Kisah Foppe de Haan, Eks Pelatih Kelas Dunia Timnas U-23 yang Jarang Disebut

"Seperti Luis Milla, dia pernah membawa negaranya juara Euro U-21. Melahirkan Basten dan Huntelaar. Membawa Tony Sucipto dkk ke Belanda."

Biografi | 10 January 2021, 09:18
Kisah Foppe de Haan, Eks Pelatih Kelas Dunia Timnas U-23 yang Jarang Disebut

Libero.id - Selain Luis Milla, Indonesia sempat memiliki pelatih kelas dunia yang sukses menjuarai Euro U-21 bersama negaranya. Dia adalah Foppe de Haan. Tapi, beda dengan Milla, banyak suporter Indonesia lupa bahwa PSSI pernah mempekerjakan pelatih asal Belanda tersebut.

Lahir di Lippenhuizen, 26 Juni 1943, De Haan tidak memiliki karier yang bagus sebagai pemain. Dia menghabiskan waktu mudanya di klub-klub kecil seperti SV Thor, GAVC, VV Heerenveen, Zuid Eschmarke, Akkrum, hingga Enschedese Boys.

Gagal sebagai pemain, De Haan banting setir menjadi pelatih. Dia memulai karier barunya pada 1974 dengan menukangi VV Akkrum dalam usia 31 tahun. Setelah 2 tahun, Haan ditunjuk sebagai pelatih tim junior Heerenveen sebelum menjadi pelatih Drachtster Boys pada 1978, ACV (1980), dan Steenwijk (1983).

Pada 1985, De Haan kembali bergabung dengan Heerenveen sebagai asisten pelatih. Dia akan menghabiskan 20 tahun di klub itu sehingga menjadi waktu terlama seorang pelatih bekerja untuk sebuah klub sepakbola profesional di Belanda. Lalu, De Haan dijadikan pelatih kepala pada 1992 dan pada 1993 memimpin klubnya kembali ke Eredivisie.

Di kasta tertinggi sepakbola Belanda, De Haan membawa Heerenveen finish runner-up pada 1999/2000 sehingga lolos ke Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah. Kemudian, pada 2003, De Haan menerima Sport Award dan pada 10 Mei 2004 dinobatkan sebagai Knight of the Order of Orange-Nassau setelah laga terakhirnya sebagai pelatih Heerenveen.

Setelah sukses bersama Heerenveen, De Haan diminta Asosiasi Sepakbola Belanda (KNVB) untuk menjadi pelatih junior. Dia dipercaya menukangi Belanda U-21. Hasilnya, Jong Oranje menjuarai Euro U-21 dua kali, yaitu 2006 dan 2007.

Keberhasilan berjaya di Eropa membuat Belanda lolos ke Olimpiade 2008. Berganti menjadi Belanda U-23, De Haan menjadi komandan perang pada turnamen bergengsi di Beijing tersebut.

Jong Oranje tampil bagus di fase grup. Tapi, mereka bertemu Argentina di perempat final dan kalah lewat perpanjangan waktu. Saat itu, Argentina dibela Lionel Messi. Merekalah yang akhirnya meraih medali emas setelah mengalahkan Nigeria di final. Hingga sekarang, itu menjadi gelar terakhir La Pulga untuk negaranya.

Nah, di sela-sela melatih Belanda U-21 dan U-23, De Haan diminta PSSI menukangi timnas U-23. PSSI menunjuk De Haan sebagai "penasehat teknis" dengan Bambang Nurdiansyah sebagai pelatih kepala. Tapi, secara de facto De Haan yang memiliki peran lebih besar dibanding Bambang. Dialah yang menentukan starting line-up, strategi bermain, hingga lokasi pemusatan latihan.

Saat itu, De Haan melaksanakan TC di Belanda. Mengambil lokasi latihan Heerenveen, 23 pemain dibina untuk diterjunkan ke Asian Games 2006. Mereka bermarkas di Drachten dan bermukim pada Juni-September 2006. Kabarnya, PSSI menggelontorkan dana hingga Rp 28 miliar. Itu belum termasuk gaji De Haan dan asistennya.

Pemain-pemain seperti Ferry Rotinsulu, Boby Satria, Ahmad Bustomi, hingga Tony Sucipto digembleng dengan menu latihan yang tak ringan. Fisik benar-benar menjadi fokus De Haan saat itu. Mereka juga melahap sejumlah uji coba melawan Belanda U-20 dan Heerenveen B.

Sayang, hasilnya mengecewakan. Ketika tampil di ajang yang sebenarnya di Qatar, Garuda Muda hancur lebur. Hasil pembinaan ala Belanda yang diajarkan De Haan sama sekali tidak terlihat pada pertandingan-pertandingan yang dijalani. Bahkan, Indonesia harus tersingkir dini di Putaran I. Itu adalah fase kualifikasi sebelum tampil di babak utama.

Tergabung di Grup B bersama Irak, Suriah, dan Singapura, Garuda Muda menjalani laga pertama di Al-Ahli Stadium, Doha, 18 November 2006, dengan menyedihkan. Indonesia dibantai negara yang sedang berperang, Irak, 0-6. Lalu, dihajar Suriah 1-4 di pertandingan kedua dan imbang 1-1 dengan Singapura. Indonesia menjadi juru kunci grup.

Tentu saja kegagalan memunculkan kambing hitam. PSSI menyalahkan De Haan. Sebaliknya, De Haan menuduh PSSI tidak beres. "Di sana, ada kalangan yang mempertaruhkan prestise di timnas. Meski timnya lemah, mereka tidak mau tahu. Yang penting hasilnya harus bagus," ujar De Haan kepada Radio Netherlands Worldwide.

"Saat timnya gagal, yang lebih mudah disalahkan adalah pelatih supaya dia sendiri terhindar. Saya tidak bisa memanggil pemain yang saya inginkan. Kemungkinan ada pengaruh kolusi atau nepotisme. Sebab, belakangan kami dengar ada pemain-pemain yang lebih bagus yang tidak terpanggil," tambahnya.

Otomatis, pengakuan De Haan membuat PSSI marah. Surat pemutusan hubungan kerja dilayangkan. De Haan tidak panik karena pekerjaan aslinya bersama Jong Oranje sudah menanti.

De Haan tetap bekerja sebagai pelatih hingga akhir musim 2008/2009 ketika kontrak kerjanya dengan KNVB berakhir. Setelah itu dia kembali bekerja sebagai penasihat senior di  Heerenveen, sebelum ditunjuk sebagai pelatih kepala di klub Afrika Selatan, Ajax Cape Town.

Dari Benua Hitam, De Haan diminta mengelola timnas Tuvalu yang tampil pada event olahraga antarnegara di Oceania bertajuk Pacific Games 2011. De Haan meninggalkan jabatannya setelah turnamen itu berakhir untuk bergabung kembali ke Akademi Heerenveen.

Pada 20 Oktober 2015, De Haan menjadi pelatih sementara Heerenveen menggantikan Dwight Lodeweges, yang mengecewakan di awal musim 2015/2016. Di bawah De Haan, tim memenangkan 4 dari 6 pertandingan pertama mereka, serta seri dan kalah 1 kali.

Saat ini De Haan masih aktif di sepakbola. Selain membantu mendidik para pemain muda Heerenveen, dia juga terjun ke politik dengan bergabung bersama Partij van de Arbeid. Itu adalah Partai Buruh yang memiliki 9 kursi di DPR dan 75 jabatan walikota di seluruh Belanda.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network