Timnas Indonesia
Libero.id - Shin Tae-yong memastikan pasrah saat hanya boleh menggunakan dua pemain dari setiap klub Liga 1. Meski garuk-garuk kepala, pelatih asal Korea Selatan itu tidak bisa berbuat banyak dengan kebijakan aneh yang menunjukkan egoisme klub Indonesia.
Akhir tahun ini, timnas senior akan disebukkan dengan Piala AFF 2020 yang tertunda satu tahun. Kompetisi dijadwalkan berlangsung di Singapura pada 5 Desember 2021 hingga 1 Januari 2021. Tim Garuda tergabung di Grup B bersama Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja.
Dengan tuntutan juara yang didengungkan, Tae-yong dipastikan tidak bisa leluasa memilih pemain. Pasalnya, Liga 1 tetap berjalan dan dia dibatasi hanya bisa memanggil maksimal dua pemain dari tiap klub.
Kebijakan itu sudah disepakati bersama oleh klub peserta Liga 1 dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi. Sepertinya mereka beranggapan bahwa agenda timnas tidak boleh menganggu kepentingan klub. Dengan kata lain klub jauh lebih penting dari bangsa dan negara.
"Liga 1 jalan terus bersamaan dengan Piala AFF. Itu dibahas saat manager meeting. Ternyata, klub sepakat Liga 1 tetap berjalan dengan catatan jumlah pemain dari setiap tim yang bisa ditarik ke timnas maksimal dua orang," ujar Direktur Utama PT LIB, Akhmad Hadian Lukita, dilansir Antaranews.
Jika kita ingat, kebijakan ini pernah diterapkan saat Luis Milla melatih timnas. Sama seperti Tae-yong, pelatih asal Spanyol itu juga tidak memiliki kebebasan. Hasilnya, prestasi minim, meski mantan pemain Real Madrid dan Barcelona itu mampu membuat para pemain Indonesia tampil menghibur.
"Memang, PSSI dan liga ada kesepakatan bahwa setiap tim hanya bisa mengirim maksimal dua pemain. Memang merugikan timnas, tapi itu perlu juga untuk perkembangan liga. Dengan demikan, sepakbola Indonesia bisa maju ke depannya. Jadi, kita sama-sama mengalah. Itu sudah kesepakatan," ujar Tae-yong.
Timnas senior saat ini sedang berlatih Jakarta selama dua hari sejak Senin (8/11/2021). Setelah itu, skuad Garuda akan bertolak ke Turki untuk melanjutkan program pemusatan latihan. Di sana, mereka akan melakoni laga uji coba melawan Afghanistan, Selasa (16/11/2021), dan Myanmar, Kamis (25/11/2021).
Selamat Hari Pahlawan. ❤️??
Terima kasih atas semua pengorbanan dan jasamu, para pahlawan bangsa. Mari bersama, kita meneladani dan melanjutkan semangat perjuangan pahlawan kita.#KitaGaruda #MeraihImpian pic.twitter.com/a13jzGm6Vx
— PSSI (@PSSI) November 10, 2021
Belajar dari pengalaman negara lain
Pertanyaannya, bagaimana pengalaman negara lain? Normalnya, pelatih timnas diberi kekebasan penuh untuk memilih pemain berdasrkan kemampuan. Tidak peduli dari mana klub dia berasal. Selama sang pemain bagus dan sesuai kebutuhan tim, pelatih berhak memanggil.
Di beberapa timnas luar negeri, kebanyakan pelatih justru lebih senang memilih pemain yang berasal dari klub yang sama. Memiliki starting line-up yang terdiri 50% pemain dari satu klub adalah impian banyak pelatih timnas.
Ketika Spanyol merajai Euro 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010, pemain-pemain Barcelona sangat dominan. Begitu pula ketika Italia sukses di Piala 2006 dengan barisan pemain Juventus. Hal yang sama terjadi dengan legiun Bayern Muenchen saat Jerman sukses di Piala Dunia 2014.
Bukan hanya tim kelas dunia, di kawasan Asia, hal yang sama terjadi. Lihatlah Qatar ketika mengalahkan Jepang di final Piala Asia 2019, dominasi pemain Al-Sadd sangat terasa. Bahkan, mayoritas merupakan jebolan Aspire Academy.
Jika Qatar terlalu jauh, contoh yang paling dekat adalah Vietnam dan Thailand. Ketika The Golden Star menjuarai Piala AFF 2018, mayoritas pemain berasal dari Ha Noi FC. Hal yang sama terjadi pada The War Elephants saat menjuarai Piala AFF 2016 dengan pemain-pemain dari Muangthong United. Sementara pada 2014 dengan legiun BEC Tero Sasana.
Mengapa mereka suka mengumpulkan banyak pemain dari satu klub? Jawabannya sangat mudah! Harap diingat bahwa pertandingan timnas berbeda dengan liga. Di klub, pemain bertemu setiap hari. Mereka berlatih bersama setiap hari. Para pemain bertemu pelatihnya setiap saat.
Intensitas pertemuan yang sering itulah yang membuat kekompakan serta kerjasama di klub mudah dibentuk. Hal itu berbeda dengan timnas yang pemain hanya berkumpul bersama dalam hitungan hari, minggu, dengan maksimalnya satu bulan sebelum pertandingan.
Dalam waktu yang sangat singkat mustahil untuk membuat tim tampil kompak. Sehingga, solusi yang bisa diambil adalah mendasarkan sebuah timnas pada beberapa pemain dari satu klub. Itulah yang dilakukan Vicente de Bosque dengan gerbong Barcelona, Marcelo Lippi (Juventus), atau Joachim Loew (Bayern).
"Pekerjaan timnas buat saya tidak cocok. Satu pertandingan per bulan? Banyak di kantor. Tidak di lapangan. Tidak ada pertandingan. Menunggu dua tahun untuk Piala Eropa. Menunggu dua tahun untuk Piala Dunia. Tidak. Tetap tidak," kata Mourinho pada 2019 saat ditanya tentang melatih timnas, dilansir Sky Sports.
✊ Rise up again
? Reignite the rivalry? The #AFFSuzukiCup is ????!#AFFSuzukiCup2020 | #RivalriesNeverDie pic.twitter.com/kv8dJDFxbI
— AFF Suzuki Cup (@affsuzukicup) November 10, 2021
(andri ananto/anda)
Kisah Jersey ala Cristiano Ronaldo di Barito Putera, Kini Puncaki Klasemen Liga 1
Apakah ini akan bertahan lama atau sementara?Gokil! Marselino Ferdinan Cetak 2 Gol Lawan FC Groningen di Laga Pramusim KMSK Deinze
Sayang, skor akhir tidak memihak Lino dkk. Cek videonya!Mundur atau Dipecat Persib Bandung? Ini Penjelasan Lengkap Luis Milla
Sepakbola dianggap mie instan. Baru 3 laga langsung pisah.Analisis Masa Depan 3 Pemain Timnas U-23 yang Dihukum AFC di Era Shin Tae-yong
Masih dipanggil atau tidak? Ini prediksinya.
Opini