Libero.id - Eric Murangwa Eugene bukanlah kiper asal Afrika yang terkenal layaknya Jacques Songo'o, Carlos Kameni, atau Andre Onana. Tapi, mantan kapten tim nasional Rwanda itu merupakan pelaku sejarah keajaiban sepakbola.
Kisah Murangwa terjadi pada April 1994 di kampung halamannya, Rwanda. Saat itu, dia baru berusia 18 tahun ketika kematian dengan cara tragis terlihat sangat dekat. Pemain beretnis Tutsi itu tercatat sebagai anggota skuad Rayon Sports di Liga Rwanda. Dia juga berstatus pemain timnas.
"Sekelompok tentara (dari etnis Hutu) datang. Mereka berteriak. Berteriak. Mereka datang untuk membunuh kami. Itu sangat menakutkan. Saya masih bisa mendengar teriakan mereka sekarang," ujar Murangwa mengenang tragedi kemanusiaan paling menyakitkan setelah Perang Dunia II itu, kepada BBC Sport Africa.
Dia dipaksa berbaring di lantai. Murangwa dan orang-orang yang ada di rumahnya menunggu takdir menjemput. "Tentara-tentara itu berkeliling rumah melempar barang-barang ke atas dan ke bawah dan memanggil kami dengan berbagai macam nama," kata Murangwa.
"Salah satu hal yang terjadi adalah album foto. Itu menarik perhatian salah satu prajurit. Lalu, dia bertanya kepada saya 'siapa orang di foto itu?' Saya berkata mereka adalah rekan satu tim saya. Saya bisa melihat wajahnya benar-benar berubah ketika dia menyadari siapa saya," tambah Murangwa.
Saat itu, Murangwa bukan hanya pesepakbola profesional. Dia bermain untuk Rayon Sports. Itu merupakan tim paling populer di Rwanda sejak dulu hingga hari ini. Klub itu layaknya Real Madrid atau Barcelona yang memiliki pendukung terbanyak di Spanyol.
"Selama 10 menit berikutnya kami berbicara tentang sepakbola. Hanya beberapa menit sebelumnya saya benar-benar mengkhawatirkan hidup saya. Jelas foto-foto itu menyelamatkan hidup saya," ucap Murangwa.
Lahir di Kigali, Murangwa bergabung dengan Rayon Sports pada usia 14 tahun. Dengan cepat, dia menjadi penjaga gawang pilihan pertama. Sebulan sebelum genosida dimulai, dia ambil bagian dalam pertandingan di Stadion Nasional Amahoro, Kigali, membela Rayon Sports menghadapi Al Hilal dari Sudan dalam pertandingan Piala Winners Afrika.
Tertinggal 0-1 setelah pertandingan tandang, tim tuan rumah menang 4-1 di leg kedua untuk mencapai babak kedua. "Saya ingat betapa hebatnya momen itu. Stadion penuh dengan pendukung kami," ujar Murangwa.
"Masyarakat Rwanda (saat itu) pada dasarnya terbelah. Tapi, ketika kami memenangkan pertandingan dan orang-orang melupakan perbedaan apa pun yang mereka miliki. Saat itu, mereka merayakan kemenangan kami sebagai satu bangsa," tambah Murangwa.
Tapi, kedamaian ternyata tidak akan bertahan lama. Hanya dalam 100 hari, sekitar 800.000 orang dibantai di Rwanda oleh ekstremis etnis Hutu. Didorong oleh pemerintah, mereka menargetkan anggota komunitas minoritas Tutsi, Hutu moderat, dan lawan politik tidak peduli dari asal etnis mereka.
Tutsi dicap "kecoa" dan dihalalkan untuk dimusnahkan. Sialnya, keluarga Murangwa adalah Tutsi. "Saat dimulai memang sesuatu yang direncanakan dan dilakukan oleh pasukan pemerintah dan milisi. Tapi, dalam beberapa minggu berikutnya, masyarakat biasa didorong menjadi bagian dari mesin genosida," jelas Murangwa.
Pada saat itu, di kartu identitas terdapat tulisan suku. Milisi memasang penghalang jalan, mempersenjatai diri dengan parang dan pentungan, serta memeriksa semua identitas orang yang lewat.
"Salah satu tetangga, seorang pria bernama Tifu, dikawal oleh dua pria yang tidak saya kenal. Dia dituduh sebagai musuh negara. Saya menyaksikan aksi pertama. Kemudian saya menyadari apa yang terjadi dan kemudian saya pergi. Tempat itu, sejak hari itu, menjadi ladang pembunuhan yang cukup banyak," lanjut Murangwa.
Adik Murangwa yang ketika itu berusia 7 tahun, Irankunda Jean Paul, termasuk di antara mereka yang kehilangan nyawa bersama sebanyak 70 anggota keluarga besarnya. Hebatnya, Murangwa menganggap dirinya beruntung karena banyak anggota keluarga terdekatnya selamat.
Dalam situasi kacau, perjalanan bertahan hidup Murangwa dimulai. Dia berlindung di berbagai lokasi di seluruh Kigali, termasuk Mille Collines Hotel, yang menyediakan tempat berlindung bagi ribuan orang. Pada 2004 kisah di hotel itu diangkat dalam film layar lebar berjudul Hotel Rwanda.
Kolam renang digunakan sebagai sumber air minum bagi lebih dari 1.000 pengungsi. "Setiap kamar memiliki antara 5-20 orang. Tirai selalu tertutup. Kami tidak bisa melihat ke luar karena kami takut ditembak," ujar Murangwa.
Sebelum tinggal di Mille Collines Hotel, Murangwa meminta perlindungan di rumah rekan satu timnya di Rayon Sports. Salah satunya, Longin Munyurangabo, yang berusaha keras membantu Murangwa. Sayangnya Munyurangabo tidak selamat dari genosida. Diperkirakan dia terbunuh saat mencoba melarikan diri dengan pacarnya yang beretnis Tutsi.
"Saya membutuhkan bantuan, saya membutuhkan dukungan, saya membutuhkan seseorang untuk menunjukkan bahwa dia memperhatikan saya karena keadaan saya sendiri telah sepenuhnya meninggalkan saya," ungkap Murangwa.
Murangwa akhirnya dipindahkan dari Kigali oleh pasukan penjaga perdamaian PBB yang diterjunkan sebelum genosida berakhir pada Juli 1994. "Saya agak takut dengan apa yang mungkin ada di luar sana, berapa banyak dari mereka. Meski saya selamat dan perang telah berakhir, saya tidak berada dalam situasi di mana saya benar-benar bisa merasa aman," ujar Murangwa.
Meski perang sudah berakhir dan hidup mulai normal, ketakutan masih menghantui Murangwa. Lalu, pada 1996, dalam perjalanan menuju pertandingan tandang ke Tunisia pada Kualifikasi Piala Dunia 1998, Murangwa melarikan diri untuk meminta suaka. Pertama, di Belgia. Kemudian, di Inggris.
Murangwa sekarang telah tinggal di London mendirikan yayasan amal, Ishami Foundation, untuk membantu para penyintas genosida. Sepakbola digunakan untuk menyatukan Rwanda dan membantu para korban melupakan kengerian selama 1994. Pada 2018 dia diangkat menjadi MBE (Member of British Empire) oleh Ratu Elizabeth II.
"Sepakbola bagi saya adalah alat yang ampuh untuk benar-benar membawa perubahan kepada orang-orang, untuk mempengaruhi orang secara positif, dan saya menggunakannya untuk memastikan bahwa anak-anak saya serta anak-anak dari teman atau tetangga saya akan memahami bahaya perpecahan," ujar Murangwa.
"Ini bukan sesuatu yang bisa anda selesaikan dalam waktu 5, 10, atau bahkan 20 tahun. Tapi, saya senang dengan apa yang telah dicapai. Semoga akan terus damai dan tragedi itu tidak terulang," pungkas Murangwa.
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini