Libero.id - 1 Februari 2012, tidak hanya dikenal sebagai hari berkabung bagi sepakbola Mesir. Hari yang dikenal sebagai Tragedi Port Said itu menjadi hari duka bagi sepakbola di seluruh dunia.
Port Said adalah kota di timur laut Mesir yang membentang sekitar 30 kilometer di sepanjang pantai Laut Mediterania, sebelah utara Terusan Suez. Dengan perkiraan populasi 610 ribu jiwa, kota ini didirikan pada 1859 selama pembangunan Terusan Suez.
Seperti kota-kota lain di Mesir, warga Port Said juga menggilai sepakbola. Kota ini menjadikan Al Masry sebagai klub utama. The Boss of the Canal masih tercatat sebagai peserta Liga Premier Mesir. Mereka belum pernah juara liga. Pencapaian terbaik Al Masry adalah Piala Mesir 1 kali dan runner-up 9 kali.
Secara tradisional, Al Masry punya rivalitas dengan klub-klub asal Kairo seperti Al Ahly dan Zamalek. Salah satu yang paling tragis dan tidak mungkin dilupakan terjadi pada 1 Februari 2012. Itu hanya 1 tahun dari Revolusi 2011 yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak.
Ketika hari pertandingan, ribuan suporter dari kedua kubu hadir di Al Masry Club Stadium, Port Said. Kick-off ditunda 30 menit karena fans Al-Masry menginvasi lapangan. Al Ahly mengirimkan 1.200 suporter dan Al Masry didukung 13.000 orang. Diperkirakan stadion dipenuhi 15.000 orang.
Eskalasi semakin meningkat pada babak kedua. Meski kemenangan 3-1 berhasil dipetik, pendukung tuan rumah justru menyerbu lapangan. Puncaknya, di akhir laga saat ribuan orang berlari ke lapangan disertai lemparan botol dan kembang api ke kubu tim tamu.
Dalam huru-hara itu, 74 orang tewas dan lebih dari 500 orang terluka. Beberapa ditikam dan dipukul dengan benda keras. Sementara yang lain dilempar dari tribun atau mati dalam penyerbuan saat mereka mencoba melarikan diri melalui gerbang stadion yang tertutup rapat.
Dalam barisan itu terdapat Pelatih Al Ahly, Manuel José, yang ditendang dan dipukuli fans Al Masry saat berusaha kembali ke ruang ganti. Dia kemudian dibawa ke kantor polisi. "Di ujung utara stadion ada spanduk yang bertuliskan kami akan membunuh kalian semua. Gerbang tempat suporter kami dikunci. Suporter kami dibunuh di ruang ganti," kata Jose.
Hal senada dibenarkan kapten Al Masry, Karim Zekri, dan saudaranya mantan pemain Al Masry, Mohamed Zekri. "Polisi, tentara, dan mantan rezim menghasut pembantaian tersebut. Itu sudah direncanakan dengan matan," kata Zekri bersaudara.
Rekaman video menunjukkan polisi tidak mau menghalau para penyerang. Saksi mata mengatakan bahwa polisi "tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya", dan "menolak membuka gerbang yang tertutup" untuk memungkinkan orang melarikan diri dari kerusuhan.
"Saya sangat terkejut dan sedih mengetahui malam ini bahwa sejumlah besar suporter sepakbola telah meninggal atau cedera setelah pertandingan di Port Said. Pikiran saya tertuju pada keluarga mereka yang telah kehilangan nyawa. Ini adalah hari hitam untuk sepakbola. Situasi bencana seperti itu tidak terbayangkan dan seharusnya tidak terjadi," kata Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter.
Kepala biro Voice of America di Mesir menerima laporan bahwa polisi dengan sengaja membuka pembatas stadion yang memisahkan pendukung Al Ahly dengan Al Masry. Saksi lain mengatakan bahwa banyak orang yang dimobilisasi diizinkan masuk ke stadion tanpa tiket.
The New York Times melaporkan faktor utama dalam kerusuhan itu adalah pembalasan dari pihak berwenang terhadap Ultras Ahlawy, yang secara aktif terlibat dalam Revolusi 2011. Nyanyian revolusioner antipemerintah selalu hadir di hampir semua pertandingan Ahly di Liga Premier Mesir.
"Sudah banyak diketahui bahwa keadaan seputar kerusuhan sangat mencurigakan. Pembantaian itu terjadi pada peringatan 1 tahun penyerbuan Tahrir Square oleh sekelompok kontrarevolusioner pendukung Mubarak. Ini kerusuhan politik memanfaatkan sepakbola," ujar Kolumnis ESPN, Brent Latham.
Menyusul insiden tersebut, aktivis menuduh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa dan sisa-sisa rezim lama yang masih dalam posisi kekuasaan penyebab. Mereka menyatakan Tragedi Port Said sebagai "kontra revolusioner".
Apalagi, kekerasan di Port Said terjadi pada malam peringatan pertama dari apa yang kemudian dikenal sebagai "The Battle of the Camel". Itu adalah insiden ketika preman bersenjata menyerbu pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir, Kairo, dengan menunggang unta.
Sebagai reaksi langsung terhadap bencana tersebut, Mohamed Aboutrika memutuskan pensiun, bersama Mohamed Barakat dan Emad Moteab. Sementara José dengan serius mempertimbangkan untuk meninggalkan Mesir dan pensiun dari kepelatihan sepakbola.
Dengan 72 pendukung Al Ahly meregang nyawa sia-sia dan 500 terluka, serta atas desakan komunitas internasional, Pengadilan Mesir mendakwa 73 orang, termasuk 9 petugas polisi dan 2 pejabat Al Masry Port Said. Mereka didakwa terlibat dalam pembunuhan 72 fans Al Ahly.
Pada 26 Januari 2013, Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada 21 terdakwa. Vonis terhadap 52 terdakwa lainnya ditunda hingga 9 Maret 2013. Lalu, 52 terdakwa lain menerima hukuman beragam. Total, 5 orang menerima hukuman seumur hidup, 10 orang 15 tahun, termasuk 2 petugas polisi. Lalu, 6 terdakwa dihukum 10 tahun, 2 orang 5 tahun, dan 1 orang 1 tahun. Sementara 28 terdakwa lainnya dibebaskan, termasuk 7 petugas polisi.
Baik terpidana maupun jaksa mengajukan banding atas putusan tersebut. Pada 6 Februari 2014, Mahkamah Agung Mesir memerintahkan persidangan ulang terhadap 64 terdakwa dan menolak banding 9 terdakwa yang dijatuhi hukuman 1-10 tahun.
Pada 19 April 2015, 11 terdakwa dijatuhi hukuman mati pendahuluan dalam persidangan ulang. Pengadilan menunda putusan terhadap 53 terdakwa yang tersisa. Pada tanggal 9 Juni 2015, pengadilan mengkonfirmasi 11 hukuman mati dan membebaskan 21 terdakwa.
Dari 32 terdakwa yang tersisa, 10 menerima hukuman 15 tahun, 9 orang 10 tahun, dan 13 orang 5 tahun, termasuk 2 petugas polisi yang awalnya dijatuhi hukuman 15 tahun dan 1 pengurus Al Masry, Mohsen Sheta, yang sebelumnya dibebaskan.
Pada 23 Agustus 2015, pengadilan menguatkan hukuman mati yang dijatuhkan in absentia kepada 1 terdakwa dan membebaskan 5 dari 6 terdakwa lainnya yang dijatuhi hukuman penjara 10 tahun secara in absentia. Tergugat yang tersisa mendapatkan pengurangan hukuman 10 tahun in absentia menjadi 5 tahun pada 15 November 2015.
Sayang, hingga hari ini aktor intelektual kerusuhan itu belum terungkap. Semua yang dijatuhi hukuman adalah para pelaksana lapangan. Mereka mengaku hanya terpancing emosi akibat rivalitas Al Ahly dan Al Masry di sepakbola tanpa pernah tahu aksi itu telah ditunggangi.
Profil Frank Wormuth, Pria Jerman yang Akan Bantu Bima Sakti di Piala Dunia U-17 2023
Semoga berhasil menjalankan tugas.Lawan Pemuncak Klasemen, Persik Kediri Malah Kehilangan 3 Pemain Andalan
Pertandingan yang diramal akan menarik.Bertandang ke Markas Sendiri, Begini Persiapan Bali United Hadapi Arema FC
Pertandingan yang cukup unik bagi Bali United.Beda dengan Piala Dunia Pria, FIFA Sebut Piala Dunia Wanita Justru Rugi
Piala Dunia Wanita 2023 akan kick-off dalam hitungan hari.Unik! 5 Pemain Timnas Indonesia Bakal Dilatih Park Hang-seo Jika Gabung Persib Bandung
Semuanya baru sebatas rumor. Bisa benar, bisa salah.
Opini