Paling sengsara dirasakannya pas membela klub Singapura.
Sebelum bergabung dengan manajemen Hoffenheim sebagai head of international relations and scouting dan dilanjutkan Fortuna Duesseldorf sebagai sports managing director, Lutz Pfannenstiel punya kisah unik sebagai pesepak bola profesional.

Lahir di Zwiesel, 12 Mei 1973, Pfannenstiel menyukai sepak bola sejak balita. Sebagai orang Bavaria asli, dia dibesarkan untuk mencintai Bayern Muenchen seumur hidup. Karena itu, Pfannenstiel kecil memilih jalur sepak bola. Penjaga gawang menjadi posisi yang digemari pria berpostur 187 cm tersebut.

Perjalanan karier Pfannenstiel dimulai bersama tim dari kampung halamannya. Di usia 13 tahun dia menjadi kiper SC Zwiesel dan berlanjut ke FC Vilshofen. Setelah masuk level senior, Pfannenstiel bergabung dengan FC Bad Koetzting pada 1991. Setelah itu, dia terbang Asia saat membela tim asal Malaysia, Penang FA pada 1993-1994. Dari Negeri Jiran, Pfannenstiel kembali ke Eropa untuk bermain di Inggris bersama Wimbledon.

Dari Wimbledon, Pfannenstiel terus berpindah klub. Hingga gantung sarung tangan sebagai pemain Ramblers Club Windhoek, Namibia, dia telah bermain dengan 27 klub berbeda di 6 konfederasi anggota FIFA. Pfannenstiel bermukim di Jerman, Inggris, Selandia Baru, Singapura, Amerika Serikat, Brasil, Afrika Selatan, Finlandia, Malaysia, Belgia, Kanada, Namibia, Norwegia, Armenia, hingga Albania.



Berbagai kisah suka dan duka dialami Pfannenstiel selama 21 tahun berkelana ke seluruh dunia. Contohnya, di Liga Singapura bersama Geylang United. Pada 2001, Pfannenstiel dijatuhi hukuman penjara 5 bulan karena terbukti terlibat skandal pengaturan skor. Dia menerima suap SGD7.000 agar timnya kalah.

"Itu momen yang mengerikan. Hingga saat ini masih menjadi mimpi buruk saya. Di sana (penjara) tidak ada sikat gigi atau tisu toilet. Hidup di tempat itu membuat anda berpikir dan mengevaluasi hidup anda. Selanjutnya, saya sadar bahwa sepak bola bukan segalanya," kata Pfannenstiel, dikutip The Guardian.

Beruntung, banding Pfannenstiel diterima pengadilan yang lebih tinggi. Akibatnya, dia hanya perlu menginap di hotel prodeo selama 101 hari. "Pemain datang ke tempat latihan dengan mobil dan pakaian bagus sehingga tidak peduli dengan dunia. Penjara benar-benar mendewasakan saya dengan cepat. Saya tidak ingin memutar kembali ke waktu itu," tambah Pfannenstiel.

Setelah bebas, Pfannenstiel kembali ke Eropa dan bermain di Inggris bersama Bradford Park Avenue di Unibond League. Di klub itu, kejadian yang tak kalah tragis terjadi. Dalam sebuah pertandingan melawan Harrogate Town, Pfannenstiel berduel 50:50 ball dengan Clayton Donaldson. Pfannenstiel terkapar di lapangan tidak sadarkan diri. Dadanya terkena kaki Donaldson.

Melihat insiden itu, Ray Killick yang bertugas sebagai tenaga medis Bradford langsung memberikan pertolongan melalui pernapasan buatan dari mulut. Usaha itu berhasil, meski Pfannenstiel tetap tidak sadarkan diri selama beberapa jam.

"Tidak ada niat jahat dalam tantangan Clayton. Dia mencoba melompati saya, tapi langsung menabrak dada saya. Awalnya, saya tidak menyadari betapa seriusnya itu. Ketika saya terbangun di rumah sakit hari itu, saya marah pada perawat karena kami menang 2-0 dan saya ingin menjaga clean sheets serta membantu tim mendapatkan tiga poin," ungkap Pfannenstiel.

"Satu minggu kemudian, saya berada di lapangan untuk bermain lagi. Para dokter menyarankan untuk tidak melakukannya. Mereka menyebut tidak akan bertanggung jawab jika sesuatu yang buruk terjadi lagi pada saya. Namun, jika saya harus menunggu beberapa bulan, saya justru akan semakin takut," tambah Pfannenstiel.

Sebagai pemain yang berkelana ke puluhan negara, Pfannenstiel tidak hanya mendapatkan kisah sedih, melainkan juga gembira. Yang membuat dirinya senang adalah mengenal budaya baru. Dia juga mendapatkan banyak teman dengan latar belakang yang beraneka ragam.

"Anda boleh tidak percaya, tapi semuanya kebetulan. Saya tidak pernah berharap untuk bermain di banyak tempat. Kepindahan pertama saya ke luar negeri pada 1993 ke Penang FA. Ketika peluang ke Malaysia datang, saya mengambilnya," ujar Pfannenstiel.

"Sebagai orang Bavaria, saya pernah menolak Bayern. Saya tidak menyesal. Saya mengemari klub itu. Namun, saya tidak ingin hanya menjadi cadangan Oli (Oliver Kahn). Jika ada yang menjamin saya bermain 400 laga untuk Bayern, memenangi banyak gelar, dan membela timnas, penolakan itu akan saya sesali. Namun, anda harus realistis. Apakah saya benar-benar berada di level Kahn atau Jens Lehmann?" beber pemilik 5 caps untuk Jerman U-17 tersebut

Setelah pensiun pada 2011, Pfannenstiel mencoba berbagai aktivitas baru. Dia sempat menjadi reporter dan komentator televisi di ZDF, BBC, CNN, ORF, SRF, DAZN, hingga Eurosport. Pfannenstiel hadir di banyak event sepak bola internasional seperti Piala Eropa dan Piala Dunia sebelum akhirnya memilih menjadi pengurus klub.