Kredit: instagram.com/paolomaldini dan twitter.com/persebayaupdate
Libero.id - Mengistirahatkan nomor punggung pemain untuk selamanya sudah menjadi tradisi di sepakbola sejak lama. Bukan hanya di Eropa atau Amerika, kebijakan tersebut juga diambil beberapa klub sepakbola di Liga Indonesia.
Tradisi ini awalnya diterapkan di Liga Sepakbola Amerika Utara (NASL). Kompetisi di Amerika Serikat dan Kanada itu sejak 1967 telah melawan pakem FIFA dengan memberi nomor punggung tetap kepada pemainnya. Itu bertentangan dengan aturan FIFA yang mewajibkan nomor punggung 1-11 di starting line-up.
Lalu, pada 1977 ketika Pele meninggalkan New York Cosmos, inisiatif untuk mengistirahatkan nomor punggung 10 muncul. Ide itu ditanggap manajemen Cosmos dengan mempensiunkan jersey Pele. Itu adalah pertama kalinya klub sepakbola mempensiunkan nomor punggung.
Langkah NASL kemudian diikuti Meksiko. Pada 1980-an, Primera Division juga memutuskan nomor punggung permanen untuk para pemain. Selanjutnya, tren tersebut berkembang ke seluruh dunia pada pertengahan 1990-an sehingga memungkinkan pensiunnya sebuah nomor punggung.
Ada banyak klub yang memutuskan memarkir nomor punggung dengan sejumlah alasan. Dalam beberapa kasus, seperti Jason Mayélé, Vittorio Mero, Marc-Vivien Foé, Miklós Fehér, Ray Jones, Dylan Tombides, François Sterchele, David di Tommaso, Antonio Puerta, Besian Idrizaj, Piermario Morosini, atau Davide Astori, nomor telah pensiun untuk menghormati pemain yang meninggal di lapangan.
Ada lagi klub Norwegia, Fredrikstad, yang mempensiunkan nomor punggung Dagfinn Enerly menyusul kecelakaan di lapangan yang membuat lumpuh. Di Inggris, hanya jersey Bobby Moore, Jack Lester, dan Jude Bellingham yang pensiun karena dedikasi kepada klub dibandingkan dengan insiden tragis.
Begitu pula dengan kostum No.25 milik Gianfranco Zola di Chelsea yang belum pernah digunakan lagi sejak pergi pada 2003. Sementara jersey No.3 di AC Milan milik Paolo Maldini dihidupkan kembali untuk diberikan kepada sang putra.
Tim nasional Argentina, Ekuador, dan Kamerun telah berencana untuk menghentikan pemakaian nomor Diego Maradona (10), Christian Benítez (11), serta Marc-Vivien Foé (17) di ajang besar seperti Piala Dunia. Tapi, permintaan itu ditolak karena regulasi. Nomor itu diizinkan pensiun sementara di laga-laga uji coba atau kualifikasi.
Aturan itu ternyata tidak hanya dilaksanakan FIFA. Beberapa konfederasi juga menerbitkan aturan untuk kompetisi antarklub di benua tersebut yang mewajibkan nomor punggung 1-25. Contohnya di CAF (Afrika) dan CONMEBOL (Amerika Selatan). CONCACAF (Amerika Utara, Tengah, dan Karibia), AFC (Asia), OFC (Oceania), dan UEFA (Eropa) tidak melakukannya.
Akibat peraturan itu, klub "dipaksa" menghidupkan kembali nomor yang sudah dipensiunkan seperti yang dilakukan Universitario de Deportes dan Flamengo saat merumput di Copa Libertadores atau Copa Sudamericana.
Selain klub-klub Amerika atau Eropa, tradisi mempensiunkan nomor punggung juga terjadi di Indonesia. Meski belum banyak, ada sejumlah tim yang mengistirahatkan nomor punggung tertentu untuk menghormati pemiliknya yang sudah meninggal saat aktif bermain. Berikut ini 4 pemain tersebut:
1. Eri Irianto (Pesebaya Surabaya, 19)
Pada 1990-an, Eri Irianto dikenal sebagai pemain berbakat. Muncul pertama kali bersama Petrokimia Putra, pria kelahiran Sidoarjo tersebut mencapai kesuksesan bersama Persebaya Surabaya. Dia juga sempat bermain di Malaysia bersama Kuala Lumpur FA.
Eri juga menjadi bintang tim nasional Indonesia dengan koleksi 8 gol dari 16 pertandingan pada 1995-1997. Dia membela skuad Garuda di SEA Games 1995 di Chiang Mai dan Piala AFF 1996 di Singapura.
Sayang, karier Eri berakhir duka. Pada 3 April 2000, Persebaya menjamu PSIM Yogyakarta di stadion lama, Gelora 10 November, Surabaya. Pertandingan sebenarnya berjalan biasa saja. Lalu, dalam sebuah momen, terjadi benturan antara Eri dengan pemain PSIM asal Gabon, Samson Noujine Kinga.
Merasa ada yang kurang nyaman dengan anggota tubuhnya setelah benturan, Eri memberikan isyarat untuk ditarik keluar lapangan. Permintaan itu dikabulkan dengan masuknya Nova Arianto. Lalu, tim medis Persebaya melarikan Eri ke RSUD DR Soetomo, Surabaya.
Ternyata, itu menjadi penampilan terakhir Eri di sepakbola. Setelah menjalani berbagai perawatan, Eri akhirnya mengembuskan napas terakhir. Serangan jantung disinyalir sebagai faktor utama yang menyebabkan Eri meninggal dunia.
Sebagai bentuk penghormatan kepada jasa-jasa Eri untuk Persebaya, manajemen Bajul Ijo memutuskan mempensiunkan nomor punggung 19. Mes Persebaya di Karangayam juga diberi nama "Wisma Eri Irianto". Setiap tahun, para pendukung Bajul Ijo mengenang kepergian Eri dengan berdoa bersama di markas klub.
2. Diego Mendieta (Persis Solo, 33)
Karier Diego Mendieta di sepakbola Indonesia sangat tragis. Membela Persis Solo di tengah-tengah dualisme kompetisi dan konflik tak berujung di PSSI, pemain asal Paraguay itu harus terlunta-lunta. Mendieta harus menghebuskan napas terakhir dengan cara menyedihkan tanpa kehadiran keluarga pada 3 Desember 2012.
Mendieta meninggal karena penyakit yang disebut cytomegalovirus. Penyakit yang di Indonesia dikenal sebagai herpes itu sebenarnya bisa disembuhkan. Tapi, manajemen klubnya saat itu (Persis IPL) menolak membayar biaya perawatan Mendieta di rumah sakit hingga dibawa pulang dan akhirnya meninggal.
Klub juga berhutang kepada Mendieta sekitar USD12.500 dalam bentuk gaji. Bahkan, permintaan Mendieta untuk dibelikan tiket pesawat agar bisa pulang ke Paraguay agar mendapatkan perawatan dari keluarganya juga tidak dituruti. Akibatnya, Persis dan PSSI banjir kecaman dari komunitas sepakbola internasional. Federasi Internasional Pesepakbola Profesional (FIFPro) menyebutnya sebagai "aib bagi sepakbola".
Ketika dualisme yang terjadi di Persis maupun PSSI menghilang, penghormatan kepada Mendieta dilakukan. Selain tunggakan gaji dibayarkan, manajemen laskar Sambernyawa juga mengistirahatkan nomor punggung 33 milik pria kelahiran 13 Juni 1980 itu.
3. Choirul Huda (Persela Lamongan, 1)
Choirul Huda adalah pesepakbola yang loyak kepada Persela Lamongan. Bermain di Stadion Surajaya, Lamongan, sejak junior, pemain yang berposisi sebagai kiper itu meninggal dunia saat membela Persela di lapangan melawan Semen Padang, 15 Oktober 2017.
Awalnya, pertandingan berjalan biasa. Dalam sebuah momen di area pertahanan Persela, Huda dan Ramon Rodrigues mencoba mengamankan bola. Tapi, keduanya justru bertabrakan. Kapten Persela itu langsung dibawa ke RSUD Dr Soegiri Lamongan setelah tidak sadarkan diri di pengujung babak pertama.
Tim dokter yang menangani menyatakan Huda mengalami trauma benturan dengan sesama pemain sehingga terjadi apa yang dalam bahasa medis disebut "henti napas dan henti jantung". Langkah yang diambil tim medis lapangan dengan pembebasan jalan napas dan bantuan napas sudah tepat. Kemudian, saat di ambulans Huda juga ditangani secara medis untuk bantuan napas maupun untuk penanganan henti jantung sampai tiba di UGD.
Ketika tiba di UGD, tim dokter juga telah lakukan pemasangan alat bantu napas yang sifatnya permanen. Dokter melakukan inkubasi dengan memasang alat semacam pipa napas. Itu dilakukan untuk menjamin oksigen bisa 100% masuk ke paru Huda. Dokter melakukan pompa otak dan jantung. Sempat ada respons. Tapi, kondisnya semakin menurun.
Dokter juga menyebut sesuai analisis awal ada benturan di dada dan rahang bawah Huda. Ada juga kemungkinan trauma dada, trauma kepala, dan trauma leher yang dialaminya. Di dalam tulang leher itu ada sumsum, tulang yang menghubungkan ke batang otak. Di batang otak itu ada pusat-pusat semua organ vital, pusat denyut jantung, dan napas. Itu bisa menyebabkan Huda henti jantung dan henti napas.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Huda, Persela memutuskan mempensiunkan nomor punggung 1 miliknya. Setiap tahun, kematian Huda dikenang oleh ribuan pendukung Laskar Joko Tingkir.
4. Achmad Kurniawan (Arema, 47)
Achmad Kurniawan biasa disapa AK47. Sebagai kiper, pria kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1979, tersebut tidak hanya bermain untuk Arema. Sebelumnya dia sempat memperkuat Persita Tangerang, Persik Kediri, hingga Semen Padang. Tapi, takdir hidupnya berakhir di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Kisah duka AK dimulai pada 29 December 2016. Saat itu dia dilarikan ke IGD RS Saiful Anwar, Malang, karena koma dengan dugaan awal serangan jantung dan gula darah yang tinggi. Sempat membaik sebentar, kondisi AK terus menurun tanpa kendali hingga menghembuskan napas terakhir pada 10 Jauari 2017.
Untuk menghormati jasa AK untuk Arema, manajemen Singo Edan memutuskan mempensiunkan nomor punggung 47. Singo Edan berterima kasih kepada AK karena bermain dalam dua periode, yaitu 2006-2008 dan 2010-2017.
Profil Frank Wormuth, Pria Jerman yang Akan Bantu Bima Sakti di Piala Dunia U-17 2023
Semoga berhasil menjalankan tugas.Lawan Pemuncak Klasemen, Persik Kediri Malah Kehilangan 3 Pemain Andalan
Pertandingan yang diramal akan menarik.Bertandang ke Markas Sendiri, Begini Persiapan Bali United Hadapi Arema FC
Pertandingan yang cukup unik bagi Bali United.Beda dengan Piala Dunia Pria, FIFA Sebut Piala Dunia Wanita Justru Rugi
Piala Dunia Wanita 2023 akan kick-off dalam hitungan hari.Unik! 5 Pemain Timnas Indonesia Bakal Dilatih Park Hang-seo Jika Gabung Persib Bandung
Semuanya baru sebatas rumor. Bisa benar, bisa salah.
Opini