Kisah Alessandro Nesta, Bek Italia yang Metode Bertahannya Diadopsi Banyak Negara

"Gaya bertahan Alessandro Nesta sempat diadopsi sebagai seni dalam bermain sepak bola."

Biografi | 01 March 2021, 20:00
Kisah Alessandro Nesta, Bek Italia yang Metode Bertahannya Diadopsi Banyak Negara

Libero.id - Alessandro Nesta adalah sosok hebat yang mempengaruhi sepak bola Italia melalui konsistensi permainannya. Nesta mencakup semua aspek positif sepak bola, terutama meninggalkan warisan prestasi hebat dalam bertahan yang luar biasa.

Sepanjang kariernya, Nesta begitu dipuji saat memperkuat Lazio dan AC Milan. Karakter kuat dalam bertahan membuat pria kelahiran Roma, 19 Maret 1976, tersebut begitu disegani.

Namun, performa terbaiknya terwujud saat membela panji I Rossoneri. Kisahnya yang terkenal saat Milan menghadapi Lazio di pentas Serie A.

Milan sempat tertinggal dua gol dari Lazio, namun kemudian Milan melakukan comeback hingga menyamakan kedudukan menjadi 2-2 pada detik-detik terakhir pertandingan saat itu. Lazio sempat melakukan serangan dengan menempatkan bola melambung di antara dua bek tengah. Itu membuat kiper Christian Abbiati sulit mengantisipasi datangnya bola.

Kiper veteran tersebut melewatkan bola yang seharusnya diantisipasi, bola melambung menuju Djibril Cisse yang sudah siap di udara untuk menanduk datangnya bola. Namun, Nesta menghalau pergerakannya setelah mengimbangi duel udara. Bisa dibilang Nesta menyelamatkan Milan sepersekian detik dari kekalahan.

Performa Cisse seperti monster ketika itu, laksana petaka yang siap menenggelamkan Milan ke dalam jurang kekalahan. Tapi, Nesta berhasil mengimbangi pola pemain yang intens saat itu, di mana hanya dalam waktu sedetik bola menyerang gawang Milan. Mantan pemain internasional Italia itu memanfaatkan peluangnya, meskipun secara umum Nesta memang tidak muda lagi. Namun, kemampuan hebatnya saat melakukan duel di udara sangat luar biasa. Nesta secara sigap menghadang bola yang datang mengancam gawang I Rossoneri.

Nesta menuturkan tak mungkin melupakan laga tersebut, karena Lazio adalah mantan klubnya dahulu sebelum dirinya bergabung bersama Milan. Nesta menjadi bagian I Rossoneri ketika membawa Milan menyingkirkan Lazio dari panggung juara Serie A.

Banyak yang begitu mengidolakan hingga mengekspresikan pemikiran dan kecintaan mereka tentang 'Sandro'  Nesta. Euforia itu ramai dipergunjingkan hingga menjadi populer dan menggema di langit Italia.

Dia mungkin paling dikenal sebagai pemain AC Milan, tapi klub berwarna biru dari tanah Roma, Lazio, merupakan rumah pertamanya saat pertama kali dirinya merumput di tanah Italia. Bisa dikatakan Lazio adalah cinta pertama Nesta.

Maklum, Nesta adalah lulusan akademi Lazio. Dia menghabiskan 17 tahun bersama I Biancoceleste, bahkan mengenakan ban kapten selama enam tahun. Berkat kerja kerasnya, dia sangat diperhitungkan di antara bek legendaris Serie A saat itu.

Bergaul dengan orang-orang seperti Paolo Maldini dan Fabio Cannavaro, pengaruh Nesta di tim Lazio era 1990-an perlahan mendominasi secara bertahap . Dia sangat konsisten dan begitu tampak mengesankan.

Pada 1997, dia hampir selalu hadir di seluruh pertandingan. Penampilan defensifnya selalu sangat dihargai oleh para penggemar, dan hierarki klub mengakui kemajuannya dengan menjadikannya kapten tahun itu.

Kehebatan terbesar dari permainan Sandro adalah pengorbanan pribadinya. Mengapa? Karena Nesta selalu bermain total demi kemenangan tim, meskipun dirinya dalam kondisi lelah. Usaha kerasnya ini memang mengantarkan dirinya menjadi sosok pemain terbaik di dunia, namun sulit untuk menjadi nomor satu. Dirinya kerap kali melupakan kondisinya sendiri, sehingga pada akhirnya mengakibatkan banyak cedera di kemudian hari dalam kariernya.

Hanya ketika Nesta bergabung dengan Milan, segalanya dapat berkembang. Masih bisa diperdebatkan apakah dia rela meninggalkan Lazio, tapi masalah keuangan yang dihadapi klub asal Roma itu memberi mereka sedikit pilihan. Nesta bergabung dengan Milan dengan biaya transfer lebih dari 30 juta euro.

Untuk tim Milan modern, angka itu tampak konyol. Tapi, Silvio Berlusconi mampu membeli kemewahan seperti itu untuk kerajaan sepak bolanya, dan tidak diragukan lagi Nesta layak untuk diinvestasikan.

Namun, tampaknya harga tersebut sangat membebani hati nurani Nesta. Bukan karena dia bermain buruk untuk Milan, tapi jauh dari anggapan itu. Nesta terbebani karena tekanan harga terhadap dirinya harus selalu dibuktikan dengan performa terbaik tanpa henti.

Selama waktunya di San Siro, Nesta bertanding dengan performa dan konsistensi sebaik mungkin, memberikan semua yang dia bisa di lapangan dan menjaga karakter rendah hati di luar sepak bola. Dengan sikapnya tersebut, Nesta telah menunjukkan bagaimana seharusnya seorang pesepak bola profesional bersikap.

Nesta menggunakan nomor punggung 13 yang dia kenakan di Lazio dan masuk ke pertahanan Milan dengan mulus, bermitra dengan Maldini untuk sebagian besar musim 2002/2003. Dia memainkan pertandingan paling banyak dengan seragam Milan di musim pertamanya, sukses berkontribusi pada 48 kesempatan terciptanya gol untuk Milan.

Pada 2006 dan 2008, dia tidak akan pernah bermain secara konsisten lagi karena dia menderita beberapa cedera serius pada tahun-tahun tersebut. Dia mengalami cedera punggung yang membuatnya hanya tampil sekali sepanjang musim.

Di lapangan, dia bersemangat dan berbicara lebih banyak dalam waktu 90 menit kemudian. Bahkan, dia akan berlatih selama seharian. Saat memasuki usia akhir 20-an, Nesta mulai menegaskan dirinya sebagai pemimpin di ruang ganti sambil tetap mempertahankan sikap tenang dan tabah. Dia berperan penting dalam memastikan lini belakang Milan tetap kokoh dalam mengejar trofi Liga Champions.

Di musim pertamanya, dia membantu rekan satu timnya menahan Juventus dalam seluruh pertandingan ditambah waktu tambahan. Dia menyebut kemenangan atas raksasa Turin sebagai momen terbesar dalam kariernya, terutama karena dia mampu mengubah atmosfer permainan menjadi lebih nyaman untuk Milan selama adu penalti.

Sebenarnya, masuk akal bahwa ini adalah puncak kariernya. Pasalnya, dia kurang berperan dalam kemenangan Liga Champions pada 2007. Pada saat itu, Nesta telah mencapai puncak kemampuannya sebagai pemain sepak bola setelah menderita berbagai masalah cedera. Pikiran Nasta seringkali terbebani dengan label harganya 30 juta euro saat dirinya tidak bisa berkontribusi penuh untuk tim saat cedera.

Namun, terlepas dari kondisi cederanya sebagai alasan dirinya harus pensiun, Nesta berjuang dengan mengorbankan tubuhnya sendiri dan mulai menunjukkan mengapa Milan rela memboyong bek tersebut dengan mahar yang fantastis. Itu bukan hanya tentang kualitas umumnya, itu adalah komitmen dan kesetiaannya terhadap klub, tanpa pikir pancang Milan membelinya. Setelah musim yang buruk dihabiskan di dalam dan di luar meja operasi, Nesta kembali ke lapangan pada 2009.

Dalam tiga tahun terakhirnya di Serie A, dia menyaksikan kepergian para pesepak bola hebat modern. Salah satunya Maldini yang mengakhiri kemitraannya dengan Nesta setelah gantung sepatu dan orang-orang seperti Kakha Kaladze dan Massimo Oddo pergi tak lama kemudian. Dia juga menghabiskan waktunya untuk mengembangkan salah satu bek tengah terbaik dunia, Thiago Silva, yang tetap berhutang budi kepada orang Italia itu karena menjadikannya anak didiknya di Milan.

Pemain berdarah Brasil itu adalah salah satu dari sedikit yang mendapatkan pemahaman dengan Nesta sebagai mentornya di lapangan. Dia ingat pertandingan persahabatan pertamanya dengan Milan, di mana bek veteran itu tidak berhenti berbicara, memberinya nasehat, dan instruksi sampai Silva mengeluh lucu tentang dirinya yang sakit kepala karena mendengar ocehan mentornya tersebut.

Bersama-sama, keduanya akan menjadi pemain dengan kemampuan pertahanan terbaik selama musim 2010/2011, hanya kebobolan 24 gol dalam 38 penampilan, menjadi kemitraan yang tak ternilai saat I Rossoneri mengangkat scudetto ke-18.

Terlepas dari kenyataan bahwa Nesta memainkan sepak bola jauh lebih sedikit daripada Silva, itu adalah penampilan terbanyak yang dia buat sebelum cedera punggungnya yang mengakhiri segalanya. Nesta telah bekerja dengan gemilang, meskipun sudah berada pada periode sisa tugasnya di Milan. Nesta adalah bek dominan yang piawai melakukan gerakan tipuan dan pengalamannya untuk menghentikan serangan lawan, sementara Silva mengikuti jejak mentornya.

Di kancah internasional, Italia adalah penggoda yang kejam bagi Nesta karena cedera merampas beberapa peluang besar untuknya. Teman dekat dan rekan setimnya Andrea Pirlo mengenang dalam otobiografinya saat Piala Dunia 2006 berubah menjadi buruk bagi rekan senegaranya itu. “Dia sekarat di dalam dan kami tidak jauh lebih baik, setelah melihat usaha yang dia lakukan untuk mempertahankan harapan itu sekarang padam."

Terlepas dari penampilannya yang megah di level klub, Nesta tidak pernah bersinar untuk Italia, dengan momen terendahnya tidak diragukan lagi adalah cedera yang dideritanya. Dirinya bahkan terhambat untuk dapat tampil maksimal dalam laga kemenangan Piala Dunia bagi negaranya.

Di tahun-tahun terakhir kariernya, Nesta menantang keadaanya yang kritis saat itu dengan beberapa tekel yang sukses dia lakukan dan itu sesuatu yang menakjubkan. Penggemar Milan akan mengingat dengan jelas momen dimana Lionel Messi harus tersungkur di tanah karena frustrasi setelah tendangan yang dieksekusi dengan sempurna dari pemain yang berusia satu dekade lebih tua dari dirinya itu sukses digagalkan.

Dalam situasi yang mirip dengan duelnya bersama Djibril Cisse, Nesta berlari setengah panjang lapangan untuk bersaing dengan pemain Genoa Rodrigo Palacio. Nesta berusaha keras memenangkan penguasaan bola, bahkan sengaja menjatuhkan diri agar bola kembali ke pelukan kiper Milan saat itu, Abbiati.

Dalam kariernya yang panjang dan sukses, Sandro sukses membuat banyak tekel dengan sebutan 'blockbuster', menggemakan riak kekaguman dari penggemar AC Milan di San Siro. Bahkan, di Amerika Utara, gaya permainan bertahannya ini sangat dikagumi dan diakui hingga tekniknya mereka adopsi, mengangkatnya lebih dari sekadar aspek permainan yang kotor dan kasar, di dalamnya terdapat unsur seni bermain sepak bola.

Dalam hal ini dia telah membantu mengubah sepak bola di Major League Soccer dan ingin terus melakukannya melalui pelatihan.

Setelah menghabiskan sebagian besar tahun bersama Montreal Impact, Nesta mengumumkan pengunduran dirinya dan segera bergabung dengan klub sebagai konsultan. Dia mengungkapkan niatnya untuk mulai melatih di Amerika Utara.

Meski masa depannya pasti harus membawanya kembali ke sepak bola Italia, keinginan Nesta untuk meningkatkan standar sepak bola di tanah airnya tersebut patut dipuji. Sebagai seseorang yang membuat perbedaan untuk Italia sepanjang kariernya, sudah sepantasnya dia harus terus melakukannya di luar lapangan.

Dalam hal kontribusinya pada olahraga, Nesta sudah identik dengan pemain bertahan hebat Milan. Pendatang baru di San Siro mengaitkan Nesta sebagai salah satu pengaruh di balik keputusan mereka untuk bergabung, yang menunjukkan kualitas kepemimpinannya dan memuji umur panjang kariernya.

Setelah melihat apa yang bisa dia hasilkan di lapangan, banyak yang akan bersemangat melihat hasil dari petualangan kepelatihannya yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu pemain terbaik di generasinya.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network