Joaquin Valdes
Libero.id - Sepakbola modern tidak hanya membutuhkan teknik dan strategi jitu di lapangan, melainkan juga mental. Salah satu contohnya dikerjakan Luis Enrique di Barcelona dan tim nasional Spanyol dengan menunjuk psikolog, Joaquin Valdes. Hasilnya? Hebat!
Saat melatih Barcelona pada 2014, Enrique baru saja ditinggalkan sang kiper, Victor Valdes. Penjaga gawang cadangan La Furia Roja itu pergi dalam keadaan cedera, tanpa klub, dan depresi berat.
Enrique, yang bersimpati, menawarkan Valdes kontrak baru. Tapi, dia tidak bersedia. Padahal, dalam benak Enrique, jika Valdes bersedia bertahan, maka dirinya akan memberikan seorang psikolog yang juga memiliki nama Valdes untuk membantu Valdes menyelesaikan masalah mentalnya.
Joaquin Valdes adalah seorang judoka yang sukses di masa lalu, yang memilih kuliah psikologi di Universidad de Oviedo sebagai bekal masa depan. Dia berhasil menyelesaikan Strata 1 dan melanjutkannya ke Magister (S2). Di sana, dia mempelajari psikologi olahraga.
Setelah lulus pada 2000, Valdes langsung terjun ke sepakbola. Dia bergabung dengan Sporting Gijon sebagai psikolog. Setelah 5 tahun di sana, Valdes merasa tidak menemukan gairah yang dicari. Dia keluar dan mendirikan biro konsultasi swasta hingga tanpa sengaja bertemu Enrique.
Pertemuan dengan Enrique membawa Valdes kembali ke sepakbola. Pada musim panas 2008 seiring penunjukkan Enrique sebagai pelatih Barcelona B, Valdes ditunjuk bergabung dengan staf kepelatihan sebagai salah satu staf pelatih. Awalnya, manajemen tidak setuju karena merasa sepakbola tidak membutuhkan psikolog.
Dari situlah Valdes terus mengikuti ke manapun Enrique pergi melatih. Saat menjadi nakhoda AS Roma, Valdes juga ikut. Begitu pula di Celta Vigo, Barcelona, dan kini bersama mengelola La Furia Roja.
Bicara dengan pemain yang stres
Secara umum, tugas Valdes seperti layaknya psikolog di seluruh dunia. Dia berperan untuk memastikan bahwa nada yang tepat diatur. Pikiran negatif, destruktif, mengganggu, atau sekadar rendahan itu dipadamkan. Suasana di sekitar tempat latihan menjadi positif, pikiran terfokus, pembicaraan pelatih tidak terlalu panjang atau terlalu pendek, dan kosa kata yang tepat digunakan.
Di sepakbola profesional level dunia, tekanan kepada pemain sangat berat. Tidak ada toleransi terhadap kesalahan. Sudah ada banyak kasus ketika pemain melakukan kesalahan kecil kariernya langsung berakhir.
Untuk mengatasi semua tekanan itu, Enrique berpikir bahwa pemain harus memiliki teman bicara. Dalam budaya individualis seperti di Eropa, berbicara dengan teman seprofesi bukan pilihan tepat. Satu-satunya orang yang tepat untuk tempat curhat adalah psikolog.
Itu sudah dialami Alvaro Morata di Euro 2020 saat dikecam habis-habisan akibat gagal mencetak gol melawan Swedia. Setelah bertemu Valdes, dia sukses menjebol jala Polandia. Kemudian, Spanyol membantai Slovakia di laga terakhir grup. Terbaru, bangkit dari nyaris kalah melawan Kroasia di babak 16 besar.
"Saya berbicara tentang segalanya. Saya tahu dia (Valdes) ada di sana untuk saya dan untuk semua tim saya. Saya baik-baik saja, saya sudah terlalu lama khawatir atas apa yang orang pikirkan tentang saya. Saya tidak bisa dicintai oleh semua orang. Ketika ada kritik, anda hanya perlu menghormatinya dan bekerja, bekerja, bekerja," kata Morata, dilansir Football Italia.
"Dalam olahraga, orang-orang tidak mengakui pentingnya atau gravitasi kecemasan dan depresi. Saya merekomendasikan bahwa orang pergi ke spesialis jika memiliki masalah," tambah jebolan Real Madrid itu.
Bertindak layaknya diplomat
Jauh sebelum Morata, kasus lain yang tak kalah rumit terjadi di Barcelona. itu terkait keberadaan pemain-pemain senior seperti Lionel Messi, Gerard Pique, atau Andres Iniesta. Sempat terjadi ketegangan akibat taktik yang tidak berjalan sesuai harapan, yang menyebabkan El Barca menjalani periode sulit dengan sejumlah hasil negatif.
Dalam situasi seperti itu Valdes hadir menjadi penengah. Diplomasi diperlukan untuk menurunkan suhu antara kubu Enrique dengan kubu Messi. Dan, itu sangat berhasil.
Pelatih tidak hanya menerima permohonan dari pemain senior untuk menemukan kompromi dengan pemain terbaik klub. Tapi, Enrique dengan lembut mulai mengubah bagian-bagian tertentu dari repertoarnya yang dikeluhkan. Hal-hal seperti aliran informasi ke skuad, dan waktu istirahat dan sedikit kurang otoriter. Pendekatan disiplin.
Tentu saja itu masukan Valdes kepada bosnya. Dia menyarankan Enrique bagaimana menangani situasi, kapan harus menggunakan tangan besi, kapan harus menggunakan sarung tangan beludru, bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi mengingat sedikit keluhan dari kapten tim. Itu terbukti membantu.
Hasilnya, Enrique benar-benar memanfaatkan kelebihan skuadnya dengan memborong banyak trofi. Sebut saja La Liga (2014/2015, 2015/2016), Copa del Rey (2014/2015, 2015/2016, 2016/2017), Supercopa de España (2016), Liga Champions (2014/2015), Piala Super Eropa (2015), serta Piala Dunia Antarklub (2015).
El trabajo silencioso del psicólogo de la Selección de España ❤️
Gracias por tanto Joaquín Valdés pic.twitter.com/4MGTXYOJcm
— Ana RBlanco (@Anaregblanco) June 29, 2021
Apa yang dikatakan Valdes tentang pekerjaannya?
Dalam wawancara dengan Fusion Asturias, Valdes pernah bercerita lika-liku menjadi psikolog olahraga. Dia menganggap ini posisi yang harus dimiliki semua klub sepakbola profesional di level atas.
"Saya telah beradaptasi dengan banyak pelatih yang berbeda, dengan visi mereka tentang bagaimana mereka ingin anda bekerja. Ciri utama yang harus dimiliki psikolog olahraga adalah kemampuan beradaptasi dengan situasi dan tuntutan saat itu," ujar Valdes.
"Di banyak tim psikolog milik klub dan pelatih tim memutuskan apakah dia ingin menggunakannya atau tidak. Dalam kasus saya, saya bekerja seperti itu di Gijon. Tapi, bersama Enrique, saya menjadi bagian dari staf pelatihnya. Ini seperti pelatih fisik atau pelatih kiper. Ini adalah cara yang berbeda untuk mengintegrasikan ilmu psikologi dengan olahraga," tambah Valdes.
Meski berbeda dengan klub, Valdes menyebut bekerja di tim nasional juga menantang. "Sangat berbeda terutama karena frekuensi anda bertemu dengan para pemain. Ketika anda bekerja di timnas, anda memiliki serangkaian atlet yang hampir seperti pemain baru dan semuanya datang dengan keterbukaan, keinginan, serta disposisi yang sangat baik," ungkap Valdes.
"Di klub, terkadang anda memiliki pemain yang senang dan yang lain tidak, karena mereka tidak bermain atau mungkin memiliki masalah dengan pergaulan. Perbedaan lainnya adalah intensitas. Di klub anda mendapatkan sorotan setiap hari," tambah Valdes.
"Di timnas anda hanya berada dalam sorotan pada saat-saat yang sangat spesifik. Tapi, kemudian anda memiliki saat-saat ketenangan. Segala sesuatu dalam hidup kita dapat mendekatinya sebagai kegagalan atau kesuksesan. Tapi, tergantung pada bahasa yang kita gunakan. Itu akan menyiratkan bahwa itu berjalan ke arah yang membantu atau menunda," pungkas Valdes.
(andri ananto/anda)
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini