Kisah Keajaiban Turki di Piala Dunia 2002, Underdog yang Tembus Semifinal

"Sedihnya, pahlawan Turki 18 tahun lalu kini dibuang pemerintah negaranya: Hakan Sukur."

Feature | 14 December 2020, 20:27
Kisah Keajaiban Turki di Piala Dunia 2002, Underdog yang Tembus Semifinal

Libero.id - Apa yang Anda pikirkan tentang babak akhir atau 8 atau 4 besar di turnamen sebesar Piala Dunia? Hampir dipastikan Anda bakal memikirkan beberapa negara terbaik yang sepantasnya jadi unggulan dan melenggang sampai jauh :  Brazil, Spanyol, Argentina, Inggris, Italia, dan lain semisalnya.

Tapi itu hampir tak terjadi pada gelaran Piala Dunia 2002. Hampir semua negara-negara di atas dipecundangi, ada yang tak lolos penyisihan grup, atau terhenti di 16 atau 8 besar, dan lain sebagainya, kecuali Brazil yang keluar sebagai juara satu.

Piala Dunia yang diselenggarakan di dua negara itu sepatutnya dikenang sebagai momen bersinarnya timnas-timnas underdog. Di antara yang paling menyedot perhatian adalah Turki.

Perjalanan Turki di Gelaran Piala Dunia

Pada musim panas 2002, Senol Günes membawa pasukannya terbang dari Turki menuju Asia Timur : Jepang dan Korea Selatan. Timnas Turki terakhir kali bermain di Piala Dunia pada tahun 1954.

Dan pada gelaran Piala Dunia tahun 2002 itu Hakan Sukur cs membuat sejarah baru. Mereka membuat tercengang banyak pihak dengan melaju hingga babak semifinal, hanya kalah tipis dari Brazil yang kemudian keluar sebagai kampiun.

Lalu di perebutan tempat ketiga, Turki menghajar tuan rumah Korsel dengan 3 gol dan menghibur Negeri Ginseng dengan hanya 'membiarkan' 2 gol balasan. Mula-mula Turki dipandang enteng, tapi faktanya mereka menaruh koper lebih lama.

Untuk memahami arti sebenarnya dari kisah ini, Anda harus kembali ke tahun 1950-an.

Dimana Turki sebenarnya telah lolos ke Piala Dunia. Tapi lihatlah catatan sejarah, pada akhirnya Turki tak ikut serta karena masalah politik dan terutama karena mereka tidak mampu membiayai diri di turnamen besar itu.

Seperti yang tertulis di awal, pada edisi Piala Dunia berikutnya, 1954, mereka ikut berkompetisi. Sesuatu yang pertama pasti berkesan - namun sayangnya harus berakhir dengan patah hati. Mereka tumbang di fase playoff saat melawan Jerman Barat.

Hat-trick Max Morlock mengubur dalam-dalam impian Turki.

Namun, pada akhir tahun 1990-an, segalanya mulai terlihat kembali. Turki kembali bersaing di level internasional, kali ini adalah Euro tahun 96 dimana Inggris jadi tuan rumah.

Namun kunjungan mereka ke City Ground dan Hillsborough adalah perjalanan yang agaknya lebih ingin mereka lupakan. Mereka finis di posisi paling buncit Grup D. Bermain tiga kali dan kalah tiga kali, dan sama sekali tidak mencetak gol.

Dan sialnya lagi, dua tahun berselang mereka tidak lolos ke Piala Dunia edisi tahun 1998. Namun sejarah berbalik di dua tahun berikutnya. Kemenangan 2-0 Turki atas tuan rumah Belgia pada pertandingan terakhir grup memastikan satu tempat di babak sistem gugur Euro 2000.

Walau ujungnya perjuangan mereka dijegal Portugal di babak 8 besar, itu sudah lebih dari cukup.

Pasca itu, Turki ditinggal pelatih Mustafa Denizli dan sekaligus membuka jalan bagi sosok Senol Günes, yang tak lain adalah mantan penjaga gawang Turki selama dekade 1970-1980-an.

Optimisme tumbuh tapi keraguan jauh tak terbendung, sebab Günes adalah generasi yang gagal menghantarkan Turki tampil di Piala Dunia, tapi yang perlu diingat, di awal abad 21, Günes adalah pelatih Turki bukan lagi pemain.

Turki dan Piala Dunia 2002

Bagi Günes melatih timnas Turki adalah sebuah penebusan dosa, dan itulah kesempatan untuk menuliskan namanya sebagai pahlawan bagi cerita rakyat Turki.

Kemenangan agregat 6-0 atas Austria di babak penyisihan kualifikasi memastikan tiket ke Korea Selatan dan Jepang.

Saat yang penuh kegugupan dimulai ketika Turki di plot satu grup dengan Kosta Rika China, dan Finalis Piala Dunia di edisi sebelumnya, Brazil. Hanya ada dua cara agar Turki lolos dari  Grup C itu. Pertama, bercokol di klasemen paling atas, dan tentu ini sulit. Atau kedua, cukup jadi runner-up grup.

Partai pembuka, Turki berhadapan dengan Brazil. Pada saat jeda babak awal, Turki berada di negeri impian saat Hasan Sas membuka skor, tapi mereka segera dibawa kembali ke bumi saat Ronaldo menyamakan kedudukan beberapa saat setelah turun minum.

Dengan lima menit tersisa, tampaknya mereka akan mendapatkan poin bersejarah. Sampai kemudian, Rivaldo menjebloskan bola lewat tendangan pinalti.

Enam hari berselang, Turki menghadapi Kosta Rika, mereka wajib mengantongi point, bila tak mau angkat kaki lebih awal.

Dan tampaknya, doa-doa rakyat Turki sampai ke Incheon, pertandingan berakhir imbang 1-1.

Dan tibalah Turki melawan China, sambil berharap hasil Brazil vs Kosta Rika. Sekali lagi, Turki harus menang dan akan jauh lebih aman jika dengan selisih gol.

Dan Tuhan memberi izin bagi negara dengan simbol bulan sabit dan bintang itu untuk terus berjuang. Turki menang 3 gol tanpa balas atas China. Klasemen akhir, menempatkan mereka di urutan kedua, unggul selisih gol dari Kosta Rika.

Rintangan yang menanti adalah Jepang, Turki menapaki 16 besar dengan kepala tegak. Dan laga pada 18 Juni 2002 itu adalah hari yang akan selalu dikenang di oleh rakyat Turki, sebab gol tunggal Ümit Davala membuat Turki melangkah lebih jauh.

Turki tak kekurangan pahlawan. Di perempat final melawan Senegal giliran Ilhan Mansiz yang membuat sejarah.

Libero.id

Kredit: twitter.com/fifacom

Davala memainkan peran kunci dalam gol yang menentukan itu. Umpan silang dari di sisi kanan jatuh ke kaki Ilhan Mansiz.

Dengan gerakan refleks, dari jarak 6 meter ke mulut gawang, Mansiz menaruh bola di tiang dekat. Orang-orang sulit percaya, tapi  itu tak mengubah apapun, Turki berhak atas tiket semifinal. Dan mereka bakal kembali menghadapi Brazil.

Banyak suporter yang mengeluhkan jarak antar stadion, dan laga reborn itu akan berlangsung di daerah Saitama. Jaraknya dari Osaka hampir 330 mil, tapi atas nama cinta rakyat Turki rela juga menyambangi timnas mereka.

Sayangnya, itu adalah perjalanan yang menandai akhir dari 'dongeng'  Senol Günes dan anak buahnya. Ya, gol semata wayang Ronaldo di babak kedua memastikan tempat bagi Brasil di final Piala Dunia 2002.

Meski kalah, sebetulnya pada saat itu juga, Turki telah mengumumkan pada dunia : bahwa di atas lapangan hijau, selama bola masih bulat dan peluit panjang belum dibunyikan, semua bisa terjadi dan perjuangan adalah titik darah penghabisan. Pada tahun 2002, dengan darah kesultanan Utsmani yang mengalir di skuad mereka, Turki menggetarkan dunia lewat sepak bola.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network