Kisah Indonesia Dibantai Diego Maradona di Piala Dunia Junior 1979

"Sejumlah pemain legendaris Indonesia seperti Mundari Karya dan Bambang Nurdiansyah beruntung pernah satu lapangan dengan Diego Maradona."

Feature | 26 November 2020, 15:15
Kisah Indonesia Dibantai Diego Maradona di Piala Dunia Junior 1979

Libero.id - Sejumlah pemain legendaris Indonesia seperti Mundari Karya dan Bambang Nurdiansyah seharusnya merasa beruntung pernah satu lapangan dengan Diego Maradona pada pertandingan resmi. Bagaimana bisa?

Kisah langka yang tidak pernah terulang hingga sang legenda menghembuskan napas terakhir itu tercipta di Piala Dunia Junior 1979. Tidak seperti Piala Dunia 1938 yang tampil dengan label Hindia Belanda, Indonesia pernah berpartisipasi pada Piala Dunia U-20 sebagai negara merdeka.

Saat itu, kompetisi berlangsung di Jepang. Indonesia mendapatkan tiket bukan karena prestasi dan hasil selama kualifikasi zona Asia. Garuda Muda terbang ke Tokyo karena mendapatkan durian runtuh.

Sebenarnya, wakil Asia saat itu adalah juara dan runner-up Piala Asia Junior 1978. Tim tersebut adalah Korea Selatan dan Irak. Tapi, Irak mengundurkan diri karena sedang berperang melawan Iran. Mereka tidak siap dengan skuad karena semua sumber daya sedang dikerahkan Saddam Hussein untuk menyerbu Teheran.

Otomatis, mundurnya Irak membuat AFC menunjuk Korea Utara sebagai pengganti. Sebab, tetangga Korea Selatan itu berstatus semifinalis. Tapi, berhubung kompetisi digelar di Jepang, mereka menolak dengan alasan politis. Korea Utara menjadikan Jepang musuh abadi selain Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Akibat situasi yang kurang mengenakkan tersebut, satu jatah Asia akhirnya diberikan kepada Kuwait, yang juga berstatus semifinalis. Masalahnya, negeri di Teluk Persia itu juga menolak bertanding dengan alasan perjalanan yang jauh dan tim memiliki tim yang siap. Akibatnya, Indonesia, yang kandas di perempat final dari Korea Utara, mendapatkan kesempatan bermain.  

Dengan penuh semangat, PSSI langsung menyiapkan tim muda terbaiknya. Dilatih Soetjipto Soentoro, Indonesia menampilkan pemain-pemain berusia 18, 19, 20 tahun. Selain Mundari (Jaka Utama) dan Banur (Arseto), ada pula Rudi Ahmad Fachrizal (Perkesa 78) dan Endang Tirtana (Warna Agung) sebagai kiper.

Nama lainnya, Eddy Sudarnoto (Jayakarta), Bambang Irianto (Jayakarta), Imam Murtanto (Tidar Sakti), Memed Permadi (Jayakarta), David Sulaksmono (Jayakarta), Pepen Rubianto (Buana Putra), Budhi Tanoto (Tunas Jaya), Bambang Sunarto (Jaka Utama), hingga Arief Hidayat (Persija Jakarta). Ada lagi Syamsul Suryono (Indonesia Muda), Didik Darmadi (Persis Solo), Nus Lengkoan (Indonesia Muda), Tommy Latuperisa (PSMS Medan), serta Arief Joko Subangkit (Jaka Utama).

Dengan materi pemain yang beda kelas, bisa ditebak hasil akhirnya. Apalagi, Indonesia kurang beruntung saat turnamen digelar. Mereka harus berhadapan dengan tim-tim kuat dunia di Grup B bersama Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Mereka ada tim besar di konfederasi masing-masing.

Pada pertandingan pertama, Indonesia langsung bertemu Argentina. La Albiceleste ketika itu dilatih Cesar Luis Menotti. Tidak tanggung-tanggung, Maradona juga bermain sejak menit pertama.

Perbedaan kelas yang sangat mencolok membuat Indonesia kesulitan mengembangkan permainan terbaik. Tekanan demi tekanan membuat Garuda Muda kesulitan. Maradona dan Ramon Diaz berkali-kali membuat konsentrasi para pemain belakang Indonesia hancur. Mereka tidak tahu harus melakukan apa untuk menghentikan El Pibe de Oro.

Di lapangan, Indonesia hanya mampu mengimbangi Argentina selama 9 menit. Pada menit 10, Diaz membuka keunggulan Argentina. Lalu, gol demi gol kembali dihasilkan Diaz dan Maradona. Total, Diaz mengemas 3 gol dan Maradona 2 gol. Jeda babak pertama, Indonesia tertinggal 0-5.

Beruntung, kemenangan skor besar di babak pertama tidak dilanjutkan Argentina di babak kedua. Menotti meminta para pemain terbaiknya untuk menghemat tenaga karena laga kedua dan ketiga akan jauh lebih berat. Hasilnya, Indonesia mampu mempertahankan kekalahan 5 gol tanpa balas itu.

Belum lepas dari kekagetan melawan Argentina, Indonesia bertemu Polandia di pertandingan kedua. Lagi-lagi, para pemain harus gigit jari karena tim dari Eropa Timur tersebut mencetak 4 gol tanpa balas lewat Andrzej Palasz (2 gol), Jan Janiec, Krzysztof Baran (2 gol), dan Kazimierz Buda.

Garuda Muda semakin hancur saat menghadapi pertandingan terakhir melawan Yugoslavia. Bertemu skuad skuad asuhan Ivan Toplak tersebut, Indonesia menyerah 0-5. Uniknya, beberapa tahun kemudian, PSSI menunjuk Toplak sebagai pelatih timnas senior.

Meski kalah, Indonesia tidak perlu berkecil hati. Sebab, pada akhir kompetisi, Argentina menjadi juara. Di perempat final, mereka menundukkan Aljazair 5-0. Lalu, di semifinal giliran Uruguay yang dikalahkan 2-0 dan di partai pamungkas menang 3-1 atas Uni Soviet.

Maradona didapuk sebagai pemain terbaik setelah menjadi motor utama La Albiceleste plus memproduksi 6 gol. Sementara sang tandem, Ramon Diaz, menjadi pencetak gol terbanyak dengan 8 gol.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network