Laurel Hubbard
Libero.id - Selain aksi politis beberapa atlet Arab yang memboikot Israel, membelotnya atlet Belarus ke Polandia, atau simbol X atlet Amerika Serikat (AS), Olimpiade 2020 juga diwarnai kontroversi atlet transgender. Dia adalah atlat angkat besai Selandia Baru, Laurel Hubbard.
Keberadaan Hubbard di gelandang Olimpiade langsung memunculkan kontroversi. Bukan dengan alasan agama atau moral, melainkan murni olahraga.
Pria yang kemudian menjadi wanita, bukankah dia masih memiliki tenaga laki-laki, meski dengan kemasan wanita? Apakah itu adil untuk atlet putri lainnya? Mungkinkah itu dapat dianggap sebagai bentuk kecurangan? Kenapa IOC memperbolehkannya? Itulah pertanyaan yang muncul di Tokyo tahun ini.
"Saya melihat Olimpiade sebagai perayaan global dari harapan, cita-cita, dan nilai-nilai kami, dan saya ingin berterima kasih kepada IOC atas komitmennya untuk membuat olahraga inklusif dan dapat diakses. Saya di sini bukan untuk mengubah dunia," kata Hubbard, dilansir BBC Sport.
Lahir dengan nama Gavin Hubbard, Laurel pertama kali muncul sebagai atlet wanita pada 2017. Dua tahun kemudian, kemenangannya di kelas 87kg pada Pacific Games di Samoa memicu tuduhan ketidakadilan. Sebab, dia telah hidup sebagai pria selama tiga dekade sebelum menjadi wanita pada 2012.
Dalam wawancara pada 2017, Hubbard berharap orang-orang akan memahami dan terbuka untuk dirinya bersaing sebagai seorang wanita. "Orang-orang percaya apa yang mereka yakini ketika mereka diperlihatkan sesuatu yang mungkin baru dan berbeda dari apa yang mereka ketahui. Itu naluriah untuk bersikap defensif," kata Hubbard.
"Bukan tugas saya untuk mengubah apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka yakini. Saya hanya berharap mereka melihat gambaran yang lebih besar, daripada hanya mempercayai apa pun yang mungkin dikatakan oleh naluri mereka," tambah Hubbard.
Rekam jejak Hubbard di olahraga
Sebagai junior, Hubbard adalah pemegang rekor nasional dan mengangkat total 300 kg pada kompetisi pria domestik sebelum berhenti terlalu dini pada 2001 dalam usia 23 tahun. Sekarang, di usia 43 tahun, dia menjadi lifter tertua ketiga dalam sejarah Olimpiade.
"Jika anda melihat seseorang seperti anda berprestasi di panggung dunia, ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk melihat bahwa ada jalan," ujar Ashley Abbott dari Komite Olimpiade Selandia Baru (NOCNZ).
Sejak kembali ke kompetisi, Hubbard telah memenangkan tujuh medali emas turnamen internasional. Setelah menderita cedera siku saat Commonwealth Games 2018, dia mengira kariernya sudah berakhir. Tapi, dia berjuang kembali dan memenangkan emas di Pacific Games 2019 dan finish keenam di Kejuaraan Dunia.
Di Tokyo, Hubbard tampil di nomor 87 kg putri. Dia memiliki kesempatan untuk meraih emas karena angkata terbaiknya di kualifikasi adalah 285 kg. Itu adalah yang tertinggi keempat dari mereka yang memenuhi syarat untuk bersaing . Itu juga berarti 50 kg lebih rendah dari lifter terbaik China unggulan utama Olimpiade, Li Wenwen.
Menjadi polemik dan memunculkan protes
Apa yang dilakukan Hubbard sebenarnya memiliki dasar. Pasalnya, pada 2004, IOC mengizinkan atlet transgender untuk ambil bagian di Olimpiade. Dan, sejak 2015, ketentuannya menyatakan atlet yang telah beralih dari pria ke wanita dapat bersaing dalam olahraga kategori putri, tanpa memerlukan operasi.
Menurut IOC, selama mereka telah menyatakan identitas gender mereka adalah perempuan setidaknya selama empat tahun dan menjaga kadar testosteron mereka di bawah 10 nanomoles per liter selama minimal 12 bulan, maka mereka boleh tampil di arena.
Selain itu, untuk olahraga individu, IOC mengizinkan federasi olahraga untuk menetapkan pedoman mereka sendiri. IAAF (atletik) telah menetapkan lima nanomol per liter sebagai patokan. Begitu juga angkat besi yang mengadopsi parameter yang sama.
Menurut data Otoritas Kesehatan Inggris (NHS) kadar testosteron pria berkisar 10-30 nanomol per liter, tergantung pada faktor usia dan waktu. Tapi, pria sehat yang lebih muda biasanya berkisar 20-30 nanomol per liter. Sedangkan tingkat testosteron wanita berkisar 0,7-2,8 nanomol per liter.
Untuk mencapai kadar yang dibutuhkan, Hubbard dan atlet lain seperti dirinya harus mengonsumsi obat penekan hormon untuk mengurangi kadar testosteron dalam tubuh. Masalahnya, beberapa obat tersebut mengandung zat yang dalam olahraga masuk kategori doping.
Karena itu, sangat sedikit badan olahraga internasional yang telah membuat kebijakan transgender sesuai arahan IOC. Apalagi, aturan IOC kemungkinan akan mengalami banyak revisi di masa depan. "Pendekatan baru yang komprehensif dan menghormati hak untuk mengatasi kompleksitas masalah ini," bunyi pernyataan IOC.
IOC, akan mempertimbangkan berbagai hal untuk membuat aturan yang lebih tegas. Tidak hanya perspektif medis, ilmiah dan hukum, melainkan juga hak asasi manusia (HAM). "Mekanisme, kebijakan, dan pendekatan yang sesuai untuk memastikan inklusi, nondiskriminasi, keadilan, proporsionalitas, dan keamanan bagi semua atlet di setiap cabang olahraga," ujar IOC.
Sebagai cerminan dari pendekatan yang berbeda, tahun lalu World Rugby melarang wanita transgender bermain di level atas. Alasannya, berdasarkan penelitian menunjukkan risiko cedera yang jauh lebih tinggi. Tapi, kebijakan domestik Rugby Football Union di Inggris mengizinkan wanita transgender untuk bermain, di bawah kondisi berbasis testosteron tertentu.
Transgender athlete Laurel Hubbard made Olympic history but failed to record a successful lift in the women's +87kg weightlifting.#bbcolympics #Tokyo2020
— BBC Sport (@BBCSport) August 2, 2021
Perdebatan intelektual tak kalah sengit
Proses transisi dari pria ke wanita itu sendiri secara signifikan mengurangi testosteron, dan penelitian telah menunjukkan ini berdampak pada atletis dan kekuatan.
"Pada bulan-bulan pertama transisi saya menambah 10 kg. Saya tidak bisa makan seperti sebelumnya. Saya menjadi anemia, hemoglobin saya rendah, saya selalu kedinginan, saya tidak memiliki kekuatan fisik yang sama, tidur saya tidak seperti itu, dan saya mengalami perubahan suasana hati," ujar sprinter transgender Italia, Valentina Petrillo.
IOC juga melakukan banyak penelitian. "Ada banyak penelitian untuk memastikan keuntungan sisa setelah melewati masa pubertas laki-laki. Tapi, anda harus mempertimbangkannya dengan semua kerugian lain melalui transisi. Ini bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng oleh setiap individu," kata IOC.
"Ada banyak aspek fisiologi dan anatomi, dan sisi mental, yang berkontribusi pada performa elite, dan sangat sulit untuk mengatakan: 'Ya, dia memiliki kelebihan'. Ada begitu banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan," tambah IOC.
Sementara itu. Katherine Deves, salah satu pendiri Save Women's Sport Australasia menggambarkan pengurangan testosteron sebagai "ikan merah". Ini adalah organisasi nirlaba yang menentang masuknya transgender ke olahraga putri.
"Ini adalah kebijakan yang salah dari IOC yang memungkinkan pemilihan laki-laki biologis berusia 43 tahun yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan untuk bersaing dalam kategori perempuan. Atlet transgender akan memiliki keuntungan dalam setiap metrik tunggal. Itu termasuk kecepatan, stamina, kekuatan, otot, dan organ yang lebih besar," kata Deves.
Deves juga mengatakan wanita transgender dapat memiliki pemulihan yang lebih cepat, tulang yang lebih kuat, dan tidak memiliki panggul yang miring sehingga mereka cenderung tidak mengalami cedera lutut dan pergelangan kaki. "Ini benar-benar tidak adil," tambah Deves.
Perbedaan fisiologis yang terbentuk selama masa pubertas diterima secara luas. Pubertas pria, yang akan dialami Hubbard di masa remaja, meningkatkan masa otot. "Ketika laki-laki melewati masa pubertas, jantung menjadi lebih besar, paru-paru menjadi lebih besar, persentase lemak tubuh turun, dan kerangka berubah," kata seorang ilmuwan olahraga, Ross Tucker.
"Pengumpulan hal-hal tersebut menciptakan keunggulan kinerja yang signifikan (antara pria dan wanita). Perbedaan itu antara 10-12% dalam berenang dan bersepeda. Kemudian, anda beralih ke olahraga seperti angkat besi, yang melibatkan kekuatan otot tubuh bagian atas, perbedaannya lebih besar, 30-40%," tambah Profesor Tucker.
Joanna Harper adalah seorang wanita transgender dan peneliti PhD di Loughborough University yang membantu membentuk kebijakan IOC saat ini. "Kami tidak tahu pasti apakah wanita transgender lebih kuat dari wanita asli. Itu sesuatu yang belum ditentukan. Itu mungkin, tapi tidak jelas," kata Harper.
"Bahkan, setelah terapi hormon, wanita transgender rata-rata akan lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kuat daripada wanita berjenis kelamin aslinya. Dan, itu adalah keuntungan dalam banyak olahraga. Tapi, kami mengizinkan keuntungan dalam olahraga. Yang tidak kami izinkan adalah keuntungan yang luar biasa," tambah Harper.
"Dalam angkat besi, kami membagi kategori menjadi berat. Jadi, kami tidak memiliki atlet angkat besi besar yang bersaing dengan atlet angkat besi kecil. Jika anda melihat wanita yang bersaing dengan Laurel Hubbard, mereka semua adalah wanita yang sangat besar," beber Harper.
(muhammad alkautsar/anda)
Profil Frank Wormuth, Pria Jerman yang Akan Bantu Bima Sakti di Piala Dunia U-17 2023
Semoga berhasil menjalankan tugas.Lawan Pemuncak Klasemen, Persik Kediri Malah Kehilangan 3 Pemain Andalan
Pertandingan yang diramal akan menarik.Bertandang ke Markas Sendiri, Begini Persiapan Bali United Hadapi Arema FC
Pertandingan yang cukup unik bagi Bali United.Beda dengan Piala Dunia Pria, FIFA Sebut Piala Dunia Wanita Justru Rugi
Piala Dunia Wanita 2023 akan kick-off dalam hitungan hari.Unik! 5 Pemain Timnas Indonesia Bakal Dilatih Park Hang-seo Jika Gabung Persib Bandung
Semuanya baru sebatas rumor. Bisa benar, bisa salah.
Opini