarat, kokpit menerima laporan cuaca yang memberi tahu jarak pandang hanya 900 m karena kabut. Itu mengejutkan mereka karena jarak pandang sebelumnya 6 km. Kapten Will Rogers memutuskan untuk menggunakan sistem pendaratan instrumen (ILS), yang dirancang untuk membantu pesawat mendarat dalam cuaca buruk. Tapi, dia tidak mendapatkan izin dari menara pengendali.
Alarm peringatan ketinggian berbunyi. Tapi, diabaikan. Kru memutuskan untuk mempercayai ILS. Mereka turun hingga 300 kaki, 200 kaki, 150 kaki. Baru kemudian mereka menyadari bahwa pesawat terlalu rendah. Salah satu sayap menabrak puncak pohon, tidak terlihat dari pesawat karena kabut dan awan. Kemudian, sayap lainnya menabrak pohon lain, dan pesawat itu terbalik, jatuh ke tanah, terbalik.
Tragedi yang disebut sebagai kecelakaan pesawat paling mengerikan dalam sejarah penerbangan Suriname itu menewaskan mayoritas penumpangnya. Hanya ada tiga anggota Colourful 11 yang selamat, meski harus menderita kerusakan organ tubuh permanen.
Pemain yang beruntung salah satunya Lens. Anggota Fortuna berusia 25 tahun itu mengalami patah tulang panggul. Setelah menjalani pengobatan, dia dinyatakan sembuh. Tapi, Lens tidak diizinkan kembali ke lapangan hijau. Setelah gantung sepatu, Lens menjadi agen pemain. Dia adalah orang yang menjadi perwakilan Andre Ooijer, Denny Landzaat, George Boateng, Giovanni van Bronckhorst, Mario Melchiot, Michael Reiziger, serta Winston Bogarde.
Nama kedua yang selamat adalah Nandlal. Sama seperti Lens, saat itu pemain Vitesse tersebut baru berusia 25 tahun. Kakinya patah dan setelah menjalani pengobatan, dia tidak bisa berjalan normal. Kakinya pincang sehingga Nandlal memutuskan pensiun.
"Ini adalah pertama kalinya saya kembali ke Suriname sejak kejadian itu. Semua teman saya (saat kejadian) mengatakan ingin tidur (saat mendarat). Tapi, saya mengatakan saya ingin tetap terbangun untuk melihat (proses) pendaratannya," kata Nandlal pada 2017, dilansir The Guardian.
Nandlal menjelaskan, penerbangan sempat ditunda 12 jam karena pesawat berusia 20 tahun yang diberi nama "Anthony Nesty" (perenang Suriname yang memenangkan emas di Olimpiade 1988) itu terlambat tiba dari Miami. Tetap saja, suasananya ceria.
“Semuanya baik-baik saja saat kami pergi. Ada sebuah band, Draver Boys, yang memainkan musik di pesawat. Seluruh penerbangan di atas laut itu sempurna. Saat mendekati bandara (tujuan), saya bisa melihat lampu rumah-rumah kecil di hutan. Saat itu gelap (karena kabut). Jadi, hanya itu yang bisa saya lihat," tambah anak didik Dick Advocaat saat membela FC Utrecht itu.
Sosok terakhir yang selamat adalah De Haan. Saat kejadian, striker Telstar tersebut baru berusia 19 tahun. De Haan menderita patah tulang belakang. Sempat dirawat beberapa bulan di rumah sakit, dia dinyatakan pulih dan diizinkan melanjutkan karier sebagai pesepak bola.
Sayang, kecelakaan dan cedera membuat De Haan trauma. Dia tidak mampu lagi mencapai level tinggi di sepakbola profesional. Setelah sempat membela FC Eindhoven dan FC Den Bosch , dia memutuskan pensiun dini. De Haan beralih profesi menjadi pelatih. Hingga kini De Haan masih aktif menjadi pelatih di sejumlah klub amatir dan kasta bawah Negeri Kincir Angin.
Profil Frank Wormuth, Pria Jerman yang Akan Bantu Bima Sakti di Piala Dunia U-17 2023
Semoga berhasil menjalankan tugas.Lawan Pemuncak Klasemen, Persik Kediri Malah Kehilangan 3 Pemain Andalan
Pertandingan yang diramal akan menarik.Bertandang ke Markas Sendiri, Begini Persiapan Bali United Hadapi Arema FC
Pertandingan yang cukup unik bagi Bali United.Beda dengan Piala Dunia Pria, FIFA Sebut Piala Dunia Wanita Justru Rugi
Piala Dunia Wanita 2023 akan kick-off dalam hitungan hari.Unik! 5 Pemain Timnas Indonesia Bakal Dilatih Park Hang-seo Jika Gabung Persib Bandung
Semuanya baru sebatas rumor. Bisa benar, bisa salah.
Opini