Pernah suatu ketika mereka mengontrak pemain Republik Chechnya, Rusia, Zaur Sadayev dan Dzhabrail Kadiy, dampaknya luar biasa.
Lazio boleh saja dianggap sebagai klub Serie A yang memiliki banyak pendukung rasialis. Namun, apa yang sering ditunjukkan klub Ibu Kota Italia tersebut tidak seberapa jika dibandingkan fans Beitar Jerusalem di Liga Israel.
Beitar adalah klub sepak bola paling rasialis di dunia. Klub elite Liga Israel itu memiliki kelompok suporter ultraortodoks bernama La Familia. Mereka membuat manajemen klub tidak berani mendatangkan pemain keturunan Arab. Begitu pula dengan orang-orang Muslim dan pemeluk Kristen.
Pernah suatu ketika manajemen sengaja mengontrak pemain Muslim dari Republik Chechnya, Rusia, Zaur Sadayev dan Dzhabrail Kadiy. Dampaknya luar biasa. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa La Familia akan menghujat pemainnya sendiri. Di tempat latihan maupun saat pertandingan, hinaan berbau rasial terus didengungkan. Bahkan, ketika gol bisa diciptakan sang pemain.
Uniknya, usaha untuk menghilangkan cap rasialis terus dilakukan manajemen. Ketika Moshe Hogeg mengambil alih mayoritas saham klub pada 13 Agustus 2018, semuanya berubah. Pengusaha teknologi informasi asal Israel itu merevolusi Beitar. Salah satunya, mendatangkan pemain bernama Ali Mohamed Al Faz pada transfer window musim panas.
Meski memiliki atribut Mohamed, pemain yang beroperasi sebagai gelandang itu beragama Kristen. Ali bukan orang Arab. Dia berasal dari Niger di Afrika Barat. Lahir di Niamey, 7 Oktober 1995, Ali merupakan jebolan Akademi Sepakbola Girondins de Bordeaux di Ligue 1.
Ali datang ke Israel pada musim panas 2015 ketika dikontrak Beitar Tel Aviv Ramla. Hanya bertahan satu musim, pemuda berpostur 170 cm tersebut pindah ke Maccabi Netanya. Selanjutnya, pada 10 Juni 2019, Ali menandatangani kontrak tiga tahun dengan Beitar. Nilai transfernya 1,7 juta euro.
Namun, ketika tahu ada pemain benama Mohamed, La Familia melakukan aksi kurang terpuji. Saat latihan pramusim dibuka, La Familia mendatangi markas klub dan menyanyikan lagu-lagu bernada rasial. Bahkan, mereka menggalang petisi agar Ali menghilangkan nama Mohamed dan menggantinya dengan nama lain yang disukai orang-orang Yahudi.
"Saya tidak ingin menghancurkan hidup seseorang. Saya juga tidak ingin menjadi ayah atau ibu mereka (suporter). Saya tidak sedang menjadi pendidik. Saya hanya menjalankan tugas saya. Namun, jika ada yang membawa rasialisme ke stadion, itu akan berdampak buruk pada semua orang. Pada bangsa kita. Jadi, saya tidak bisa menerimanya," kata Hogeg, dilansir BBC Sport.
Hogeg sadar betul bahwa mengubah kebiasaan buruk yang sudah mengakar bertahun-tahun tidak mudah. Sebab, perlakuan yang didapatkan Ali pernah dialami Sadayev dan Kadiyev di masa lalu. La Familia bukan hanya menyanyikan lagu-lagu rasialis plus banner bertuliskan “Beitar selamanya murni", melainkan juga serangan fisik. Akibatnya, Wakil Perdana Menteri Israel saat itu, Moshe Yaalon, harus meminta maaf kepada Duta Besar Rusia.
Sebelum Sadayev dan Kadiyev, pada 2005, Beitar juga mengontrak pemain Muslim dari Nigeria bernama Ndala Ibrahim. Dia dipinjam dari Maccabi Tel-Aviv dan hanya bertahan empat pertandingan. Ibrahim tidak betah setelah dikepung ratusan suporter Beitar dan dihina menggunakan kata-kata rasial. Dia akhirnya kembali ke Maccabi sebelum memilih pulang ke Nigeria.
Jengah dengan masalah yang tidak kunjung berakhir, Hogeg memiliki cara jitu. Dia meminta jersey Ali bernomor punggung 55 diberi nama Mohamed. Jadi, ketika Ali bisa mencetak gol, pembawa acara di stadion akan meneriakkan nama Mohamed keras-keras dan berulang-ulang. Begitu pula ketika di awal pertandingan saat pembacaan line-up pemain diselenggarakan.
"Itu adalah momen terbesar bagi saya ketika semua orang memanggil namanya. Ini adalah momen besar bagi Beitar Jerusalem. Bahwa, ada seorang pemain bernama Ali Mohammed yang mencetak gol dengan mengenakan nama Mohammed di bajunya dan semua orang yang bersorak mendukung namanya. Itu adalah kemenangan besar," ungkap Hogeg.
Selain itu, manajemen membuat aturan internal yang secara gencar disosialisasikan ke suporter. Bagi mereka yang bersikap rasialis akan dikenakan denda dan larangan datang ke stadion. Kamera pengawas dan petugas keamanan internal disebar di setiap sudut stadion.
"Kehadiran Polisi tidak akan banyak membantu. Justru, mereka akan merasa menjadi pahlawan (jika ditangkap Polisi). Sebaliknya, membayar denda yang besar dan larangan menonton pertandingan jauh lebih efektif," tambah Hogeg.
Langkah Hogeg menjauhkan La Familia dari ring satu Beitar ternyata mendapatkan repons positif dari sejumlah kalangan. Sosiolog asal Isreal yang merupakan pendiri Sport, Media, and Society Research Lab di Sammy Ofer School of Communications Jerusalem, Yair Galily, menyebut ide Hogeg sangat cerdas.
"Tidak diragukan lagi, Moshe Hogeg telah membuat perbedaan. Tapi, para penggemar di Beitar tidak dapat diprediksi. Ini seperti gencatan senjata yang terbantu karena timnya bekerja dengan baik," ucap Galily.
Yang dikhawatirkan Galily adalah kehadiran Ali hanya ujian sesaat. Ujian sesungguhnya bagi Hogeg akan datang jika pemain berdarah Arab-Muslim bergabung dengan Beitar. Beberapa pemain kategori itu sekarang ada di tim junior Beitar dan belum jelas kapan akan promosi ke skuad utama.
Namun, tantangan itu justru dijawab Hogeg dengan berani. Dia menyebut berencana mendatangkan pemain Arab-Muslim pada transfer window selanjutnya. Sayang, pemain yang diincar memlih bermain di klub luar Israel.
"Saya tidak peduli dengan agama pemain. Saya tidak peduli dengan warna kulitnya. Saya hanya peduli apakah dia bisa membantu tim atau tidak? Apakah dia pemain sepakbola yang baik atau bukan? Apakah itu akan terjadi atau tidak? Ada banyak orang Arab yang baik. Bisa jadi kami akan membuat penawaran untuk salah satu dari mereka," pungkas Hogeg.
Beitar adalah klub sepak bola paling rasialis di dunia. Klub elite Liga Israel itu memiliki kelompok suporter ultraortodoks bernama La Familia. Mereka membuat manajemen klub tidak berani mendatangkan pemain keturunan Arab. Begitu pula dengan orang-orang Muslim dan pemeluk Kristen.
BACA FEATURE LAINNYA
Ini Uang yang Akan Diterima Bayern Muenchen Jika Juara Liga Champions, Fantastis!
Ini Uang yang Akan Diterima Bayern Muenchen Jika Juara Liga Champions, Fantastis!
Ali datang ke Israel pada musim panas 2015 ketika dikontrak Beitar Tel Aviv Ramla. Hanya bertahan satu musim, pemuda berpostur 170 cm tersebut pindah ke Maccabi Netanya. Selanjutnya, pada 10 Juni 2019, Ali menandatangani kontrak tiga tahun dengan Beitar. Nilai transfernya 1,7 juta euro.
BACA BERITA LAINNYA
Kisah Kutukan El Pupas Atletico Madrid di Liga Champions Selama 46 Tahun
Kisah Kutukan El Pupas Atletico Madrid di Liga Champions Selama 46 Tahun
Hogeg sadar betul bahwa mengubah kebiasaan buruk yang sudah mengakar bertahun-tahun tidak mudah. Sebab, perlakuan yang didapatkan Ali pernah dialami Sadayev dan Kadiyev di masa lalu. La Familia bukan hanya menyanyikan lagu-lagu rasialis plus banner bertuliskan “Beitar selamanya murni", melainkan juga serangan fisik. Akibatnya, Wakil Perdana Menteri Israel saat itu, Moshe Yaalon, harus meminta maaf kepada Duta Besar Rusia.
Jengah dengan masalah yang tidak kunjung berakhir, Hogeg memiliki cara jitu. Dia meminta jersey Ali bernomor punggung 55 diberi nama Mohamed. Jadi, ketika Ali bisa mencetak gol, pembawa acara di stadion akan meneriakkan nama Mohamed keras-keras dan berulang-ulang. Begitu pula ketika di awal pertandingan saat pembacaan line-up pemain diselenggarakan.
"Itu adalah momen terbesar bagi saya ketika semua orang memanggil namanya. Ini adalah momen besar bagi Beitar Jerusalem. Bahwa, ada seorang pemain bernama Ali Mohammed yang mencetak gol dengan mengenakan nama Mohammed di bajunya dan semua orang yang bersorak mendukung namanya. Itu adalah kemenangan besar," ungkap Hogeg.
Selain itu, manajemen membuat aturan internal yang secara gencar disosialisasikan ke suporter. Bagi mereka yang bersikap rasialis akan dikenakan denda dan larangan datang ke stadion. Kamera pengawas dan petugas keamanan internal disebar di setiap sudut stadion.
"Kehadiran Polisi tidak akan banyak membantu. Justru, mereka akan merasa menjadi pahlawan (jika ditangkap Polisi). Sebaliknya, membayar denda yang besar dan larangan menonton pertandingan jauh lebih efektif," tambah Hogeg.
Langkah Hogeg menjauhkan La Familia dari ring satu Beitar ternyata mendapatkan repons positif dari sejumlah kalangan. Sosiolog asal Isreal yang merupakan pendiri Sport, Media, and Society Research Lab di Sammy Ofer School of Communications Jerusalem, Yair Galily, menyebut ide Hogeg sangat cerdas.
"Tidak diragukan lagi, Moshe Hogeg telah membuat perbedaan. Tapi, para penggemar di Beitar tidak dapat diprediksi. Ini seperti gencatan senjata yang terbantu karena timnya bekerja dengan baik," ucap Galily.
Yang dikhawatirkan Galily adalah kehadiran Ali hanya ujian sesaat. Ujian sesungguhnya bagi Hogeg akan datang jika pemain berdarah Arab-Muslim bergabung dengan Beitar. Beberapa pemain kategori itu sekarang ada di tim junior Beitar dan belum jelas kapan akan promosi ke skuad utama.
Namun, tantangan itu justru dijawab Hogeg dengan berani. Dia menyebut berencana mendatangkan pemain Arab-Muslim pada transfer window selanjutnya. Sayang, pemain yang diincar memlih bermain di klub luar Israel.
"Saya tidak peduli dengan agama pemain. Saya tidak peduli dengan warna kulitnya. Saya hanya peduli apakah dia bisa membantu tim atau tidak? Apakah dia pemain sepakbola yang baik atau bukan? Apakah itu akan terjadi atau tidak? Ada banyak orang Arab yang baik. Bisa jadi kami akan membuat penawaran untuk salah satu dari mereka," pungkas Hogeg.