Ada yang skornya 146-0.
Sepakbola Indonesia pernah tercoreng saat tampil di Piala Tiger 1998. Demi menghindari Vietnam di semifinal, Muryid Effendi memilih mencetak gol bunuh diri saat melawan Thailand di fase grup.

Pada 31 Agustus 1998 dikenang sebagai hari paling memalukan dalam sejarah sepakbola Indonesia. Saat itu di Thong Nhat Stadium, Ho Chi Minh City, Indonesia dan Thailand menjalani pertandingan terakhir Grup A. Laga digelar setelah mengetahui Singapura memuncaki Grup B dan Vietnam menjadi runner-up.

Indonesia dan Thailand sudah memastikan melaju dari fase grup dan tinggal menentukan pemuncak grup. Uniknya, mereka sama-sama ingin menghindari tuan rumah di semifinal. Alasannya, laga digelar di Hanoi, yang berjarak sangat jauh dari Ho Chi Minh City. Selain itu, menghadapi tekanan suporter Vietnam akan menyulitkan usaha tim Garuda maupun Gajah Putih melangkah ke pertandingan penentuan.

Akibatnya, duel berlangsung monoton. Pada babak pertama, kedua tim nyaris tidak berusaha mencetak gol. Sementara pada babak kedua kedua mereka berhasil mencetak gol, menghasilkan skor 2-2 setelah 90 menit.

Kejadian tidak terduga muncul di injury time ketika wasit mulai berniat meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir. Tanpa diduga, pemain-pemain Indonesia mengirim umpan kepada Mursyid. Sebagai pemain terakhir yang ada di pertahanan Indonesia, mantan pemain Persebaya Surabaya itu memasukkan bola ke gawang Hendro Kartiko. Indonesia menyerah 2-3 dan melaju ke semifinal sebagai runner-up.

FIFA marah dan mendenda kedua tim USD40.000 karena melanggar prinsip sportivitas dan fair play. Sementara Mursyid dilarang bermain sepakbola domestik selama 1 tahun dan sepakbola internasional seumur hidup.

Namun, kejadian yang dialami Indonesia dan Thailand di Piala Tiger bukan pertama dan satu-satunya di sepakbola Internasional. Berikut ini 3 pertandingan yang dianggap melanggar nilai-nilai sportivitas dengan 2 di antaranya diwarnai dengan gol bunuh diri secara sengaja:


1. Jerman Barat vs Austria 1-0 (Piala Dunia 1982)

Dikenal sebagai "Disgrace of Gijon", pertandingan fase grup di Estadio El Molinon, Gijon, 25 Juni 1982, tersebut ditulis dalam sejarah sebagai kejadian paling memalukan di Piala Dunia. Demi mencegah Aljazair melaju ke fase selanjutnya, Jerman Barat dan Austria bermain mata.

Itu adalah pertandingan terakhir Grup 2 dengan Aljazair dan Chile telah bermain sehari sebelumnya. Dengan hasil pertandingan yang sudah diketahui, kemenangan dengan 1 atau 2 gol untuk Jerman Barat akan mengakibatkan Der Panzer dan Austria lolos dengan mengorbankan Aljazair. Tim dari Afrika Utara itu sebelumnya telah mengalahkan Jerman Barat.

Secara teknis, "Aib Gijon" hanya berlangsung 80 menit. Pasalnya, selama 10 menit awal hingga gol Jerman Barat diciptakan Horst Hrubesch, pertandingan berjalan normal. Kedua tim saling jual-beli serangan.

Namun, semua berubah saat Jerman Barat memimpin 1-0. Tim yang menguasai bola sering mengoper di antara mereka di area sendiri. Kemudian, bola tersebut diteruskan kembali ke kiper. Bola-bola panjang lalu di tendang ke pertahanan lawan. Setelah itu gantian pemain lawan yang melakukan aktivitas tersebut. Hal itu diulang berkali-kali.

Drama itu sangat disayangkan oleh semua orang yang hadir di stadion maupun menyaksikan dari layar kaca. Komentator televisi Jerman Barat, ARD, Eberhard Stanjek, pada satu titik menolak mengomentari permainan itu lagi. Sementara komentator Austria, Robert Seeger, meminta pemirsa mematikan televisi mereka.

Di stadion, penonton yang tidak terkesan dengan laga itu. Mereka muak dengan aksi Jerman Barat dan Austria. Teriakan dan nyanyian "Fuera, fuera!" (keluar), "Argelia, Argelia!" (Aljazair), hingga "Que se besen, que se besen" (Biarkan mereka berciuman) diteriakkan tanpa henti sepanjang duel. Bahkan, ada seorang pendukung yang membakar bendera Jerman Barat sebagai protes.


2. Barbados vs Grenada 4-2 (Kualifikasi Piala Karibia 1994)

Pada 27 Januari 1994, Barbados dan Grenada bertanding di Barbados National Stadium, Saint Michael. Itu adalah pertandingan yang menjadi bagian dari kualifikasi Piala Karibia 1994. Karena aturan skor yang tidak biasa dan posisi kedua tim di turnamen, para pemain berlomba mencetak gol bunuh diri.

Kisah ini diawali dari penyelenggara turnamen yang memberlakukan aturan semua pertandingan memiliki pemenang. Untuk mengatasinya, diberlakukan modifikasi yang tidak biasa dari aturan "golden goal". Gol yang dicetak di perpanjangan waktu tidak hanya memenangkan pertandingan, melainkan juga bernilai 2 gol (maksudnya skor 1-0 di extra time akan dihitung 2-0). Jika gol terjadi di waktu normal nilainya tetap 1 (maksudnya skor 1-0 tetaplah 1-0).

Barbados memulai pertandingan dengan membutuhkan kemenangan setidaknya 2 gol (2-0) untuk lolos ke putaran final. Setelah Grenada mencetak gol di waktu normal untuk membawa skor menjadi 2-1, Barbados sengaja mencetak gol bunuh diri untuk memaksakan perpanjangan waktu agar bisa mendapatkan selisih 2 gol yang  dibutuhkan berkat aturan gol emas yang tidak konvensional.

Gol bunuh diri penyama kedudukan dihasilkan pada menit 87. Saat itu, bek Barbados, Terry Sealey, dan kipernya, Horace Stoute, memainkan bola di pertahanan sendiri. Lalu, Sealey menjebol jala Stoute untuk membuat skor 2-2.

Hal itu mengakibatkan situasi yang tidak biasa. Selama 3 menit terakhir, Grenada berusaha mencetak gol karena skor 3-2 cukup untuk menggapai tiket putaran final. Sebaliknya, Barbados harus bertahan agar skor 2-2 tetap tertera sehingga extra time bisa digelar.

Saat perpanjangan waktu, Trevor Thorne berhasil mencetak gol kemenangan untuk Barbados. Skor asli 3-2 dan dihitung 4-2 sesuai regulasi sehingga mereka melaju ke putaran final. FIFA, yang mengetahui hal ini, memilih untuk tidak menghukum Barbados mengingat aturan turnamen yang tidak biasa.

"Saya merasa tertipu. Orang yang membuat aturan ini pasti calon penghuni rumah sakit jiwa. Permainan tidak boleh dimainkan dengan begitu banyak pemain yang berlarian di lapangan dengan kebingungan. Para pemain kami bahkan tidak tahu ke arah mana harus menyerang: gol kami atau tujuan mereka. Saya belum pernah melihat ini terjadi sebelumnya. Dalam sepakbola, anda seharusnya mencetak gol melawan lawan untuk menang. Bukan untuk mereka," ungkap Pelatih Grenada, James Clarkson, di buku Sports Law terbitan 2005.




3. AS Adema vs SO l'Emyrne 149-0 (Liga Madagaskar 2002)

Duel ini dicatat dalam The Guinness Book of Records sebagai pertandingan dengan skor terbesar di dunia mengalahkan Arbroath vs Bon Accord dengan 36-0 pada Piala Skotlandia 1885. Laga play-off Liga Madagaskar tersebut dimainkan pada 31 Oktober 2002 antara dua tim yang berbasis Antananarivo, AS Adema vs SO l'Emyrne (SOE).

Skor 149-0 tercipta sebagai bentuk protes SOE kepada kepemimpinan wasit, yang dinilai berat sebelah dalam play-off dengan sistem round robin yang melibatkan 4 tim peserta. Mahkota liga jatuh ke tangan Adema setelah SOE, yang merupakan juara bertahan, ditahan imbang 2-2 DSA Antananarivo di pertandingan sebelumnya. Saat itu, wasit memberikan penalti kontroversial di injury time.

Dengan gelar yang sudah dipastikan dan sebagai bentuk kekecewaan SOE kepada penyelenggara plus wasit; manajemen, pelatih, serta para pemain SOE sepakat menciptakan 149 gol bunuh diri selama 90 menit!

Saksi mata dan penonton yang hadir mengatakan setelah kick-off, bola ditendang ke gawang sendiri oleh para pemain SOE hingga gol. Para pemain Adema kebingungan dengan situasi itu dan hanya bisa berdiri tanpa melakukan apapun. SOE bahkan tidak membiarkan para pemain Adema mendapatkan bola karena saat laga dimulai wasit, mereka langsung merebut bola dari kaki lawan untuk selanjutnya diciptakan gol bunuh diri berulang-ulang.

Seusai pertandingan, Malagasy Football Federation (FMF) menghukum pelatih SOE, Zaka Be, 3 tahun larangan aktif di sepakbola. "Sanksi sudah menanti semua orang yang terlibat," kata Presiden FMF, Jacques Benony, dilansir The Guardian.

Selain pelatih, hukuman juga menimpa 4 pemain, yaitu Mamisoa Razafindrakoto (bek), Manitranirina Andrianiaina (kapten), Nicolas Rakotoarimanana (gelandang), Dominique Rakotonandrasana (kiper). Mereka diskors 1 tahun. Semua pemain lain dari kedua tim menerima peringatan dan ancaman tindakan yang lebih serius jika melakukan pelanggaran yang sama.

Wasit tidak dihukum karena situasinya dianggap di luar kendali dirinya. Sedangkan Kementerian Olahraga Madagaskar memilih membubarkan FMF untuk kemudian dibentuk kembali yang baru.