Mark Clattenburg
Libero.id - Mantan wasit Liga Premier, Mark Clattenburg, percaya bahwa kesehatan mental adalah masalah serius diantara para wasit dan mengatakan bahwa tekanan besar itu yang menjadi alasan mengapa dirinya pensiun pada 2017. Itu dia ungkapkan dalam buku bertajuk "Whistle Blower: My Autobiography" yang akan terbit akhir bulan ini.
Clattenburg menjadi wasit di level tertinggi Inggris selama 13 tahun dan secara luas dianggap sebagai salah satu wasit terbaik Eropa pada waktu masa jayanya.
Selain 297 kali memimpin Liga Premier, Clattenburg juga hadir pada sejumlah pertandingan terkenal di seluruh dunia, termasuk final Liga Champions 2015/2016 dan final Euro 2016.
Namun, dia mengakui tekanan wasit di level tertinggi menjadi alasan mengapa dirinya meninggalkan liga dan terlibat mengembangkan sepakbola bersama Asosiasi Sepakbola Arab Saudi (SAFA) pada Februari 2017. "Tingkat stres wasit di Liga Premier adalah faktor utama," kata Clattenburg, dilansir Sky Sports.
"Kebanyakan wasit bertahan 8-10 tahun dan kemudian selesai karena stres, latihan setiap hari, dan tekanan pada tubuh anda. Melakukan 13 tahun (menjadi wasit) adalah perkerjaan yang sangat sulit," tambah Clattenburg.
Tapi, dengan lebih banyak percakapan seputar kesehatan mental dalam sepakbola, Clattenburg merasa lebih banyak wasit mungkin mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk maju.
"Saya pikir di masa lalu, itu dilihat sebagai tanda kelemahan. Tapi, sekarang semakin banyak orang yang berbicara. Karena itu, sepakbola tidak hanya mendukung para pemain, melainkan juga wasit," ujar Clattenburg.
"Ketika saya masuk melalui sistem, saya harus menggunakan orang lain. Mereka biasa membantu saya menangani masalah yang dulu saya miliki, berurusan dengan pelecehan, dan masalah dalam kehidupan pribadi anda. Itu selalu sulit karena anda berada di mata publik dan anda memiliki tanggung jawab. Tapi, penting bagi orang-orang untuk keluar dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan," ungkap Clattenburg.
?⚽️ | NEW: Former Premier League referee Mark Clattenburg is keen for officials to speak to the media after gamespic.twitter.com/Aet9coWFzg
— Football For All (@FootballlForAll) September 16, 2021
Karier Clattenburg juga memberi catatan pada pertumbuhan media sosial. Sang wasit meminta perusahaan media sosial untuk berbuat lebih banyak dalam memerangi penyalahgunaan online. "Saya masih mendapatkan pelecehan di media sosial dan sangat sedih melihat pelecehan yang dilakukan kepada wasit," tambah Clattenburg.
"Saya mendapat ancaman pembunuhan dan perusahaan media sosial tidak berbuat apa-apa. Apa yang diperlukan? Menunggu seseorang terluka? Atau seperti yang kita lihat sekarang, pemain dilecehkan secara rasial? Itu tidak benar. Tidak seharusnya begitu ada di masyarakat saat ini," ungkap Clattenburg.
Clattenburg juga merasa bahwa jika wasit dapat berbicara setelah pertandingan dan menjelaskan keputusan mereka, mereka mungkin akan lebih dipahami oleh penggemar, pemain, pelatih, dan analis. "Saya mendukung semua wasit yang transparan, saya mendukung wasit yang terbuka. Mengapa tidak? Ini adalah dunia yang terbuka," kata Clattenburg.
"Wasit perlu mengomunikasikan keputusan mereka. Saya pikir jika itu dilakukan di lingkungan yang terkendali, itu akan menguntungkan permainan karena orang dapat memahami mengapa seorang wasit membuat keputusan benar atau salah," tambah Clattenburg.
One year in the making but it’s here… Mark Clattenburg, My Autobiography: Whistle Blower. Serialisation tomorrow in Daily Mail & out Sept 30 (pre-order now). It’s been great fun. Full of controversy, conflict & anecdotes. He certainly hasn’t held back! @clattenburg1975 pic.twitter.com/oMlWzaNV3Z
— Craig Hope (@CraigHope_DM) September 17, 2021
Clattenburg juga membuka cerita masa kariernya ketika jatuh cinta dengan sepakbola setelah dituduh menggunakan bahasa rasial terhadap pemain Chelsea, John Obi Mikel, pada Oktober 2012. Saat itu, klub mengajukan keluhan resmi kepada FA terhadap Clattenburg selama pertandingan melawan Manchester United .
Meski FA membersihkan Clattenburg dari kesalahan dan penyelidikan polisi juga kemudian dibatalkan, Clattenburg merasa dia diperlakukan tidak adil selama cobaan itu. "Dituduh atas sesuatu yang belum anda lakukan benar-benar sulit dihadapi," kata Clattenburg.
"Dinyatakan bersalah atas sesuatu, bahkan sebelum anda memiliki kesempatan untuk berbicara, benar-benar sulit untuk dihadapi. Sebab, saya selalu percaya bahwa anda harus tidak bersalah sampai terbukti bersalah,"ucap Clattenburg.
"Namun bukan itu masalahnya dan saya tidak ingin kembali menjadi wasit. Itu karena saya harus membayar hipotek, keluarga yang harus dijaga, dan karena itu saya harus kembali menjadi wasit. Saya beruntung bahwa selama bertahun-tahun saya kembali jatuh cinta dengan sepakbola dan itu membuat saya mencapai apa yang sebenarnya saya lakukan," ungkap Clattenburg.
(diaz alvioriki/anda)
Kenalkan Kenzo Riedewald, Pemain Berdarah Suriname-Indonesia yang Siap Bela Timnas U-17
Bima Sakti berencana memasukan namanya ke timnas U-17.Profil Ellie Carpenter, Pemain yang Mampu Saingi Lemparan ke Dalam Pratama Arhan
Dia adalah pemain Timnas Wanita Australia...Profil Julian Schwarzer, Penjaga Gawang Filipina yang Kini Bermain Bersama Arema FC
Pernah bermain di Inggris bersama Fulham...Profil Amara Diouf, Pemain Muda Senegal yang Dianggap Sebagai The Next Sadio Mane
Pada Piala Dunia U-17 2023 Amara Diouf bisa jadi ancaman berbahaya...
Opini