Kisah Tragis Moacir Barbosa, Jadi Kambing Hitam Kekalahan Brasil Seumur Hidup

"Takdir Loris Karius menjadi kambing hitam tidak ada apa-apanya dibandingkan nasib Moacir Barbosa."

Biografi | 10 April 2021, 12:40
Kisah Tragis Moacir Barbosa, Jadi Kambing Hitam Kekalahan Brasil Seumur Hidup

Libero.id - Ketika Loris Karius melakukan kesalahan di final Liga Champions, hukuman sosial berlangsung hingga hari ini. Tapi, takdir eks kiper Liverpool itu belum seberapa jika dibanding Moacir Barbosa. Penjaga gawang Brasil jadi kambing hitam kekalahan final Piala Dunia 1950 seumur hidupnya.

Lahir di Campinas, 27 Maret 1921, pemilik nama lengkap Moacir Barbosa Nascimento itu menyandang status sebagai salah satu kiper terbaik dunia pada 1940 dan 1950-an. Dia bermain di klub elite Vasco da Gama serta menjadi pilihan utama Selecao.

Kegemilangan Barbosa di bawah mistar gawang ditunjukkan bersama Vasco. Pada 1945-1955 dan 1958-1960, dia bermain pada 683 pertandingan. Hasilnya, klubnya menjuarai Campeonato Sul-Americano de Campeoes (1948), Torneio Rio-Sao Paulo (1958), serta Campeonato Carioca (1945, 1947, 1949, 1950, 1952, 1958).

Penampilan membanggakan di klub membawa Barbosa ke level internasional. Dia menjadi penjaga gawang utama saat tim Samba menjuarai Copa America 1949. Di final, Brasil menghajar Paraguay 7-0!

Karier di timnas Barbosa berlanjut saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950. Beda dengan turnamen modern yang menggunakan sistem knock-out setelah fase grup berakhir, saat itu format round-robin tournament digunakan di fase akhir. Empat tim yang lolos dari penyisihan dan tampil di putaran final adalah Brasil, Spanyol, Swedia, dan Uruguay.

Semuanya terlihat mulus ketika Brasil menghajar Swedia 7-1 di pertandingan pertama dan Spanyol 6-1 di pertarungan kedua. Di tempat lain, Uruguay bermain imbang 2-2 dengan Spanyol dan menang 3-2 melawan Swedia.

Dalam kondisi seperti itu, Brasil memuncaki klasemen dengan 4 poin (saat itu kemenangan masih bernilai 2 poin dan imbang 1 poin). Di posisi berikutnya ada Uruguay dengan 3 poin. Di pertandingan penentuan, Selecao akan bertemu La Celeste di Estadio Maracana, Rio de Janeiro. Cukup imbang, Brasil akan juara!

Di hari pertandingan, 200.000 orang berdesakan di pintu stadion menunggu giliran masuk. Di hari itu dan sejak beberapa hari sebelumnya, media-media berpengaruh di Negeri Samba berlomba-lomba menulis berita dengan judul yang menyatakan Brasil pasti juara.

"Besok kita akan mengalahkan Uruguay" tulis Gazeta Esportiva di halaman depannya. Ada lagi O Mundo, yang memajang semua pemain timnas besar-besar dengan sebuah tulisan: "Inilah Juara Dunia".

Walikota Rio de Janeiro saat itu, Angelo Mendes de Morais, juga berbicara di televisi nasional dengan sangat congkak memprediksi jalannya pertandingan melawan La Celeste. Dia menyatakan tidak pernah ada tim di dunia ini yang bisa mengalahkan Selecao.

"Kalian, para pemain, yang dalam waktu kurang dari beberapa jam akan dipuji sebagai juara oleh jutaan rekan senegaranya! Kamu, yang tidak memiliki saingan di seluruh belahan bumi! Anda, yang akan mengalahkan pesaing lainnya! Kamu, yang sudah saya hormati sebagai pemenang!" kata Morais.  

Ternyata, sepakbola memang bukan matematika. Setelah bermain imbang 0-0 di babak pertama, Albino Friaca membuat Brasil unggul 1-0 di menit 47. Euforia melanda seisi stadion hingga Juan Alberto Schiaffino menyamakan skor 1-1 pada menit 67.

Dengan skor 1-1, para pendukung Brasil di Maracana, yang jumlahnya 199.854 orang, masih tetap optimistis. Mereka terus bernyanyi, menari, melompat-lombat, dan bergembira karena sangat percaya Piala Dunia 1950 akan menjadi milik mereka.

Tiba-tiba semuanya hening. Pada menit 79, Alcides Ghiggia berlari di sisi kanan Uruguay masuk ke sisi kiri area penalti Brasil. Tanpa pikir panjang, legenda Penarol dan AS Roma tersebut melepaskan tendangan kaki kanan keras menyusur tanah dari jarak sekitar 5 meter.

Bola sepakan Ghiggia sangat keras. Bola itu tepat menuju Barbosa. Dengan sigap, dia berhasil menangkap tendangan Ghiggia. Masalahnya, dengan kecepatan yang tinggi, bola itu terlepas dari pelukan Barbosa, masuk ke gawang, dan gol! Skor 2-1 untuk La Celeste bertahan hingga wasit asal Inggris, George Reader, mengakhiri duel.

"Di mana-mana ada bencana nasional yang tidak bisa diperbaiki. Ini seperti Hiroshima. Ini bencana kami. Ini Hiroshima kami. ini adalah kekalahan dari Uruguay pada Piala Dunia 1950," tulis penulis terkenal Brasil, Nelson Rodrigues.

Kekalahan itu benar-benar tidak bisa diterima. Lalu, orang-orang mulai mencari kambing hitam. Mereka menyalahkan Barbosa karena tidak bisa menangkap bola dengan benar. Hukuman kepada Barbosa berlangsung seumur hidup hingga meninggal akibat serangan jantung pada 7 April 2000.

"Hukuman maksimal di Brasil adalah 30 tahun penjara. Tapi, saya telah membayar, untuk sesuatu yang bahkan saya tidak bertanggung jawab, sekarang (saya sudah dihukum selama) 50 tahun," kata Barbosa jelang kematiannya, dilansir The Versed.

Hukuman sosial itu sangat kejam dan tidak manusiawi. Contohnya pada 1994. Dia dilarang bertemu para pemain timnas oleh Asisten pelatih, Mario Zagallo, yang khawatir Barbosa akan membawa kesialan. Setahun sebelumnya, Presiden Asosiasi Sepakbola Brasil (CBF), Ricardo Teixeira, melarang Barbosa menjadi komentator siaran langsung Selecao karena takut dikutuk dan kalah.

Barbosa mengatakan pernah mendapatkan pengalaman pahit saat berkunjung ke sebuah pasar. Itu 20 tahun setelah Piala Dunia. Dia terkejut ketika menyaksikan seorang ibu menunjuk padanya dan memberi tahu anaknya siapa dirinya yang sebenarnya. "Lihat dia, anakku. Dia adalah orang yang membuat seluruh Brasil menangis," ucap Barbosa.

Tidak hanya dalam kehidupan nyata. Hukuman sosial kepada Barbosa juga muncul di dunia fiksi. Sebuah novel karya Ian McDonald berjudul "Brasyl", diluncurkan untuk mengolok-olok Barbosa. Ada lagi buku berjudul "Penyelamatan Terakhir Moacyr Barbosa" karya Darwin Pastorin.

Ada juga film pendek berjudul "Barbosa". Karya satir itu ditayangkan perdana pada 1988. Kisahnya tentang seorang pria berusia 49 tahun (diperankan oleh Antonio Fagundes) melakukan perjalanan ke masa lalu, ke final Piala Dunia 1950. Misinya, mencegah Ghiggia mencetak gol kemenangan Uruguay.

"Dia menangis di pundak saya. Sampai akhirnya dia selalu berkata: 'Saya tidak bersalah. Kami ada 11 orang di lapangan'. Dia benar. Sepakbola itu olahraga tim. Tidak adil menyalahkan 1 orang jika ada 11 orang di lapangan dan 1 pelatih di bench," ungkap seorang teman Barbosa.

Bukan hanya Barbosa yang menderita. Brasil dan sejarah panjang hubungan antar ras juga dipertanyakan. Pasalnya, tidak pernah lagi ada kiper berkulit hitam di Selecao sejak 1950 hingga Dida muncul pada 1999, dan kemudian menjadi bintang di AC Milan.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0% Suka
  • 0% Lucu
  • 0% Sedih
  • 0% Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network