Thomas Brolin dan Faustino Asprilla
Libero.id - Jika di era sekarang ada nama-nama pelatih yang memiliki kegemaran membangun skuad seperti Juergen Klopp, Pep Guardiola, Zinedine Zidane, atau Mauricio Pochettino; maka pada 1990-an ada sosok seperti Nevio Scala. Dia membangun tim dari nol untuk berjaya di Eropa.
Ketika aktif menjadi pemain, Scala memperkuat banyak tim papan atas Italia seperti AC Milan, Inter Milan, AS Roma, hingga Fiorentina. Scala adalah gelandang yang berwibawa dan penuh kharisma. Caranya bermain di lapangan membuat rekan-rekan tenang sekaligus menjadikan lawan panik.
Meski tidak pernah mendapatkan panggilan ke tim nasional Italia, Scala termasuk pemain yang memiliki sejumlah trofi membenggakan. Dia menjadi salah satu pesepakbola yang ikut membantu I Rossoneri menghadirkan trofi Serie A 1967/1968, Piala Champions 1968/1969, dan Piala Winners 1967/1968.
Setelah pensiun, Scala beralih profesi menjadi pelatih. Dia dikenal publik Italia sebagai sosok yang melambungkan Parma ke jajaran elite sepakbola Italia dan Eropa pada dekade 1990-an. Ketika itu, I Ducali meraih berbagai trofi lokal dan internasional plus dihuni banyak pesepakbola kelas satu.
Pelatih kelahiran Lozzo Atestino, 22 November 1947, itu menjadi juru taktik Parma pada 1989-1996. Pada masa tersebut, mereka diperkuat pemain-pemain top. Selain Brolin, Parma punya Marco Ballotta, Alessandro Melli, Lorenzo Minotti, hingga Faustino Asprilla. Setelah itu datang Gianfranco Zola, Luca Bucci, Roberto Mussi, Antonio Benarrivo, hingga Fernando Couto.
Hasil kolaborasi Scala dan para hebat itu telah membuat Parma sukses besar. Dalam kurun waktu singkat tersebut, para penghuni Stadio Ennio Tardini berjaya di Coppa Italia 1991/1992. Mereka mengalahkan Juventus dengan agregat 2-1.
Keberhasilan menggapai Coppa Italia musim itu membuat Parma memasuki masa kejayaan. Mereka melanjutkannya dengan memenangi Piala Winners 1992/1993. Pada pertandingan penentuan, Parma berjumpa Royal Antwerp dari Belgia. Laga digelar di Wembley dan mereka unggul 3-1.
Setelah Piala Winners, Piala Super Eropa juga berhasil dimenangi Parma pada 1993. Bermain dalam laga final dengan format home away, mereka kandas 0-1 dari AC Milan pada leg pertama. Tapi. Parma sukses membalikan kedudukan pada leg kedua lewat kemenangan 2-0.
Seusai dua gelar bergengsi di Benua Biru tersebut, Parma masih mendapat satu trofi prestisius di era Scala. Pada 1994/1995, mereka menjuarai Piala UEFA. Parma mengalahkan sesama klub Italia, Juventus, dengan agregat 2-1. Saat itu, La Vecchia Signora juga memiliki barisan pemain legendaris seperti Gianluca Vialli, Roberto Baggio, hingga Fabrizio Ravanelli.
"Kita mendapatkan pertandingan yang menarik melawan Juventus. Mereka tim terbaik di Italia dan memainkan sepakbola yang bagus. Tapi, kami bermain kolektif dan mampu membuat mereka tertekan. Kuncinya saat imbang di leg kedua," kata Zola saat itu, di situs UEFA.
Namun, keberadaan Scala bersama Parma harus berakhir. Pada 1996, dia meninggalkan Stadio Ennio Tardini untuk mencoba peruntungan di Perugia. Sayang, dia gagal. Scala lalu pergi ke Jerman dengan melatih Borussia Dortmund. Meski mendapatkan Piala Intercontinental 1997, karier Scala tidak panjang.
Sempat berkelana ke Besiktas di Liga Turki, Scala menemukan sentuhan midasnya saat bermukin di Ukraina dalam waktu singkat untuk melatih Shakhtar Donetsk. Selain mempersembahkan trofi Liga Ukraina dan Piala Ukraina 2001/2002, Scala juga meletakan dasar bagi Mircea Lucescu untuk membawa Shakhtar sukses di Eropa dengan meraih Piala UEFA 2008/2009.
Scala pensiun dari sepakbola pada 2004 setelah gagal bersama Spartak Moscow. Dia pulang ke kampung halamannya di Lozzo Atestino. Di kota itu, dia menjadi anggota dewan kota sejak 2007 setelah gagal dalam pemilihan sebagai walikota. Saat itu, Scala hanya memperoleh 29% suara atau kalah dari Luca Ruffin, yang memperoleh 71% suara warga Lozzo Atestino.
Selain politik, Scala juga punya aktivitas di media. Dia aktif sebagai pakar, analis, dan pengamat sepakbola untuk Rai Radio 1. Dia secara teratur berkomentar tentang pertandingan-pertandingan Serie A dan memberikan jawaban untuk komentar telepon langsung dan pertanyaan pada acara olahraga bertajuk Domenica Sport.
Namun, dua pekerjaan itu ternyata hanya sesaat ditekuni Scala. Panggilan sebagai pesepakbola membuat dirinya kembali ke lapangan. Pada 2010, dia sempat dikaitkan melatih Motherwell FC di Skotlandia dan AS Roma. Tapi, ternyata kabar itu tidak terealisasi.
Scala baru benar-benar kembali ke sepakbola pada musim panas 2015. Saat itu, dia dinobatkan sebagai presiden Parma yang didirikan kembali setelah klub aslinya bangkrut. Parma berhasil kembali ke liga profesional pada musim itu dan meraih promosi dari Serie D ke Serie C pada 17 April 2016.
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini